"Alana, ayo kita juga pulang."
"Apakah boleh jika aku berada di sini lebih lama, Nek?"
Sayup – sayup suara terdengar dalam telinganya. Ditolehkan kepalanya menatap seorang wanita paruh baya dan seorang gadis yang berdiri tepat di samping wanita itu.
"Tapi, Alana—"
"Ku mohon Nek, biarkan aku berada di sini."
Ia memicingkan mata sipitnya untuk menatap lebih jelas wajah gadis itu. Terlihat mata cokelat kehitamannya memancarkan sorot sendu. Dirinya terus menatap gadis itu dari jarak yang tidak begitu dekat. Pandangannya tidak bisa lepas dari mata itu. Mata cokelat kehitaman itu seolah menghinoptis dirinya.
"Baiklah kalau begitu, peganglah payung ini." Suara wanita paruh baya itu terdengar melemah. Namun matanya tidak juga melepaskan tatapan dari gadis di hadapannya. Ia melihat wanita itu menyerahkan payungnya pada gadis di hadapannya.
"Nenek akan membiarkanmu tetap di sini." Penuturan wanita paruh baya membuat sudut bibir gadis itu sedikit terangkat. Mata hitamnya melihat sebuah senyuman tipis terukir di wajah gadis itu. Sorot mata cokelat kehitamannya pun sedikit berbinar.
Pandangannya sedikit teralihkan ketika wanita paruh baya melangkahkan kakinya bersama seorang pria.
"Adyatma, ayo kita pulang." Sebuah suara berat menginterupsi dirinya, sontak ia pun sedikit terlonjak kaget. "Hah?" ujarnya secara spontan seraya menatap seorang pria di hadapan wajahnya.
"Papah mengajakmu pulang, Adyatma. Sebenarnya apa yang tengah kamu lihat itu, hah?" Mata hitam pria itu menatap tajam putranya. Melihat tatapan itu tentu membuatnya sedikit bergidik ngeri. Ia langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku tidak melihat apa – apa, sungguh." jawabnya cepat.
Bram, pria itu memicingkan matanya seraya mendekatkan wajahnya pada putranya. "Apakah kamu yakin, Adyatma?" tanyanya menyelidik.
Laki – laki itu mengangguk dengan cepat. "Tentu saja, Pah. Aku tidak berbohong." Ia menelan salivanya ketika sang ayah masih menatapnya tajam. Pria di hadapannya ini seolah mencium bau kebohongan dari dirinya.
'Ku mohon percayalah, Pah.' batinnya. Mata hitamnya masih menatap mata Bram. Degup jantungnya berpacu sedikit cepat ketika pria itu hanya diam saja seraya menatapnya.
"Baiklah kalau begitu, Papah percaya padamu." Laki – laki bernama Adyatma itu menghela nafasnya secara perlahan. Dialihkan pandangannya menatap tanah yang basah seraya mengelus dada dengan sebelah tangannya.
"Kalau begitu ayo pulang!" Bram kembali memberikannya interupsi.
Adyatma menolehkan kepalanya menatap Bram. "Tidak bisakah jika aku tetap di sini untuk beberapa menit, Pah?" tanyanya.
Bram kembali memicingkan matanya seraya menatap Adyatma. Keningnya pun sedikit berkerut. "Mengapa kamu ingin berada di tempat pemakaman, hah?" tanyanya curiga.
Adyatma kembali menelan salivanya. Mata hitamnya menatap mata sang ayah. Tangannya sedikit terangkat, jarinya menunjuk lurus. "Aku ingin menemaninya, Pah." ujarnya dengan suara bergetar.
Bram menolehkan kepalanya ketika putranya itu menunjuk sesuatu. Jari Adyatma menunjuk pada seorang gadis dengan balutan pakaian hitam dan payung hitam dalam genggamannya. Bukankah itu adalah anak dari kolega bisnisnya yang tengah berduka saat ini? Ia pun kembali menoleh menatap Adyatma. "Apakah kamu mengenalnya?" tanyanya.
