Ragil saat melihat kondisi Vallerie, bukannya memberikan handuk malah langsung menyeret tubuh Anak gadis satu-satunya itu ke dalam kamar mandi. Vallerie hanya bisa menurutinya saja, sebab tubuhnya sudah sangat terasa lemas. Dia tidak dapat melawan, Vallerie ikhlas jika harus mati saat ini juga.
"Anak gak berguna! Bisanya cuma buat malu! Kenapa kamu tidak mengerjakan PR, hah?! Dasar memang kamu harus diberi pelajaran!" maki Ragil.
Vallerie sujud tepat di bawah kedua kaki Ragil. "A-ayah, maaf. Aku lupa ngerjain PR, tapi lain kali aku bakal inget kok, jangan siksa aku yah," pintanya lemas.
"Gak! Kamu harus ayah kasih pelajaran! Supaya kapok!" bantah Ragil.
Ragil mengambil satu gayung air dingin lalu menyiramkannya kepada Vallerie, setelah itu dia melepas ikat pinggang kulit yang melingkar di pinggangnya. Kemudian mulai mencambuk tubuh Vallerie. Mulai dari punggung, tangan, hingga kaki sehingga menimbulkan rasa ngilu ketika Nasha mendengarnya.
Nasha tidak sanggup mendengarkan teriakan Vallerie yang terus meminta tolong tapi tidak didengarkan oleh Ragil. Hingga sebuah ide terlintas di otaknya, Nasha sengaja memecahkan gelas yang ada di samping nakasnya untuk menghentikan aksi Ragil. Benar, ternyata Ragil ketika mendengarkan suara pecahan gelas itu seketika berhenti mencambukki Vallerie.
"Hari ini, kamu bisa bebas. Lihat aja nanti kalau kamu ulangi kesalahan kamu, ayah gak akan kasih ampun!" ucap Ragil tegas.
Pintu kamar Ragil terbuka lebar, pecahan kaca berada di lantai kamarnya. Nasha menundukkan kepalanya karena takut kena marah suaminya itu. Ragil segera menghampiri Nasha dan duduk di samping istri keduanya. Ragil meraih jemari Nasha, menggenggamnya erat.
Ragil mengusap kepala Nasha lembut. "Kamu kenapa? Sakit? Kenapa gelas bisa pecah gitu?" tanyanya khawatir.
"Gapapa mas, aku cuma kecapekan aja. Jadi tangan aku kerasa kayak lemas gitu, jangan khawatir." Nasha menggelengkan kepalanya pelan, senyuman tipis terukir di wajah cantiknya.
Tangan Ragil masih setia mengusap kepala Nasha dengan lembut, lalu dia bertanya kembali, "Beneran? Kayak ada yang disembunyiin sama kamu. Coba sini cerita."
Nasha terdiam, dia sebenarnya ingin meminta kepada suaminya itu untuk menghentikan aksi menyiksa Vallerie setiap harinya. Tapi percuma saja, tidak akan didengarkan oleh Ragil karena pria berusia empat puluh empat tahun itu posisinya sebagai kepala rumah tangga.
"Bener mas, tenang ya. Sekarang lebih baik kamu lanjut kerja gih, siapin bahan-bahan buat meeting besok," perintah Nasha.
"Iya sayang," jawab Ragil lembut dan patuh.
***
Entah sudah kali ke berapa Bagas mengetuk pintu utama kediaman Vallerie. Tapi tidak juga ada yang membukakan pintu rumah mewah itu. Padahal hari belum terlalu larut, Bagas tidak tinggal diam. Dia mulai memanggil nama Vallerie dengan sopan. Lima menit berlalu, akhirnya kesabaran Bagas berbuah. Pintu terbuka dan menampilkan sosok Vallerie yang menatap Bagas dengan wajah lebam.
Tentu Bagas merasa ngilu melihat luka lebam yang ada di wajah Vallerie. Dia hendak menanyakan kenapa kondisi Vallerie bisa memperihatinkan seperti itu tapi takut jika gadis yang ada di depannya saat ini akan merasa tersinggung. Lebih baik Bagas diam saja, dia tidak mau menyinggung perasaan orang lain.
