"Jangan... ku mohon berhenti..." Suara lirih terdengar dari bibirnya. Keringat pun bercucuran dari dahi. Kepalanya sesekali bergerak ke kanan dan kiri. Mata yang telah terpejam itu semakin dipejamkan.
"Ku mohon, jangan mendekat..." Kedua tangan mulai menutupi tubuhnya. Bulir bening mulai menetes dari pelupuk mata. Kepalanya masih tetap menggeleng. "Ayah..." Suaranya kini diiringi oleh isakan kecil.
"Ayah, tolong aku..." Matanya masih terpejam, bulir bening itu pun tetap keluar dari pelupuk mata.
"Ayah..."
BRAK
Pintu itu terbuka dan menghantam dinding ruangan dengan keras. Sebuah tangan kekar meraba dinding ruangan kemudian ditekannya sebuah tombol. Matanya terbelalak ketika penerangan di dalam sini tidak juga menyala. Sebelah tangannya pun masih memaikan tombol itu, tetapi nihil.
Pandangannya diedarkan pada seluruh ruangan. Jantung pun telah berdegup kencang. "Ayah, tolong aku..." Kepalanya segera menoleh pada sudut ruangan ketika suara itu memasuki telinga. Matanya sedikit menyipit dan benar terdapat seseorang tengah terduduk di sudut ruangan.
Kakinya berlari dengan cepat walau jaraknya dengan sudut ruangan tidaklah sejauh itu. Mata hitamnya menangkap seorang gadis tengah terpejam. Kedua kakinya semakin lemas ketika melihat keringat bercucuran dari pelipis gadis itu. Kakinya ditekuk, ia bersimpuh di hadapan gadis itu.
"Alana..." Suara beratnya terdengar lirih.
"Ayah..." Gadis itu masih bergumam seraya menitikkan air mata dengan kondisi terpejam.
Rasa sesak mulai menghmpit dada. Nafas pun mulai tercekat. "Ayah berada di sini, sayang..." Sebelah tangannya menyentuh pipi gadis di hadapannya. Hal itu tentu saja membuat gadis itu membuka matanya. Dirinya dapat melihat sorot ketakutan dari mata itu.
"Ayah?" tanyanya dengan nafas yang memburu.
Erik mengangguk lemah. Mata cokelat kehitamannya menatap lirih Alana.
"Ayah, aku benar-benar takut di sini. Tadi terdapat—" Erik langsung memeluknya, bahkan gadis itu belum menyelesaikan kalimatnya. "Maafkan Ayah, Alana..." bisiknya dengan suara lirih.
Alana pun masih tetap menggelengkan kepala. "Ayah, mereka sangat banyak. Aku benar-benar takut," cicitnya dalam dekapan Erik. Matanya bahkan masih menatap awas terhadap sekitar. Sekumpulan orang tadi bisa saja berada di sini.
"Sudah ya Alana, mereka tidak akan berani ke sini," Sebelah tangan Erik mengusap punggung putrinya dengan lembut, sementara tangan satu laginya mengelus rambut.
Alana tetap menggelengkan kepala. Penuturan Erik tidak membuatnya tenang. Pikirannya masih mengatakan bahwa orang-orang itu akan kembali menyerang, mereka masih berada di sini, di tempatnya.
"Tidak Ayah! Mereka ada di sini, mereka akan kembali menyerangku!" seru Alana seraya menggeleng keras. Isakan masih terdengar dari mulutnya. Pandangan pun masih diedarkan pada seluruh ruangan. Matanya terbelalak ketika menatap ke arah pintu. "AYAH! LIHAT MEREKA BERADA DI SITU!"
Pekikan Alana sontak membuat Erik menoleh menatap ke arah pintu. Ia pun kembali menolehkan kepalanya. "Alana sayang, tidak ada siapapun di sana." Air matanya menetes ketika mengucapkan hal itu. Namun gadis itu tetap menggeleng seraya berseru, "MEREKA ADA DI SITU AYAH! LIHAT, MEREKA BAHKAN MENYERINGAI!" Bahu Alana bergetar. Bulir bening telah tumpah ruah membasahi pipinya.
"Alana, ku mohon tenanglah..." Erik semakin mendekap putrinya. Sesak itu telah menghimpit dadanya.
***
"Hai, gadis manis." Alana membelalakkan mata ketika seorang pria paruh baya menyentuh pipinya. Ia menolehkan kepala untuk menepisnya.
"Ternyata kamu galak juga," ujarnya sembari menyeringai.
Alana pun berusaha menulikan telinga. Dirinya tengah berusaha memberanikan diri, walau jantungnya telah berdegup cepat. Tentu saja hal itu disadari oleh pria paruh baya di hadapannya. Ekor matanya melihat kaki Alana sedikit bergetar. Sudut bibirnya pun semakin terangkat.
