Mata cokelat kehitamannya menatap sinis Erik. Pria itu memiliki warna mata yang sama dengannya. Sudut bibirnya sedikit terangkat. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menerima kehadiran wanita murahan itu," desisnya seraya melirik tajam seorang wanita yang bergeming di ambang dapur. Wanita itu hanya terdiam dengan sepiring roti yang di tangannya.
"Tidak akan kubiarkan dia merebut posisi Bunda di rumah ini!" tegas Alana seraya menatap Erik.
Pria itu menatap nyalang putrinya sembari mengepalkan kedua tangannya.
"Tidak sudi rasanya jika aku harus menginjak rumah yang di dalamnya terdapat wanita murahan dan anak haramnya," cibir Alana sembari meludah di hadapan Erik.
"ALANA, HENTIKAN!" Erik kembali membentak. Dirinya tak kuasa untuk menahan emosi. Putrinya ini benar–benar melewati batas. Sebelah tangannya telah melayang di udara, sebuah tamparan siap mendarat di pipi putih putrinya itu.
Alana yang melihatnya pun lantas menyerahkan pipi kirinya pada Erik. "Ayo Yah, tampar saja pipiku ini!" tantangnya seraya menepuk pelan pipinya.
"Alana," lirih Safiya seraya menggelengkan kepala. Gadis itu tidak ingin melihat sahabatnya kembali terkena amukan Erik.
Erik masih menahan tangannya di udara. Napasnya memburu, wajahnya merah padam. Emosi telah berada di puncak kepala. Matanya menatap nyalang Alana. Namun, gadis itu seolah abai terhadap emosi Erik.
"Mengapa Yah? Tidak dapat menamparku, lagi?" ejek Alana seraya menatap Erik dengan seringaiannya.
"Mas."
Suara seorang wanita membuat Erik menoleh. Wanita itu menggeleng lemah. Dirinya seolah mengatakan, 'jangan lakukan itu.' Hela napas pun keluar dari mulutnya seraya menghempaskan sebelah tangan. Matanya kembali menatap wanita itu. Seulas senyum tipis menghiasi wajah tirusnya. Sejenak mata mereka saling bertautan.
Alana mendengkus ketika melihat adegan romansa itu. "Menjijikkan sekali melihat kalian saling bertatapan seperti itu," gumamnya seraya memutar bola matanya dengan malas.
Penuturannya itu tentu saja dihadiahi oleh sebuah tatapan tajam oleh Erik. "Tidak bisakah kamu berbicara sopan pada orang tua, Alana?" tanyanya dengan dingin.
"Wanita murahan itu bukanlah orang tuaku." Gadis itu tetap bersikukuh.
"Alana!"
"Alana, sudahlah mari kita pergi dari sini." Safiya langsung menggandeng tangan Alana. Dirinya menarik tangan gadis itu untuk menjauh dari ruang makan. Ia tidak ingin sahabatnya itu menjadi amukan Erik.
Alana pun hanya mengikuti perintah Safiya. Ia menyeretkan kakinya untuk melangkah pergi, tetapi matanya tetap menatap nyalang seorang wanita yang masih diam di tempatnya.
Erik menatap kepergian putrinya itu dengan tajam. Ketika Alana dan Safiya telah berjalan menaiki tangga, barulah wanita itu mendekati Erik. Diletakkan sepiring roti yang digenggamnya di atas meja makan.
"Sudahlah, Mas. Ucapan Alana tadi jangan kamu pikirkan." Wanita itu mengusap pelan bahu suaminya itu.
Erik mendengkus seraya memijat pangkal hidungnya. "Tapi, sikapnya terhadapmu benar-benar diluar batas, Win," ujarnya pada Wina.
"Aku tahu, Mas, tapi sudahlah jangan kamu pikirkan. Lagi pula aku dapat mengerti mengapa Alana bersikap seperti itu."
Suara lembut Wina membuat Erik menoleh menatapnya. Wajah wanita itu sangat dekat, ia bahkan dapat merasakan deru napasnya. Pandangannya pun mengarah pada bibir merah Wina. Bibir itu tampak sangat menggoda.
Erik menepis jaraknya dengan Wina. Pria itu semakin mendekatkan wajahnya.
"Mas."
