Chereads / BLACK TEARS / Chapter 13 - Aku Tidak Suka Rumah Sakit

Chapter 13 - Aku Tidak Suka Rumah Sakit

"Apakah Alana sudah sadar?"

"Belum, Om. Sedari tadi saya berada di sini dan Alana belum juga membuka matanya."

"Baiklah kalau begitu, kamu dapat pulang jika lelah. Om akan berada di sini."

Sayup-sayup suara terdengar dalam pendengarannya. Kelopak mata pun berusaha untuk dibuka walau rasanya berat. Secercah cahaya lampu menyilaukan. Secara reflek matanya sedikit menyipit.

Pendengarannya masih merekam suara yang tidak asing untuknya. Ia pun mengerjapkan mata beberapa kali. Seorang gadis yang berada di sampingnya lantas berseru ketika kepalanya menoleh.

"Alana, akhirnya kamu sadar juga!" Seruan itu terdengar memekik. Sang pemilik nama yang diserukan pun sedikit menggerutu.

"Alana, kamu telah bangun, nak?" Kini suara berat terdengar dalam telinga. Sebuah sentuhan terasa oleh punggung tangannya. Ia enggan menoleh, pandangannya lurus pada langit-langit kamar.

Safiya menatap Erik. Gadis itu mendapati sorot sendu ketika Alana hanya menatap lurus tanpa mengindahkan penuturan Erik. Safiya menoleh pada Alana. Kepalanya sedikit ditundukkan, bibirnya mendekati telinga Alana.

"La, Ayahmu sangat khawatir. Tidak bisakah kamu menoleh sedikit padanya?" Bisikannya tentu saja membuat Alana menoleh, tetapi netra cokelat kehitaman itu mengarah pada manik hitam milik Safiya.

"Mengapa aku harus menatapnya?" tanyanya dengan suara pelan dan dingin. Suara Alana memang pelan, tetapi itu cukup terdengar bagi Erik. Pria itu lantas tersenyum miris.

"Tidak apa-apa jika kamu masih marah dengan Ayah. Namun, Alana—"

"Selamat pagi, Alana." Ucapan Erik harus terhenti ketika suara lain memenuhi ruang kamar Alana. Ketiga orang itu menoleh secara bersamaan pada ambang pintu. Terlihat seorang pria dengan snelli-nya dan seorang suster dengan seragam putihnya. Kedua orang itu menyunggingkan senyum lebar.

"Apakah aku menganggu kalian?" Pria itu bertanya setelah menyadari suasana canggung diantara tiga orang di hadapannya.

"Tidak sama sekali, Dok." Alana membuka suara sembari menggeleng lemah.

"Baiklah kalau begitu." Pria itu bernafas lega sembari melangkah mendekati ranjang sang pasien.

"Bagaimana keadaanmu saat ini, Alana?" tanyanya dengan sebuah senyuman hangat. Sementara seorang suster yang berada di sampingnya telah sibuk memeriksa infus yang menempel pada punggung tangan kirinya.

"Aku merasa pusing," ujar Alana sembari memegangi kepalanya.

"Selain itu adakah yang kamu rasakan? Sesak nafas mungkin?" Pria yang dipanggil Dokter itu kembali bertanya sembari menunjuk hidung.

Alana menggeleng. "Tidak ada," jawabnya.

Pria itu mengangguk kecil. "Syukurlah kalau begitu, aku ikut senang mendengarnya."

"Dokter."

Pria itu berdeham sembari menatap lekat manik cokelat kehitaman di hadapannya.

"Tidak bisakah aku pulang saja ke rumah? Aku tidak suka dengan rumah sakit," gerutu Alana sembari mengerucutkan bibirnya.

Penuturan Alana membuatnya terkekeh. "Mengapa kamu tidak menyukainya? Bukankah kamu sering datang ke sini?" tanyanya diselingi tawa pelan.

Alana memajukan bibirnya. "Memang benar aku sering datang ke mari. Namun, aku tetap tidak menyukai rumah sakit," balasnya dengan kesal.

"Kalau boleh tahu, mengapa kamu tidak menyukai tempat ini hem?" Pria itu bertanya sembari menundukkan kepalanya.

"Rumah sakit itu bau obat. Aku tidak menyukainya."

Jawaban polos dari mulut Alana sontak membuat pria itu tertawa. Bahkan seorang suster yang berada di sampingnya pun ikut terkekeh. Sementara Alana, gadis itu tetap dengan wajah ditekuknya. Ia merasa bahwa jawabannya tadi bukanlah sebuah lelucon, lantas mengapa kedua tenaga medis itu tertawa?

Pria itu menyeka bulir bening yang berada di pelupuk matanya. Tawanya sangat keras hingga air mata pun ikut jatuh. "Sayangnya Alana—" Pria itu sengaja menganggantungkan ucapannya akibat tawa yang belum tuntas. "Kamu harus tetap berada di tempat ini." Penuturannya tentu saja mendapatkan seruan dari Alana.

