Mata cokelat kehitaman itu menatap nyalang seorang pria di hadapannya. Sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk seringaian. Serpihan kaca dalam genggamannya telah menyentuh leher putih seorang gadis lain dalam sekapannya.
"Aku akan melakukannya, Ayah." Suaranya terdengar mencekam.
"Kak, ku mohon jangan lakukan itu..." Gadis dalam rangkulannya itu berbisik padanya dengan suara lirih. Namun gadis bermata cokelat kehitaman tidak mengindahkan. Serpihan kaca itu telah menggores kulit mulusnya. "Argh." Erangan itu terdengar. Cairan berwarna merah itu telah terlihat di leher putihnya.
Sang pelaku hanya tersenyum mendengar erangan itu. Sementara dua orang lainnya dalam ruangan itu terbelalak melihatnya. "Alana, ku mohon jangan lakukan itu..." lirihan Wina terdengar. Gadis bermata cokelat itu pun menoleh menatap seorang wanita yang tengah terduduk di lantai. Ia melihat setetets air mata keluar dari pelupuk mata wanita itu. Melihat hal itu, sebuah ide pun muncul dalam benaknya. Kepalanya sedikit dimiringkan, tangan kirinya kembali menggores leher itu.
"ARGH!" Erangan itu kembali terdengar. Gadis dalam dekapannya merintih sembari menutup kedua matanya. Cairan merah itu telah menetes dari lehernya.
Mata wanita itu semakin terbelalak. Nafasnya tercekat. Tubuhnya terasa lemas. Tatapannya tidak lepas dari putrinya. Gadis di hadapannya benar – benar tidak waras.
"ALANA, HENTIKAN!" Suara berat itu kembali terdengar memenuhi ruangan.
Gadis itu pun menoleh menatap seorang pria di hadapannya. Sorot matanya tampak sedikit sendu, namun seringaian itu masih terlihat di wajahnya. "Ayah bilang apa?" tanyanya sembari menaikkan sebelah alisnya.
"HENTIKAN AKSIMU ITU DAN LEPASKAN ASTRID, ALANA!" bentak Erik. Pria itu menatap putrinya dengan lekat. Nafasnya sedikit memburu ketika melihat cairan merah itu telah menetes mengotori lantainya.
Gadis itu mendengus. Mulutnya kembali terbuka. "Bukankah ini yang Ayah inginkan?" tanyanya pada Erik.
Pria itu tentu saja menatapnya dengan dahi berkerut. "Apa maksudmu itu?" tanyanya dengan suara dingin.
Suara tawa pun terdengar. Alana tertawa mengejek seraya memiringkan kepalanya. Mata hitam kecokelatannya terpaku pada mata pria di hadapannya, pria yang memiliki warna mata sama dengannya.
"Ayah terus saja mengatakan bahwa aku ingin melukai anak kesayanganmu ini." Sebelah tangannya yang bebas mengelus pelan rambut hitam gadis dalam dekapannya. "Aku pun telah mengatakan yang sebenarnya, namun Ayah tidak mempercayaiku," tuturnya.
"Lantas mengapa tidak sekalian saja aku melakukan apa yang ingin Ayah percayai itu?" tanyanya dengan suara tenang. Seringaian itu kembali terlihat di wajahnya.
Mata Erik terbelalak. "Alana, kamu..." Pria itu tidak dapat berkata – kata kembali. Pikirannya berkecamuk. Dirinya tidak menyangka jika pikiran putrinya akan seliar itu.
"Bukankah ini yang ingin kamu lihat, Ayah?" Suara Alana terdengar mengejek.
Erik pun mengatupkan bibirnya. Ia tidak dapat mengatakan sepatah kata. Melihat sikap diam Erik membuat sebuah ide kembali muncul dalam benaknya. "Oh ya, Ayah. Aku ingin bertanya, bagaimana jika aku menggoreskan serpihan kaca ini pada nadi Astrid?" tanya Alana dengan polosnya.