Lirihan Wina membuat tubuhnya memanas. Sebelah tangannya meraih tengkuk Wina, ditatapnya mata hitam milik wanita itu dengan lekat. Tanpa meminta izin pada sang pemilik, bibir merah merona itu langsung dilumat habis dengan sedikit kasar.
Kedua orang itu tampak menikmati hingga mereka tidak sadar terdapat seseorang yang melihatnya. Dari lantai dua rumahnya, terlihat seseorang berdiri seraya memperhatikan semua kejadian di lantai bawah rumahnya. Seseorang itu hanya menatap tajam sembari mengepalkan kedua tangannya.
"Kamu bahkan telah berani bercumbu di rumah ini, Erik," gumamnya.
***
"Alana."
Gadis itu hanya bergeming seraya menatap langit dari balkon kamarnya. Safiya pun menghela napas seraya menarik rambutnya. Dirinya tengah frustasi melihat Alana hanya diam tanpa sepatah kata pun.
"La, ku mohon—"
"Langit pagi ini tampak gelap, Sa." Alana menyela ucapan Safiya.
"Hah?" Gadis bermata hitam itu menatapnya dengan dahi berkerut. Ia tidak paham dengan maksud ucapan Alana.
"Lihatlah ke atas sana." Alana menunjuk langit dengan jari telunjuknya. Safiya pun mengikuti arahannya, ia menengadahkan untuk menatap langit. Terlihat awan putih itu berubah menjadi abu–abu.
"Bukankah jarang sekali melihat langit tampak gelap ketika pagi hari?" gumam Alana.
"Iya kamu benar, La." Safiya menyetujui pendapat gadis itu. Matanya masih menatap langit, terlihat awan–awan itu bergerak mendekati satu sama lain. Embusan angin membuat Safiya merapikan poninya yang sesekali menutupi mata. Gadis itu berdecak ketika poninya itu tak kunjung rapi.
"La, kamu tidak ingin masuk ke dalam saja? Sepertinya hujan besar akan turun sebentar lagi," ujar Safiya sembari memegangi poninya agar tidak menutupi mata.
"Aku lebih suka di sini, Sa. Setidaknya di sini membawa angin sejuk untukku," jawab Alana seraya menutup matanya. Ia membiarkan rambut cokelatnya tertiup angin hingga mengenai kulit wajahnya.
"Baiklah kalau begitu." Safiya menghela napas seraya mendudukkan dirinya di kursi yang terletak di balkon kamar Alana. Gadis itu memutuskan untuk menemani Alana, walaupun ia kesal dengan embusan angin.
Safiya mengerutkan kening ketika telinganya mendengar sayup–sayup pertikaian. "La, apakah kamu tidak mendengar kegaduhan?" Gadis itu bertanya pada Alana. Suara itu tidak terdengar asing di telinganya.
"Biarkan saja, Sa." Alana tak acuh dengan pertikaian itu.
Safiya pun mengangguk pelan. Dirinya mencoba untuk mengabaikan, tetapi suara itu terdengar semakin jelas di telinga. Ia pun berdecak seraya beranjak dari tempatnya. Tangannya menarik pundak Alana dengan sedikit kasar, membuat tubuh Alana menghadap ke arahnya. "Orang tuamu tengah bertengkar, La. Bukankah seharusnya kamu melerai mereka?" seru Safiya seraya menatap kesal gadis bermata cokelat kehitaman itu.
Alana menghela napas. Mata cokelat kehitamannya itu menatap Safiya dengan lelah. "Biarkan saja, Sa. Sejak semalam pun mereka telah bertengkar," lirihnya.
"Tapi, Alana—"
"CUKUP MARETA!" Kedua gadis itu terlonjak kaget ketika bentakan Erik terdengar jelas di pendengaran. Mereka berdua saling beradu tatapan. "Temui Bunda, La," perintah Safiya.
Alana berdecak. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan cepat keluar dari kamar. Pintu kamarnya dibuka kasar dan dibiarkan terbuka.
Sementara Safiya, gadis itu bergeming seraya menatap punggung Alana yang telah menjauh. Rasa gelisah telah menyapa, tetapi ia berharap itu hanyalah prasangkanya saja.
***
"CUKUP MARETA!" bentak Erik tepat di hadapan wajah sang istri. Wajahnya yang putih kini berubah menjadi merah padam
"Mengapa, Mas? Kamu tidak terima dengan perkataanku barusan?" Mareta tidak ingin mengalah. Wanita itu membalas Erik dengan bentakan pula.
