Isak tangis memenuhi pendengarannya, bersamaan dengan itu suara hujan yang turun pun ikut memasuki telinganya. Kedua suara itu seolah bersahutan dalam pendengarannya. Dirinya hanya menatap lurus seseorang dalam balutan kain putih.
"Alana." Sebuah sentuhan terasa di pundaknya. Ia sedikit menoleh, terlihat seorang wanita dengan wajah tirusnya tengah menatap dirinya dengan sendu. "Kamu yang kuat ya, Tante ikut merasa sedih atas kepergian Bundamu." Suaranya yang sengaja dibuat lirih membuat Alana tersenyum mengejek.
Matanya menatap sinis wanita itu. Ia berkata, "Tidak usah merasa sedih seperti itu, aku tahu jika kamu sangat bahagia saat ini."
Wina menatap Alana dengan mata terbelalak. Ia menggeleng pelan. "Bagaimana bisa kamu berbicara seperti itu, Alana? Biar bagaimanapun Mareta adalah temanku juga," ujarnya lirih.
Alana mendengkus. Kepalanya sedikit dimiringkan, ditariknya sudut bibirnya itu. "Jika kamu adalah teman Bunda, tidak seharusnya kamu merebut suaminya," desis Alana.
Wanita itu hanya terdiam menatapnya. Alana pun mendekatkan wajahnya ke arah telinga wanita itu. "Sampai kapan pun, kamu hanya dianggap sebagai wanita murahan," bisiknya tepat di telinga.
Alana memundurkan wajahnya. Terlihat Wina tengah menatapnya tajam. Namun, ia tidak acuh. Dibalasnya tatapan tajam itu dengan tatapan sinis. Ia beranjak dari duduknya. Sebelum melangkah pergi, tangannya menyentuh pundak Wina, tubuhnya pun sedikit dibungkukkan. Mulutnya kembali berbisik tepat di telinga Wina. "Tunggu saja sampai Ayahku akan membuangmu, dan juga anak harammu itu," ujar Alana seraya menepuk pelan pundak Wina.
Wina mengangkat kepala, matanya menatap nyalang mata cokelat kehitaman gadis itu.
Alana pun hanya menunjukkan seringaian seraya berlalu pergi, tak sudi rasanya berada didekat Wina.
"Tunggu saja pembalasanku, Alana," desis Wina seraya mengepalkan kedua tangannya.
Alana mendudukkan dirinya di kursi ruang makan. Hela napas keluar dari mulutnya ketika kepalanya menyentuh sandaran kursi. Matanya sedikit dipejamkan. Rasa sesak itu masih bersarang dalam dadanya.
'Hadiah ulang tahun yang benar–benar spesial,' batin Alana.
Belum cukup Erik memberikannya kejutan berupa kehadiran Wina dan anaknya, lalu saat ini dirinya pun harus menerima sebuah kejutan lainnya berupa kepergian Mareta.
Apakah Tuhan tidak mendengarkan permintaannya? Apakah masa kebahagiaannya telah berakhir? Apakah ini adalah takdirnya sejak awal? Tidak bisakah Tuhan tetap mempertahankan Mareta untuk berada disisinya? Semua pertanyaan itu memenuhi kepalanya.
Hela napas pun kembali lolos dari mulutnya. Alana mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kak." Sebuah suara asing terdengar di telinganya. Alana pun membuka matanya, terlihat seorang gadis dengan tubuh rampingnya tengah berdiri di hadapannya. Mata bulatnya menatap Alana dengan lirih. Alana mengerutkan dahinya. Ia seperti tidak asing dengan wajah itu.
"Maafkan aku dan Ibu, ya."
Penuturan itu membuat Alana kembali teringat. Benar juga, gadis di hadapannya ini adalah anak haram ayahnya dengan wanita murahan itu. Alana mendengkus seraya tertawa kecil. "Jika kamu ingin meminta maaf, bukankah kamu juga harusnya mengabulkan permintaanku?" tanyanya seraya menatap mata hitam gadis di hadapannya.
"Apakah itu, Kak?" lirihnya.
Alana mengangkat sebelah tangannya, memberikan sebuah arahan pada gadis itu mendekat ke arahnya. Gadis itu pun mendekatkan diri, tubuhnya sedikit dibungkukkan ke arah Alana.
"Tinggalkan rumah ini untuk selamanya." bisik Alana tepat di telinganya.
Gadis itu sontak memundurkan wajahnya dari Alana. Mata bulatnya terbelalak menatap Alana.
