Chereads / One Night Surprise / Chapter 3 - Tawaran Sean

Chapter 3 - Tawaran Sean

"Reva tunggu! Ikut saya ke ruangan lagi."

Reva menghembuskan napasnya perlahan, sebetulnya dia sangat jengah dengan bosnya saat ini. Entah apa yang dia mau, Reva benar-benar tidak mengerti. Jihan memang sudah pulang, hal itu lah yang membuat dirinya kembali terperangkap.

Tanpa membantah sedikitpun Reva mengikuti langkah kaki Sean. Banyak karyawan menatap, tetapi Sean sama sekali tidak perdulu. Saat ke luar dari lift Reva tidak sengaja bertemu Fian, dia menatapnya dengan gamang. Soal pertanyaan Fian tadi, Reva lagi-lagi tidak bisa menjawabnya.

"Awh.." rintih Reva saat punggungnya terbentur dinding. Suara pintu yang terkunci membuat Reva kembali menegang.

"Maaf, tapi Bapak mau apa lagi? Pak, urusan kita sudah selesai malam itu juga, dan sekarang kit-"

"Sstt, saya ga butuh kata-kata dari kamu." Sean mendekatkan wajahnya ke arah Reva membuat wanita itu memejamkan mata. Hembusan napas dari Sean membuat jantung Reva berdetak tidak sehat.

"Urusan kita udah selesai, Pak!"

"Belum."

Kening Reva mengerut, apa maksudnya belum? Tidak ada perjanjian khusus, lagi pula memang seperti itu alurnya, kenapa juga sekarang dia merasa tertekan?

"Apa kamu butuh uang? Apa setelah ini kamu akan kembali lagi ke club? Reva, saya bisa kasih kamu berapapun, asal kamu stay sama saya."

"Maksudnya?"

Sean mengangkat sudut bibirnya, dia kembali mendekatkan wajahnya ke arah Reva. "Jadi simpanan saya."

Refleks Reva mendorong tubuh Sean. Dia sama sekali tidak menyangka kalau bosnya akan berkata seperti itu dengan santai. Kali ini Reva benar-benar merasa dirinya sangat rusak, seperti barang yang bisa dipilih lalu diambil sesuka hati.

"Ingat, Pak, Jihan itu perempuan baik. Perempuan sebaik itu mau Bapak sakitin? Bukannya Bapak mau menikah? Setelah menikah Bapak bisa dapatin kepuasan itu!"

Sean dibuat terdiam dengan kata-kata Reva. Awalnya Sean mengira kalau Reva sama saja seperti wanita lainnya yang mudah tergoda. Tetapi dugaan Sean salah, walaupun sudah merelakan kehormatannya, dia mempunyai jiwa yang sangat tinggi.

"Itu terserah kamu, yang terpenting saya sudah memberi penawaran. Bukannya itu menguntungkan? Tugas kamu cuma sama saya, dan kamu bisa dapat uang dengan mudah."

"Terima kasih buat tawarannya, tapi saya engga butuh." Setelah mengatakan itu Reva bergegas untuk ke luar dari ruangan Sean. Napas yang turun naik menandakan kalau suasana hati Reva sedang tidak baik saat ini.

Hanya kesalahan semalam, ternyata efeknya sangat jauh seperti ini. Andai saja semalam Reva tahu pria di dalam kamar adalah Sean, sudah pasti dia akan menolaknya mentah-mentah. Kalau bukan karena himpitan yang mendesak, Reva juga tidak akan mau melakukan hal keji seperti semalam.

Langkah kaki Reva membawanya ke sembarang arah, dia menyandarkan punggungnya ke dinding dengan mata memejam. Detik ini juga, Reva mengakui kalau dia menyesel.

Banyak cara yang bisa dia lakukan, tetapi karena otaknya sangat kalut membuat Reva tidak bisa berfikir jernih. Padahal tempo hari Fian menawarkan bantuan, dia bisa meminjamkan uang kepada dirinya, tetapi Reva menolaknya.

"Lo bodoh, Reva, lo bodoh!"

Reva terkekeh, ternyata harga dirinya hanya lima ratus juta. Lima ratus juta yang akan menghancurkan semuanya.

"Re? Lo kenapa? Lo nangis?"

Reva membuka kelopak matanya, dia menatap Nisa yang ada di depannya.