"Benar 'kan apa yang kukatakan? Wina hanyalah seorang wanita murahan. Dia yang telah menggodamu hingga akhirnya kalian melakukan hal keji!" teriak Mareta seraya melemparkan produk kecantikannya ke arah Erik.
Suara pecahan dari botol–botol produk kecantikan itu tentu membuat Alana terkejut. Teriakan dari bundanya masih menggema dalam telinga. Gadis itu memutuskan untuk sedikit membuka pintu kamar orang tuanya.
"Wina tidak menggodaku!" seru Erik dengan lantang. Matanya nyalang menatap Mareta.
"Lantas kamu masih mencintainya Mas saat itu?" tanya Mareta dengan mata merahnya. Mata hitamnya berkaca–kaca. Rasa sesak dalam dadanya membuat air matanya memaksa ingin keluar.
Erik terdiam. Sejenak tubuhnya sedikit tegang. Ada desiran aneh dalam hatinya ketika Mareta menanyakan hal itu.
"Jawab aku, Mas." Suara Mareta mulai melemah.
"Ya, aku masih mencintainya." Erik mengakuinya seraya menundukkan kepala. Entah mengapa ia tidak dapat menatap Mareta.
Suara tawa terdengar dari mulut Mareta. Wanita itu tertawa sangat kencang diiringi oleh setetes air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Diambilnya kembali beberapa botol produk kecantikan miliknya di atas meja rias, kemudian dilemparkan botol–botol itu ke arah Erik.
"KAMU BENAR–BENAR KEJAM, ERIK!" pekik Mareta sembari terisak. Tangisnya tak dapat dibendung. Air matanya bercucuran membasahi pipi. Rasa sesak semakin menghimpit dadanya.
"Bagaimana bisa kamu melakukan itu padaku, Erik?" Mareta memukuli Erik secara terus–menerus. "Bagaimana bisa?" racau Mareta dalam isak tangis.
Erik terdiam menerima semua pukulan istrinya itu. Mendengar isak tangis Mareta yang memilukan, membuat bibirnya bungkam. Lidahnya terasa kelu, ia tidak dapat mengatakan sepatah kata pun.
Mareta pun menghentikan pukulannya terhadap Erik. Dirinya bergumam, "Aku akan membunuh Wina."
Erik yang mendengar sontak menarik tangan Mareta. "Apa yang kamu katakan tadi?" tanyanya dengan cepat seraya menatap Mareta.
Mata hitam Mareta menatap Erik dengan sinis. "Aku akan membunuh wanitamu, Erik," desisnya seraya mengangkat sudut bibirnya membentuk sebuah seringaian.
Mata cokelat kehitamannya pun kembali menatap nyalang Mareta. "Tidak akan kubiarkan itu terjadi, Mareta," sergah Erik seraya mencekik Mareta.
Mata sipitnya sontak terbelalak. "Erik, lepaskan aku!" Mareta memukul tangan pria itu. Namun, Erik tak mengindahkan seruan Mareta.
"Erik!" Wanita bermata hitam itu mulai terbatuk, tetapi pria itu tetap tak melepaskan cengkramannya pada leher Mareta. Erik semakin menguatkan cengkramannya itu.
"Tidak akan kubiarkan kamu menyentuh Wina," gumamnya seraya mencekik Mareta lebih kencang. Rasa belas kasih yang sempat menyelimuti telah sirna. Kini hanya amarah yang telah menguasai diri. Mata cokelat kehitamannya menatap tajam Mareta yang semakin lemas. Melihat Mareta yang masih sedikit meronta, membuatnya semakin mengencangkan cengkramannya pada leher wanita itu.
Erik baru melepaskan cengkramannya ketika tubuh Mareta telah lemas tak berdaya. Melihat tidak ada lagi perlawanan dari Mareta, membuatnya sedikit tersadar. Dilepaskan cengkramannya itu dan tubuh Mareta langsung terjatuh begitu saja di lantai.
"Mareta ..." Erik menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. Kedua kakinya lemas tak berdaya, tubuhnya pun ikut merosot begitu saja ke bawah hingga menyentuh lantai.
Sementara di balik pintu kamarnya, terlihat seorang gadis tengah membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Mata sipitnya terbelalak menatap kejadian di dalam bilik kamar itu.
'Ayah telah membunuh Bunda.'
***