Kakinya melangkah mengikuti arah pandang Alana. Tubuhnya sedikit dibungkukkan untuk sejajar dengan wajah gadis itu. "Apakah kamu takut, sayang?" tanyanya. Suara berat itu sengaja dilembutkan dan itu terdengar mengerikan bagi Alana. Tubuh Alana bergidik, tetapi wajahnya tetap menampilkan raut datar. Mata hitam kecokelatannya menatap lurus pria itu.
Kepalanya menggeleng. Lakban yang menempel pada mulut membuatnya kesulitan. Pria paruh baya itu lantas memiringkan kepala. Sebelah tangannya mulai menyentuh rok abu-abu, kemudian dibuka secara perlahan rok itu. Mata cokelat kehitamannya lantas terbelalak, kepalanya menggeleng pelan. Namun pria itu tidak mengindahkan reaksinya, tangannya semakin membuka rok itu sehingga paha putihnya terlihat. Air mata mulai menetes dari pelupuk matanya.
"Pahamu sangat mulus, sayang." Tangan pria itu menyentuh pahanya. Hal itu tentu membuatnya semakin bergidik. Kepalanya semakin menggeleng, tetapi pria itu tetap tidak menggubrisnya. Tangannya mencubit pelan paha itu. "Pahamu benar-benar menggodaku. Bagaimana jika aku mencicipinya?"
"JANGAN!"
"Alana, kamu kenapa sayang?" Erik segera bergegas menghampiri putrinya ketika teriakan itu terdengar. Gadis itu menoleh menatap Erik. Matanya menangkap sebuah gelas di atas nampan pada genggaman Erik.
"Apa yang Ayah lakukan di kamarku?" tanyanya dengan dingin. Nafasnya masih terengah-engah, tetapi matanya menatap tajam sang ayah. Ia tidak suka dengan keberadaan Erik saat ini.
Erik meletakkan nampan itu di atas nakas. Ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang Alana. Mata cokelat kehitamannya menatap sendu putrinya. "Ayah sangat mengkhawatirkanmu, Alana." Suaranya lirih. Ia benar-benar menyesal.
Alana pun mendengus. "Ku pikir Ayah tidak akan mengkhawatirkanku," gumamnya seraya memutar bola matanya dengan malas.
Hela nafas pun keluar dari mulutnya. Sebelah tangannya terulur menyentuh tangan Alana yang tergeletak di atas ranjang. Genggaman Erik tentu saja membuat Alana menoleh. Ia melihat tangan besar Erik tengah mengusap lembut punggung tangannya.
"Maafkan Ayah, Alana." Suaranya terdengar tulus. Kepalanya ditundukkan. Ia tidak kuasa untuk menatap mata putrinya itu.
"Maaf untuk apa, Ayah?" tanya Alana dengan nada mengejek. Erik yang mendengar pun semakin menundukkan kepala. "Maafkan Ayah karena baru mengingatnya," lirihnya.
Alana kembali mendengus. Ia membuang wajahnya dari hadapan Erik. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk sebuah senyuman miris. "Bahkan dari dulu pun Ayah selalu datang terlambat," gumamnya.
"Maafkan Ayah," Suaranya semakin lirih. Erik tidak tahu harus mengatakan apa selain kata maaf.
"Dari dulu pun aku telah berteriak meminta tolong, tetapi Ayah tidak segera datang saat itu," lirih Alana. Matanya berkaca-kaca. Ia pun segera menggenggam erat sebelah tangannya yang bebas.
"Aku telah meminta Ayah untuk datang tepat waktu saat itu, tetapi Ayah lebih memilih pekerjaanmu," Suaranya mulai tercekat. Potongan ingatan itu kembali menyeruak. Rasa sesak pun mulai menghmpit dadanya.
Erik hanya terdiam. Dirinya tidak dapat memberikan perlawanan, semua penuturan itu memang benar adanya. Ia mengaku bersalah.
"Andai saja Ayah mendengarku saat itu, sudah pasti hal itu tidak akan terjadi." Bulir bening telah jatuh dari pelupuk matanya. Ia pun dengan cepat mengusapnya dengan kasar.
"Iya Ayah memang bersalah," ujar Erik sangat lirih.
"Apakah hal itu telah dilupakan olehmu, Ayah?" tanyanya seraya menoleh menatap Erik. Namun pria itu hanya tertunduk. "Apakah hal itu tidak penting untukmu, Ayah?" Alana mencecarinya. Bulir bening itu semakin membasahi pipinya. Pertahannya telah runtuh.
"Tidakkah Ayah sadar bahwa semua itu karenamu?" Suara Alana mulai meninggi. Kenangan yang sangat ingin dilupakannya telah berputar dalam benaknya. Hal itu tentu membuat nafasnya tercekat. Sebelah tangannya yang bebas lantas menekan dada.
"Karena Ayah... aku harus melalui hal mengerikan itu..." Ia kembali berbicara dengan susah payah. Erik yang menyadari perubahan suara itu sontak mendongak. Matanya terbelalak ketika melihat sang putri kesulitan bernapas.
"ALANA!"
***