Mendengar pertanyaan itu sontak membuat Astrid menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Kak, ku mohon jangan lakukan itu..." lirihnya dengan suara bergetar. Rasa takut itu benar – benar menguasainya. Bulir bening pun menetes dari pelupuk mata.
Gadis bermata cokelat kehitaman itu mendekatkan bibir pada telinganya. Deru nafasnya membuat tubuhnya bergidik ngeri. "Sudah ku katakan sebelumnya, jangan pernah memanggilku Kakak." Suara dinginnya membuat tubuh seketika tegang. Ekor matanya dapat nelihat seringaian itu. Tenggorokannya pun menelan saliva. Firasat tidak enak telah menyelubungi batin.
"Kak, ku mohon..."
"SUDAH KU KATAKAN JANGAN PANGGIL AKU KAKAK!" Alana lantas mendorongnya dengan keras sehingga gadis itu tersungkur, tetapi dengan sigap Wina segera menangkap tubuh sang putri.
"Argh." Astrid mengerang seraya menyentuh lehernya. Wina pun segera menangkup wajah putrinya itu. Sorot khawatir terpancar dari mata hitamnya. "Apakah sangat sakit, Astrid?" tanyanya lirih. Gadis bermata hitam itu mengangguk lemah. Bulir bening telah membasahi pipinya. Wina mengulurkan sebelah tangannya kemudian dihapuskannya bulir bening itu dari pipi putrinya. Hatinya benar – benar sakit melihat sang putri saat ini.
Alana pun merasa muak melihat keharmonisan antara sang ibu dengan sang anak. Gadis itu memindahkan serpihan kaca pada genggaman tangan kanannya. Sementara Wina tengah menatap Astrid dengan khawatir, Alana melayangkan sebelah tangannya itu pada Astrid. Mereka berdua telah menghancurkan hidupnya, jadi mengapa tidak sekalian saja.
Alana menoleh ketika sebuah tangan kekar mencekal tangan kanannya. "APA KAMU SUDAH GILA, ALANA?" bentak Erik. Gadis itu melihat kilatan api pada sorot mata sang ayah. Suara Erik yang menggelegar sontak membuat Wina dan Astrid menoleh menatapnya. Mata mereka terbalalak ketika melihat Alana hendak mendaratkan serpihan kaca itu pada Astrid.
"APA KAMU HENDAK BERNIAT MEMBUNUH ADIKMU SENDIRI, HAH?" Nafas Erik memburu. Sebelah tangannya masih mencekal erat tangan kanan Alana.
Gadis itu pun menatapnya dengan tatapan nyalang. "YA, AKU MEMANG SUDAH GILA DAN YA AKU BERNIAT MEMBUNUH ANAK HARAM ITU!" teriak Alana. Rasa sesak itu semakin menghimpit dadanya. Ia benar – benar lelah dengan segalanya.
Mata cokelat kehitaman Erik semakin berkilat tajam. Tatapannya teralihkan pada serpihan kaca dalam genggaman putrinya. Sebelah tangannya yang bebas dengan cepat merebut benda tajam itu dari genggaman Alana. Gadis itu tentu saja sempat terkejut melihat aksi Erik. "AYAH!" teriak Alana.
Pria itu tidak mengacuhkannya. Serpihan kaca dalam genggamannya dilempar asal ke luar kamar. Kepalanya kembali menoleh menatap putrinya dengan nyalang. "Kamu benar – benar membuat Ayah marah, Alana." Kali ini suaranya tidak lagi menggelegar, namun suaranya yang pelan membuat Wina dan Astrid bergidik ngeri. Kedua perempuan itu masih menatap kedua orang yang tengah bersitegang.
"LANTAS APA YANG AKAN AYAH LAKUKAN PADAKU? APAKAH AYAH AKAN KEMBALI MENAMPARKU, HAH?" Suara Alana menggelegar memenuhi ruang kamar Astrid. Gadis itu menatap tajam sang ayah dengan nafas memburu.
"Tidak, tapi Ayah akan lakukan ini padamu." Erik menarik tangan Alana dengan kasar, sehingga gadis itu harus berjalan mengikuti arahan Erik.