"DOKTER!" Gadis itu menatap sebal seorang pria di sampingnya.

"Kamu harus tetap di sini minimal satu minggu, itu keputusan yang tidak dapat diubah."

Penuturan itu lantas membuat Alana membuang wajah ke arah lain. Satu minggu katanya? Yang benar saja. Ia dapat mati kebosanan dalam ruangan ini.

"Jangan merajuk seperti itu, Alana. Kamu masih dapat keluar dari ruangan ini," ujarnya sembari menyentuh puncak kepala Alana.

Gadis itu pun sedikit menoleh. "Apakah itu artinya aku dapat keluar dari rumah sakit ini?" tanyanya.

Pria itu terkekeh. "Tentu saja tidak. Kamu hanya dapat keluar dari kamar ini, bukan dari rumah sakit ini," jawabnya.

Alana kembali membuang wajah sembari mendengus. Bukan jawaban itu yang ia inginkan, Astaga penuturan pria itu membuatnya semakin kesal saja.

"Sabarlah sedikit lagi, satu minggu bukanlah waktu yang lama," ujarnya seraya mengacak-ngacak pelan rambut Alana. Namun, gadis itu tak mengindahkannya. Ia terlalu kesal.

"Maafkan sikap Alana, Adrian." Sebuah suara berat itu membuatnya menoleh. Terlihat seorang pria lainnya tengah berdiri di samping.

"Tidak apa-apa. Aku sudah biasa dengan sikap kekanakkan anakmu ini," balasnya dengan senyuman.

Erik pun menatap temannya itu dengan sedikit sendu. Adrian yang menyadari sorot mata itu, merasa ada sesuatu yang telah terjadi.

"Dokter, bisakah aku meminta tolong padamu?" Suara Alana kembali membuatnya menoleh. Pandangannya kini mengarah pada seorang gadis dengan pakaian tidurnya.

"Tentu saja, apakah itu?" tanyanya.

"Bisakah Dokter membawa temanmu itu pergi dari kamarku? Aku merasa sangat sesak dengan kehadirannya di sini." Penuturan Alana tentu saja dihadiahi dengan sebuah pukulan pelan dari Safiya. Namun, Alana tidak menggubrisnya. Dirinya tidak menarik ucapannya barusan. Bahkan ia pun mengatakannya tanpa menatap Adrian.

Adrian melirik sekilas Erik. Ekor matanya dapat melihat kepala Erik sedikit ditundukkan. "Apakah hanya itu saja yang kamu inginkan?" tanyanya kembali.

"Ya, hanya itu saja."

"Baiklah kalau begitu. Erik, aku memintamu untuk ikut ke ruanganku saat ini juga," titah Adrian.

Pintu terbuka. Adrian bersama Erik dan seorang suster yang sedari tadi dengannya melangkah keluar meninggalkan kedua gadis di dalamnya. Setelah pintu itu kembali tertutup, barulah Safiya melemparkan tatapan tajamnya pada Alana.

"Alana, sikapmu tadi benar-benar keterlaluan!" seru Safiya. Ia tahu Alana sangat membenci Erik. Namun, tidak bisakah gadis itu menangkap sorot kesedihan dari ayahnya?

Alana pun memiringkan tubuhnya membelakangi Safiya. "Aku lelah, Sa. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu."

Jawaban Alana tentu saja membuat Safiya membelalakkan mata. Ia tidak habis pikir dengan sahabatnya itu. Hela nafas pun keluar dari mulutnya.

***

"Kamu ingin teh, kopi atau tidak usah sama sekali?"

Erik mendengus mendengar penuturan temannya itu. Pria itu seperti enggan untuk membuatkannya sebuah minuman. "Jika kamu merasa malas membuatkannya, lebih baik tidak usah menawarkan," ejeknya.

Ucapan Erik tentu saja membuat Adrian tertawa pelan. "Kamu tahu saja jika aku sebenarnya malas," balasnya sembari mengambil sebuah cangkir dan sendok. Pria itu berjalan ke sudut ruangannya. Di sana terdapat beberapa bahan-bahan untuk membuat minuman. Adrian menuangkan beberapa sendok gula dan sebuah teh celup pada sebuah cangkir. Tak lupa, ia pun menuangkan air panas ke dalamnya.

"Hati-hati masih sangat panas," peringatinya sembari meletakkan sebuah cangkir di hadapan Erik. Kepulan asap itu bahkan terlihat oleh Erik.

"Terima kasih," ucap Erik.

"Sama-sama," balas Adrian sembari mendaratkan bokongnya pada sebuah sofa yang berada di ruangannya.

"Jadi, bisakah kamu jelaskan bagaiamana Alana dapat kambuh kembali?" Pertanyaan Adrian tentu saja membuat Erik gugup. Dirinya sedikit memajukan tubuh sehingga punggungnya sedikit membungkuk. Tangannya mengepal.

"Aku telah memasukkan Alana ke dalam gudang yang sangat gelap," lirih Erik.

Adrian membelakkan mata. "Apa kamu bilang?"

***