Satu minggu berlalu, kini Vallerie sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Jika ditanya lebih betah berada di man, maka Vallerie akan menjawab lebih betah berada di rumah sakit. Sebab di rumah, pasti dia akan disiksa kembali oleh Ragil. Apa lagi Isyani sudah kembali pulang ke kampung karena tugasnya menjaga Vallerie sudah selesai.
Ketika sedang menaikki anak tangga menuju kamarnya, Vallerie tiba-tiba saja mendengar suara berat dari Ragil memanggilnya dari bawah tangga. Vallerie mengembuskan napasnya kasar, lalu kembali menuruni anak tangga satu-persatu menghampiri Ragil. Pandangan Ragil fokus menatap wajah Vallerie, sementara ketika ditatap oleh Ragil, bulu kuduk Vallerie terasa merinding.
Vallerie menundukkan kepalanya, tapi perlahan-lahan dia mengangkat kepalanya dengan sepenuh keberanian. Manik matanya bertemu dengan manik mata milik Ragil, tapi tatapan Ragil kali ini berbeda. Tatapannya teduh, bahkan Ragil membawa tubuh mungil anak gadis semata wayangnya itu ke dalam dekapannya untuk pertama kali. Vallerie tidak dapat berbuat apa-apa, tubuhnya mematung.
"A-ayah k-kenapa?" tanya Vallerie terbata.
Ragil mengembuskan napasnya perlahan. "Ayah mau minta maaf sama kamu, maaf kalo ayah selama ini udah berbuat kasar sama kamu. Ayah minta, jangan pergi dari rumah ini ya?" pintanya dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
Sebenarnya Vallerie bisa saja menuruti apa permintaan Ragil, tapi hatinya perlu waktu agar dapat sembuh. Selama ini Vallerie sudah cukup kuat disiksa oleh Ragil, mungkin untuk sementara waktu Vallerie akan tinggal bersama Ashley, sembari mencari tahu juga apakah Ashley benar-benar ibu kandungnya atau bukan.
Perlahan, Vallerie menjauhkan tubuhnya dari delapan Ragil. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah atas, di mana kamarnya berada. Ragil menatap punggung anak gadis semata wayangnya, dia tidak mau ditinggalkan oleh anaknya. Karena mau bagaimanapun seorang ayah pasti membutuhkan sosok anak dalam hidupnya.
"Aku bisa aja yah, turutin permintaan ayah. Tapi aku mau ayah mikir, kalo aku ini masih manusia, aku juga punya hati, yah. Apa ayah gak inget gimana perlakuan ayah sama aku beberapa waktu ke belakang?" Vallerie mengembuskan napasnya kasar dan memutar kedua bola matanya malas.
Ragil menyentuh pundak kanan Vallerie, kemudian berucap, "Justru karena itu ayah menyesal, nak. Ayah gak mau kamu pergi dari rumah dan tinggalin ayah, gak mau ..."
"Aku butuh waktu yah, maaf."
Dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan, Vallerie memutuskan untuk segera masuk ke kamarnya. Tidak peduli dengan Ragil yang saat ini sedang bergelut dengan otaknya, memikirkan bagaimana cara agar bisa mendapatkan maaf dari Vallerie. Semua rencana buruk Nasha, sudah Ragil dapatkan dari orang yang selama ini menginginkan Ragil kembali ke jalan yang benar.
"Val!" Angkasa mengetuk kaca jendela kamar Vallerie.
Vallerie yang mendengarnya segera membukakan jendela itu, lalu mempersilahkan Angkasa masuk. Dan tiba-tiba saja Vallerie memeluk tubuh Angkasa erat, menangis di dada bidang Angkasa. Lelaki itu membiarkan calon gadisnya menangis, agar Vallerie bisa merasa jauh lebih tenang.
"Lo kenapa?" tanya Angkasa lembut.
Vallerie menggelengkan kepalanya sekilas, kemudian melepaskan pelukannya dari tubuh Angkasa. "Engga, maaf aku t-tadi refleks. Eum, makasih udah mau datang aku cuma lagi ada masalah dikit aja sama ayah," jawabnya terbata.
"Bener? Lo kenapa? Disiksa lagi? Sini biar gue bilang sama ayah lo!"