Adyatma menggeleng pelan. "Aku tidak mengenalnya, Pah." jawabnya.
"Lantas mengapa kamu ingin menemaninya?" Bram mencecari Adyatma dengan pertanyaan.
Laki – laki berusia 17 tahun itu pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kepalanya sedikit dimiringkan seraya menatap Bram dengan sedikit kikuk. "Aku hanya tidak ingin gadis itu sendirian, itu saja." tuturnya.
Bram terdiam. Manik matanya menatap mata hitam Adyatma. Tidak ada keraguan dari sorot mata putranya itu. "Baiklah jika begitu. Papah akan memberikanmu waktu sepuluh menit untuk menemaninya, lewat dari itu maka kamu harus pulang sendiri."
Seulas senyum terpancar di wajahnya. Mata hitam itu berbinar menatap Bram. "Benarkah itu, Pah?" tanyanya tidak percaya. Dirinya benar – benar tidak menyangka jika Bram akan mengizinkannya begitu saja, terlebih ia bahkan tidak mengenali gadis itu.
Pria itu hanya mengangguk sekilas. "Waktumu dimulai dari sekarang." ujarnya tegas seraya melangkahkan kaki meninggalkan tempat pemakaman umum itu.
"Terima kasih, Pah." Adyatma mengucapnya secara pelan seraya tersenyum. Entah mengapa hatinya terasa berbunga – bunga ketika mendapatkan izin dari sang ayah. Dirinya hanya berniat untuk menemani gadis itu dalam diam, namun mengapa rasanya sangat menyenangkan?
Sementara Bram, pria itu tersenyum tipis seraya berlalu pergi meninggalkan putranya bersama gadis itu. "Dasar anak muda." gumamnya seraya terkekeh.
Selepas kepergian Bram, Adyatma hanya bergeming di tempatnya. Mata hitamnya masih menatap gadis itu. Kini hanya terdapat mereka berdua. Dinaungi oleh air hujan, tidak membuat kedua remaja itu beranjak.
Mata cokelat kehitamannya menatap lurus pada sebuah makam yang masih basah. Gadis itu melemparkan payung dalam genggamannya. Tubuhnya bersimpuh di samping makam. Isak tangisnya pun pecah.
"BUNDA! MENGAPA BUNDA MENINGGALKANKU BEGITU SAJA?" Seruannya terdengar parau. Air mata telah membasahi pipinya bersamaan dengan air hujan yang membasahi tubuhnya.
Tangannya memeluk makam itu, membuat pakaian yang dikenakannya kotor terkena tanah. Namun gadis itu tak mempedulikannya. "Bunda telah janji tidak akan meninggalkanku! Lantas mengapa Bunda mengingkarinya?" Gadis itu kembali bermonolog dengan isak tangis yang mengiringinya.
Adyatma mendongak menatap langit. Awan putih itu masih berwarna abu – abu gelap. Ia pun kembali menurunkan kepalanya seraya menatap gadis di hadapannya. Pakaian gadis itu telah basah diguyur air hujan.
Dirinya hanya terdiam seraya memperhatikan. Ia memang tidak berniat untuk menghampiri gadis itu, keberadaannya di sini hanyalah untuk menemaninya. Tubuh gadis itu semakin bergetar. Isak tangis pun terdengar semakin parau, namun kakinya merasa enggan untuk melangkah.
Adyatma hanya terdiam memperhatikan seraya mendengarkan semua perkataan gadis itu. Mata hitamnya benar – benar memperhatikan segala yang ada pada gadis itu, termasuk bibirnya. Bibir gadis itu mulai memutih dan menggigil. Mata cokelat kehitaman itu masih mengeluarkan air mata, namun tak dapat dipungkiri tubuhnya mengatakan hal lain. Gadis berambut cokelat itu merasa kedinginan.