Sementara gadis berambut cokelat itu hanya menatapnya lurus. "Mengapa kamu terkejut begitu? Apakah permintaanku terlalu sulit?" tanyanya.
"Tapi, Kak..." Suara gadis itu sedikit tercekat. Dirinya tidak dapat melakukan itu.
Alana menarik sudut bibirnya. Ia menyeringai. "Sudah kuduga kamu tidak akan mau melakukannya," Ia sengaja menggantungkan ucapannya. Sorot tajam pun terpancar dari mata cokelat kehitamannya. "Jika begitu jangan berharap aku akan menerimamu dan juga Ibumu itu," lanjutnya.
Gadis itu hanya bergeming seraya menatap Alana dengan sendu.
"Satu lagi, jangan pernah memanggilku "Kakak." Aku tidak pernah mempunyai Adik."
***
Kepalanya sedikit menunduk. Matanya menatap tanah cokelat yang telah basah. Tetesan air dari langit telah membasahi tanah yang dipijaknya. Ia sedikit menoleh ketika rangkulan pada pundaknya semakin erat. Kepalanya terangkat menatap seorang wanita paruh baya dengan payung hitam di genggaman. Mata sembab wanita itu terlihat jelas oleh penglihatannya.
Hidungnya memerah, isak tangis pun sedikit terdengar dari mulutnya. Gadis bermata cokelat kehitaman itu hanya menatapnya lekat. 'Setidaknya aku masih memiliki nenek di sampingku.' batinnya.
"Alana." Wanita itu menoleh menatap gadis di sampingnya. "Jika kamu ingin menangis, maka menangislah. Jangan kamu pendam kesedihanmu itu," ujarnya dengan parau.
Gadis itu menatapnya lekat. Diperhatikannya wajah wanita paruh baya di sampingnya. Baru disadarinya jika wajah neneknya itu tidak terdapat kerutan satu pun. Neneknya tidak terlihat seperti wanita berusia 70 tahun.
Alana menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. "Aku pun ingin menangis, Nek. Namun, aku tidak dapat melakukannya," ujarnya lirih.
Sinta, wanita paruh baya itu semakin mengeratkan rangkulannya pada sang cucu. Air mata bercucuran ketika melihat mata Alana. Tatapannya yang kosong dan hampa, membuat hati Sinta semakin teriris. Gadis itu harus menerima semua derita seorang diri.
"Maafkan Nenek, Alana. Maafkan Nenek karena tidak dapat mendidik Ayahmu menjadi pria yang baik." Suaranya terdengar lirih di telinga Alana. Namun, gadis itu hanya terdiam. Senyum tipis masih terukir di wajahnya.
Isak tangis Sinta terdengar bersamaan dengan isak tangis dari seorang pria. Alana menolehkan kepalanya ketika suara berat itu memasuki pendengaran. Di hadapannya terlihat Erik tengah bersimpuh di makam Mareta.
"Mareta! Mengapa kamu meninggalkanku dan Alana begitu saja?" Pria itu berseru pada sebuah nisan. Air matanya bercucuran membasahi pipinya. Erik membiarkan pakaiannya basah, dan kotor terkena air hujan.
"Aku bahkan belum sempat meminta maaf padamu, Mareta!" Suaranya terdengar parau. Orang–orang yang melihatnya pun ikut merasa iba. Pria itu benar–benar menunjukkan rasa penyesalannya.
Alana yang melihat itu hanya tersenyum sinis. Lakon ayahnya benar–benar luar biasa. Ayahnya itu berhak mendapatkan nominasi sebagai aktor terbaik.
"MARETA!" Erik semakin menangis histeris sembari memeluk nisan istrinya itu.
"Mas Erik, sudahlah." Wina yang berada di sampingnya merangkul Erik. Wanita itu bahkan ikut menitikkan air mata di hadapan makam Mareta.
'Benar–benar pembohong cantik.' batin Alana. Gadis itu menatap kedua orang yang tengah menunjukkan kesedihannya dengan tatapan sinis. Pantas saja mereka menjadi pasangan, keduanya benar–benar licik.
"Pak Erik, sudah saatnya kita pulang. Hujan sudah semakin deras." Seorang pria lainnya menepuk pundak Erik dengan pelan.
Erik menoleh ke arahnya dengan mata merahnya. "Tidak bisakah aku tetap berada di sini? Aku ingin menemani istriku lebih lama," ujarnya parau.
"Tapi, Bapak juga harus memperhatikan kondisi Bapak. Besok akan ada rapat penting, kehadiran Bapak sangat ditunggu untuk rapat itu." Pria itu kembali mengingatkan Erik.