"Bokap lo gimana, Re? Jangan sedih gini dong, gue jadi ikut sedih nih." Nisa maju, dia memeluk tubuh Reva dengan erat.

Kurang lebihnya Nisa tahu apa yang sedang Reva alami. Perusahaan Ayahnya bermasalah, lalu sang Ayah juga masuk ke rumah sakit. Tidak mudah menjadi Reva, dia harus berdiri lalu berjalan sendirian tanpa penopang.

"Gue harus apa, Nis?"

***

Kegiatan Reva terhenti ketika sebuah cokelat berada di depan matanya. Dia menoleh, menatap sang pelaku yang ada di sampingnya. Reva tersenyum saat tahu pria itu adalah Fian. Mendapat perlakuan baik seperti ini membuat Reva semakin tidak enak.

"Buat kamu, biar engga murung terus."

"Makasih ya, Fi."

"Sama-sama. Oh iya, Re, nanti kamu mau ke rumah sakit? Kalau iya apa aku boleh ikut? Aku juga mau jenguk bokap kamu."

Reva dengan senang hati mengangguk sambil membuka cokelat pemberian Fian. Tangan kekar Fian terulur mengusap lembut pucuk kepala Reva. Sudah satu tahun lamanya Fian menahan rasa, selama itu juga dia tidak pernah dapat kepastian.

Akan tetapi, walaupun seperti itu Fian tidak menyerah, dia tetap berusaha ada di samping Reva. Tidak perduli apa yang terjadi, Fian sudah berjanji akan terus menjaga wanita itu.

"Kamu tumben ke sini, Fi? Lagi free atau gimana?" Reva mendongakan wajahnya menatap Fian.

"Sebetulnya ada meeting sama Pak Sean, tapi nanti kok. Re, kamu ada urusan apa sih sama Pak Sean? Dia buat ulah atau gimana?"

Reva seketika terdiam. Bagaimana jadinya kalau Fian mengetahui semuanya? Reva yakin, pria itu akan menjauh. Tapi rasanya Reva tidak siap, dia tidak mau kehilangan orang seperti Fian. Sepertinya Reva harus mengubur masalah itu dalam-dalam.

"Re?"

"E-engga ada apa-apa, Fi, semua aman kok."

"Apa kamu suka sama Pak Sean?"

'Uhuk..uhuk..uhuk'

"Aduh, aku ga bawa minum nih. Makan tuh pelan-pelan, Re."

Reva menggelengkan kepalanya, lalu dia mengambil botol minum bawaannya. Setelah menenangkan batuknya, Reva kembali menatap Fian.

"Kenapa bisa kamu tanya begitu? Pak Sean tunangannya Jihan, Fi. Kamu tau sendiri Jihan sebaik apa sama aku, ya mana mungkin aku suka sama Pak Sean?"

"Syukut deh," guman Fian.

Walaupun pelan, Reva bisa mendengar gumanan itu, tetapi dia memilih untuk diam saja. Oke, sepertinya dia harus tenang. Masalah ini sudah selesai, tidak ada lagi urusan dengan Sean selain rekan kerja di kantor.

Fian melirik jam di tangannya, lalu dia membenarkan tubuhnya. "Re, aku duluan ya? Ada materi meeting yang harus aku kasih ke Pak Sean."

Ada ketakutan yang Reva rasakan. Reva takut kalau seandainya Sean bercerita kepada Fian soal kejadian semalam.

"Fi?"

"Kenapa, Re?"

"Engga apa-apa, semangat kerjanya ya?"

Fian terkekeh, hal sederhana seperti ini saja sudah membuatnya senang dan juga bahagia. Fian maju selangkah, dia mengecup singkat kening Reva. Tentu saja itu membut Reva terdiam.

"Terima kasih ya? Kamu juga, semangat kerjanya. Nanti berkabar lagi ya kalau udah pulang?"

Reva mengangguk, dia menatap punggung Fian yang mulai menjauh dari pandangan matanya. Fian itu pria baik, apa pantas dia mendapatkan ini semua?

Setelah Fian pergi Reva kembali melanjutkan pekerjaannya. Ternyata cokelat benar-benar membuat moodnya membaik. Sedang asik menatap layar laptop Reva dikagetkan suara notifikasi dari ponselnya.

'Jauhin Fian, atau kamu terima akibatnya.'

Deg.

Reva membaca pesan singkat itu dengan kekagetan yang luar biasa. Nomer tanpa nama, tetapi seperti tidak asing.

***