"Udah, bukan kok aku engga disiksa lagi sama ayah. Cuma aku kesel aja, kenapa waktu aku mau pergi dari rumah tapi ayah malah minta maaf sama aku. Jadi aku bingung," ungkap Vallerie.
Angkasa menatap Vallerie penuh arti, lalu menggenggam jemari gadis yang ada di depannya saat ini. "Sabar ya, kalo saran gue, jangan pergi dari rumah. Siapa tahu memang ayah lo beneran mau berubah," nasihatnya.
"Iya, makasih Kasa."
***
Pagi-pagi, Langit sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia mengambil satu lembar roti yang ada di meja, sementara Yanto terus memperhatikan tingkah anaknya yang sangat tumben sekali pagi-pagi buta seperti ini sudah siap hendak pergi ke sekolah. Tapi penampilannya jangan ditanyakan, acak-acakan seperti berandal.
Langit mengambil tas ransel yang biasa dia pakai untuk sekolah, rambutnya semakin hari tampak semakin gondrong bahkan baju seragamnya seperti tak disetrika padahal hari ini adalah hari Senin. Hari di mana para murid memulai aktivitasnya bersekolah kembali dan harus melaksanakan apel pagi.
"Tumben sekali kamu sudah siap, mau ke mana?" tanya Yanto dengan wajah yang tampak sangat kebingungan.
Langit mengangkat kedua bahunya pertanda dia sendiri pun tidak tahu. "Gak tahu, lagi mau rajin aja," jawabnya dengan santai.
Hanya dalam lima menit, Langit menyelesaikan sarapan rotinya. Setelah itu dia berpamitan kepada Yanto dan langsung keluar dari rumah dengan membawa motor ninja kesayangannya untuk pergi ke sekolah. Sebenarnya Langit berniat untuk berbicara empat mata dengan Vallerie. Kali ini dia ingin berbicara serius.
Sesampainya di sekolah, ketika Langit baru saja memarkirkan motornya. Sosok yang dia cari-cari tampak berjalan beriringan bersama teman sekelasnya yaitu Kejora. Tanpa mempedulikan bagaimana reaksi Vallerie ataupun Kejora nanti, Langit langsung saja menarik lengan Vallerie dan membawanya ke rooftop sekolah. Sementara sepanjang perjalanan menuju rooftop tak henti-hentinya Vallerie memberontak.
"Apa sih lo!? Ngapain lagi!?" bentak Vallerie.
Langit berkacak pinggang, menatap Vallerie sinis. "Satu minggu ini, lo ke mana? Gue cariin gak ada, tumben juga bahasa lo kasar. Mulai berani lo sama gue hm?" tanyanya dengan intonasi bicara lembut namun mengerikan bagi Vallerie.
Vallerie membuang pandangannya ke segala arah dengan asal, dia hendak berlari keluar dari rooftop tapi dengan cepat Langit menahannya sehingga dia tidak bisa keluar. Siapapun! Bantu Vallerie agar bisa segera keluar dari tempat ini bersama manusia jelmaan iblis.
"Denger ya, gue mulai detik ini gak mau lagi jadi pacar lo! Kita putus!" Vallerie terus memberontak berusaha melepaskan cekalan tangan Langit dari lengannya.
Langit melepaskan cekalannya kasar, kemudian menjawab dengan sinis, "Gak mau! Lo gak bisa putusin gue, cuma gue yang berhak putusin lo!"
"Jangan bego jadi orang, semua orang punya hak! Jadi gue bebas mau putusin lo kapanpun!"
"Oke, tapi kalo kita putus jangan harap hidup lo tenang."
Kata-kata yang diucapkan Langit berhasil membuat Vallerie merasa takut, benar-benar Langit tidak pernah berubah. Dari dulu selalu saja membuat Vallerie harus patuh kepada dirinya dengan beribu-ribu ancaman yang ada di kepalanya. Vallerie mengembuskan napasnya kasar, lalu meninggalkan rooftop dengan kedua kaki yang dihentak-hentakkan, wajahnya pun kusut. Vallerie terus memikirkan apa yang di ucapkan Langit, wajahnya pun semakin kusut ketika mengingat perkataan yang membuatya tak tenang. Mengapa ini semua harus terjadi?