"Ayah, sakit!" seru Alana. Namun sang ayah tidak menggubrisnya. Pria itu semakin mengeratkan genggamannya pada pergelangan tangan Alana. "AYAH!" Gadis itu benar – benar merasa sakit.
Sementara Erik membawa Alana keluar dari kamar Astrid, kedua perempuan di dalam kamar itu hanya terdiam seraya menatap kepergiannya. Hela nafas pun keluar dari mulut Wina. Wanita itu sontak menatap kembali wajah putrinya yang tampak ketakutan. Mulutnya sedikit terbuka. "Astrid tunggu sini dulu, ya. Ibu akan membawakan kotak P3K untuk lukamu itu," ujarnya lirih.
"Ibu tidak akan meninggalkanku sendiri di sini, kan?" Gadis itu bertanya seraya menatap Wina dengan sorot ketakutannya.
Wina menggeleng lemah. Salah satu tangannya membelai wajah putrinya dengan lembut. "Ibu tidak akan kemana – mana, jadi tunggu sebentar ya." Suaranya terdengar lirih, rasa sakit itu masih menyelubungi batinnya. Wanita itu benar – benar hancur melihat sang putri ketakutan dan sakit dalam bersamaan.
Gadis bermata bulat itu mengangguk pelan. Wina pun berusaha beranjak dari duduknya. Wanita itu melangkah gontai. 'Alana benar – benar gadis gila.' batinnya bergumam.
***
"Ayah, jangan katakan bahwa Ayah akan membawaku ke gudang?" Suara Alana sedikit bergetar ketika menanyakan hal itu. Dirinya menyadari bahwa saat ini Erik tengah membawanya ke arah sebuah gudang rumahnya. Namun pria di hadapannya itu tidak mengacuhkannya. Sang ayah masih tetap menyeretnya dengan paksa.
"Ayah, ku mohon jangan gudang." Suaranya sedikit lirih. Erik dapat memberikan hukuman apapun, tapi tidak untuk gudang rumahnya.
Mereka berdua pun menghentikan langkah. Erik terlihat merogoh saku celananya, sebuah kunci pun dikeluarkannya. Mata sipit Alana lantas terbelalak melihat itu. "Ayah, ku mohon jangan lakukan itu..." Ia benar – benar putus asa. Namun Erik tidak mengindahkan permintaan sang putri. Pria itu memutar kunci itu dua kali, kemudian tangannya membuka pintu tersebut.
"Ayah, ku mohon..." Erik melihat sorot ketakutan pada mata cokelat kehitaman Alana. Namun nuraninya seolah telah membeku, pria itu menyeret Alana untuk berdiri di hadapannya, kemudian didorongnya gadis itu ke dalam gudang. Tubuh gadis itu pun tersungkur. "Ayah—" Gadis itu hendak terbangun dari tempatnya, namun pintu itu telah tertutup rapat. Telinganya mendengar suara kunci dari luar.
Alana pun segera bangun dari posisinya. Gadis itu berlari ke arah pintu, kemudian diketuknya dengan keras. "Ayah, ku mohon buka!" serunya. Namun pria itu tidak mempedulikannya. Erik memilih untuk melangkah pergi.
Suara ketukan itu masih terdengar dari dalam gudang. "Ayah, ku mohon buka..." lirih Alana. Ketukannya pun melemah. Gadis itu menyadari bahwa usahanya saat ini sia – sia, ia yakin bahwa Erik telah meninggalkannya.
Matanya pun menelusuri seluruh ruangan dan gelap. Ia tidak dapat melihat apapun di dalam sini. Rasa sesak pun mulai menyerangnya. Keringat dingin mulai terlihat di keningnya. "Bunda, Alana takut..." lirihnya.
Sambaran petir menggelegar. Alana sontak menekuk lutunya sembari menundukkan kepala. Rasa sesak itu semakin menghimpit dadanya. Sepotong kejadian pada masa itu kembali berputar dalam benaknya. "Ku mohon jangan..."
***