Mulut Bagas masih tertutup rapat, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia langsung memberikan buku Vallerie yang ketinggalan di kelas kepada Si Pemilik buku itu. Vallerie menerimanya dengan senang hati. Untung saja ada orang baik yang mau mengantarkannya, coba saja kalau tidak. Mungkin dia tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumahnya lagi malam ini.
"Wah, Bagas. Makasih ya udah anterin buku aku. Sekali lagi makasih banget." Vallerie menerima buku yang diberikan Bagas dengan senang hati.
Bagas menganggukkan kepalanya pelan. "Hm, lain kali jangan ceroboh. Untung aja waktu lagi piket gue temuin nih buku," peringatnya.
Seulas senyuman hangat terukir di wajah cantik Vallerie, ternyata masih ada orang baik Tuhan kirimkan untuknya. Kecanggungan mulai dirasakan oleh Vallerie dan Bagas, entah apa sebabnya. Bagas sebenarnya ingin menanyakan apakah Vallerie baik-baik saja atau tidak, tapi dia sepertinya masih ragu.
"Gas, mau masuk?" tawar Vallerie.
Dengan cepat Bagas menggelengkan kepalanya, kemudian menolaknya secara halus, "Gak usah, lagi pula ini udah malem gue harus cepet balik."
"Valle, suara siapa itu?!" teriak Ragil dari dalam rumah.
Kedua bola mata Vallerie seketika membelalak sempurna, dia mendorong tubuh Bagas agar segera meninggalkan kediamannya. Bahaya jika Ragil melihat ada teman laki-laki Vallerie yang datang malam hari seperti ini. Bisa-bisa Vallerie disiksa lagi seperti tadi sore.
"Cepet pergi Gas, nanti ayah aku lihat!" Vallerie mendorong paksa tubuh tegap Bagas, tapi lelaki remaja itu seolah sulit untuk pergi dari tempatnya.
"Oh, ternyata kamu berani langgar peraturan yang ayah buat, hah?! Dia pasti pacar kamu 'kan?!" Tanpa Vallerie dan Bagas sadari, ternyata Ragil sudah berdiri tepat di ambang pintu, tepatnya di samping Vallerie.
Amarah Ragil memuncak saat melihat aksi Vallerie yang seperti sedang berusaha menyelamatkan Bagas. Tangan Ragil terangkat untuk memberikan satu pukulan sangat kuat di pipi Vallerie, tapi Bagas dengan cepat mencegahnya. Dia segera memeluk Vallerie, sehingga pukulan yang sangat kuat itu mendarat tepat di punggung Bagas.
Vallerie menatap Bagas khawatir. "Gas, kamu gapapa? M-maafin ayah aku, ya?" tanyanya dengan suara bergetar, akibat menahan rasa takut.
"Gapapa, lo sendiri gapapa 'kan?" jawab Bagas, kemudian bertanya balik kepada Vallerie.
Hanya dengan gelengan kepala saja Vallerie menjawabnya, Bagas melepaskan pelukannya secara perlahan dari tubuh Vallerie. Kemudian membalikkan badannya untuk menatap pria kejam yang sedang berdiri tepat di hadapannya saat ini. Bagas menatap Ragil tajam, persetan disebut sebagai anak kurang ajar. Tapi sikap Ragil yang kasar seperti tadi tidak pantas disebut sebagai Ayah.
Jari telunjuk Bagas menunjuk wajah Ragil gemetar. "Om, tidak pantas disebut sebagai ayah oleh Vallerie. Kenapa? Karena sikap anda terlalu kasar, saya hanya sebatas teman dengan Vallerie, tidak lebih!" ucapnya dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Tidak peduli dengan ucapan Bagas, Ragil menarik Vallerie secara kasar agar segera masuk ke dalam rumah. Suara teriakan Vallerie meminta tolong kedengaran sampai ke telinga Bagas yang masih setia berdiri di halaman rumah Vallerie. Bahkan suara pukulan juga cambukan kedengaran sampai ke luar.
Ternyata, luka lebam yang ada di wajah Vallerie itu karena dia mengalami kekerasan dari Ragil, Ayahnya. Bagas memang tidak dapat berbuat apa-apa, tapi dia akan berusaha mencari jalan keluar agar bisa membantu Vallerie. Mungkin Angkasa bisa diajak kerja sama dalam hal ini.
"Gue harus temuin Angkasa besok di sekolah." Lalu, Bagas memesan taksi online untuk segera pulang ke rumahnya.