Suara ketukan jari di meja menjadi pemecah keheningan. Setelah empat hari tidak ada kabar, kini surat pengajuan resign kembali ada di tangannya.
Dalam surat itu tertera nama Reva.
Bukan lagi melipat, namun kertas di tangannya sudah tergulung layaknya bola kertas. Sean tidak perduli, bahkan dengan adanya kehamilan Reva, dia tidak bisa melepasnya. Satu-satunya cara, Sean harus bisa membujuk, harus bisa memberi pengertian secara perlahan.
Kertas itu terlempar, kini Sean tengah menelepon seseorang. Tidak membutuhkan waktu lama, orang tersebut sudah mengetuk pintu.
"Masuk!"
"Bapak panggil saya?"
Sean mengangguk. "Silahkan duduk, ada yang mau saya tanyakan."
"Baik, Pak."
"Apa kamu terima resignnya Reva? Setahu saya dia masih ada kontrak, apa kamu sudah kasih tahu?"
Paula mengangguk-anggukan kepalanya sambil terus menatap Sean. "Sejak awal sudah saya jabarin semua, Pak, bahkan saya sudah kasih tau pinalti yang harus dia bayar jika melanggar kontrak."
"Lalu?"