Laki – laki berambut hitam itu pun berdecak sembari memutar bola matanya dengan malas. Otaknya mengatakan untuk mengabaikan, namun hati mengatakan untuk menghampirinya. "Sial!" Adyatma mengumpat seraya melangkahkan kakinya mendekati gadis itu.
Embusan angin menyapa tubuhnya. Isak tangis itu masih keluar dari mulutnya, namun tak dipungkiri bahwa rasa menggigil itu pun dirasakan oleh tubuhnya. Giginya bahkan sedikit menggertak.
"Bunda, Alana merasa dingin saat ini." lirihnya seraya memeluk makam Mareta. Air mata itu masih keluar dari pelupuk matanya. Tetesan demi tetesan air masih mengguyur tubuhnya. Rasa dingin telah menyelimuti, namun kakinya seolah enggan untuk beranjak. Alana tidak ingin meninggalkan Mareta seorang diri di tempat sepi ini.
Keningnya sedikit berkerut ketika tetesan air itu tidak lagi mengenai tubuhnya. Merasa aneh, ia mendongakkan kepalanya. Terdapat seorang laki – laki dengan pakaian hitamnya tengah memayunginya. Kerutan di keningnya pun semakin dalam ketika matanya melihat mata hitam itu.
"Nenekmu bahkan telah menyuruhmu untuk menggunakan payungnya." Suara laki – laki itu memenuhi pendengarannya.
"Kamu, siapa?" tanyanya dengan suara parau. Laki – laki di hadapannya benar – benar asing. Ia tidak pernah bertemu dengannya.
"Aku Adyatma, sedari tadi aku telah memperhatikanmu dari sana." jawabnya seraya menunjuk arah depannya. Alana pun mengikuti arah tunjukkan itu. Bahkan jaraknya dengan laki – laki itu tidak jauh, namun dirinya benar – benar tidak menyadarinya.
Alana kembali menolehkan kepalanya menatap mata hitam itu. "Lantas mengapa kamu ingin menemaniku?" Dirinya benar – benar tidak paham. Mereka berdua hanyalah orang asing, lantas atas dasar apa laki – laki itu memutuskan untuk berdiri di hadapannya sembari melawan rasa dingin yang menerpa tubuhnya?
"Aku melihat tatapan kosongmu sedari tadi. Bahkan ketika Nenekmu ingin mengajak pulang, kamu menolaknya dengan alasan ingin tetap berada di sini lebih lama." tutur Adyatma dengan tatapan datarnya.
"Lantas apa pedulimu?" tanya Alana sedikit ketus. Pikirannya mulai mengatakan bahwa laki – laki itu hanya merasa kasihan dengannya. Salah satu hal yang dibencinya adalah rasa kasihan dari orang, ia tidak butuh belas kasihan itu.
"Tidak ada alasan, aku hanya tidak ingin membiarkanmu sendirian di sini. Tenang saja, aku tidak memiliki belas kasihan padamu." ungkapnya dengan suara datar. Laki – laki bermata hitam itu seolah mengetahui isi kepala Alana.
Mata cokelat kehitaman Alana masih menatap tajam mata hitam Adyatma. Namun laki – laki itu seolah tak acuh. Tangannya terulur ke arah Alana, tentu saja hal itu membuat gadis berusia 17 tahun itu menatapnya dengan kening yang berkerut.
"Cepatlah berdiri, waktuku tidak banyak." Adyatma memberikan sebuah titah.
Alana mendengus. "Untuk apa aku menuruti perkataanmu itu? Kita bahkan tidak saling mengenal." ujarnya ketus.
"Bukankah aku telah menyebutkan nama tadi? Itu artinya kamu telah mengenalku."
Alana semakin mendengus. Isak tangisnya pun telah berhenti sejak matanya menatap kehadiran Adyatma. Gadis itu memutar bola matanya malas. Bibirnya kembali terbuka untuk mengatakan sesuatu. "Lantas mengapa aku harus— hei!" Gadis itu berseru ketika Adyatma menarik tangannya begitu saja.
"APA YANG KAMU LAKUKAN, HAH?"
***