Erik mengusap ingusnya yang keluar dari hidung. Ia pun beranjak dari tempatnya diikuti dengan Wina. "Baiklah kalau begitu, dengan berat hati aku akan pulang." Erik akhirnya mengalah.
"Ayo, Mas," ajak Wina seraya menggandeng tangan Erik.
Mereka berdua melangkahkan kaki meninggalkan pemakaman. Langkahnya itu diikuti dengan beberapa orang di belakangnya. Orang–orang yang mengantarkan Mareta dalam kuburnya telah ikut pergi bersama Erik.
"Alana, ayo kita juga pulang." Sinta mengajak sang cucu untuk pergi.
Gadis itu menggeleng lemah. "Nenek pulang duluan saja, aku masih ingin di sini," jawab Alana pelan.
"Tapi, Alana—"
"Kumohon Nek, biarkan aku tetap di sini." Alana menyela ucapan Sinta. Matanya menatap lurus makam sang bunda.
Sinta menghela napas. Wanita itu tidak dapat memaksa kehendak cucunya. "Baiklah kalau begitu, peganglah payung ini." Sinta mengambil salah satu tangan Alana, kemudian diletakkannya tangan itu untuk menggenggam payung miliknya. "Kamu tidak boleh kehujanan, Alana," peringati Sinta.
Alana menatap Sinta dengan lekat. "Lantas Nenek bagaimana?" tanyanya khawatir.
Sinta tersenyum seraya menatap Alana dengan teduh. "Lihatlah ke arah sana." Sinta menunjuk seorang pria yang tengah berdiri tak jauh darinya. "Supir Nenek telah berdiri di situ sejak tadi, jadi Nenek akan jalan bersamanya."
Alana menatap pria yang ditunjuk Sinta. Pria itu pun tampak menundukkan sedikit kepalanya seraya tersenyum. Gadis itu pun membalasnya dengan senyuman tipis. Pandangannya kembali teralihkan pada Sinta. "Kalau begitu Nenek hati–hati."
Sinta mengangguk. "Nenek akan menunggumu di mobil. Kamu juga harus hati–hati di sini, Alana." Sinta kembali mengingatkan dengan senyum hangatnya.
Alana mengangguk paham.
Sinta pun memanggil pria itu untuk mendekat ke arahnya. "Nenek jalan duluan, Alana," pamitnya seraya menatap sang cucu.
Gadis itu mengangguk kecil. "Hati – hati, Nek."
Sinta menanggapinya dengan anggukan. "Ayo jalan," titahnya pada sang supir.
"Baik, Nyonya," jawabnya seraya memayungi Sinta. Mereka berdua pun melangkahkan kaki meninggalkan area pemakaman.
Melihat punggung Sinta yang semakin menjauh, Alana pun kembali memutar tubuh. Mata cokelat kehitamannya menatap makam Mareta. Pandangannya mulai kabur, rupanya air mata itu hendak keluar dari pelupuk matanya.
"Bunda..." lirihnya dengan setetes air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.
"BUNDA!" Gadis itu melemparkan payung dalam genggamannya begitu saja. Tubuhnya bersimpuh pada nisan Mareta.
"BUNDA! MENGAPA BUNDA MENINGGALKANKU BEGITU SAJA?" Tangisnya pecah begitu saja. Air matanya yang selama ini tidak ingin keluar telah tumpah ruah membasahi pipi putihnya. Pertahanannya runtuh begitu saja.
"Bunda telah janji tidak akan meninggalkanku! Lantas mengapa Bunda mengingkarinya?" Alana berseru pada nisan Mareta. Isak tangisnya memenuhi pemakaman yang telah sunyi.
"Bunda bangunlah! Alana tidak ingin tinggal bersama Ayah." Gadis itu menelungkupkan wajahnya pada nisan Mareta. Bahunya bergetar dengan sangat hebat. Isak tangisnya pun terdengar semakin keras. Gadis itu bahkan tidak peduli dengan derasnya hujan. Ia membiarkan tubuhnya basah begitu saja.
"Bunda, kumohon..."
"Kamu bisa sakit jika terkena air hujan."
Alana sedikit mengangkat kepalanya ketika suara seorang laki–laki memasuki pendengarannya. Suara itu terdengar asing di telinga. Dahinya berkerut ketika mendapati seorang laki–laki tengah berdiri di dekatnya dengan sebuah payung hitam.
"Nenekmu telah menyuruhmu untuk menggunakan payungnya." Laki–laki itu kembali bersuara sembari menatap Alana.
"Kamu, siapa?"
***