Hanna merasa dirinya selalu lemah di samping Edgar. Dia menyandar di tubuh Edgar.
"Sayang, nanti aku mau menyambut orang tua kita. Tidak enak," kata Hanna.
"Sayang, mereka sudah di dalam kamar dan mau istirahat dulu. Kamu kenapa menolak terus?" tanya Edgar mengecup puncak kepala Hanna.
Bibir mereka saling menyatu menyalurkan rasa cinta mereka di bawah pancuran air yang mengguyur. Mata Edgar menggelap menatap kekasihnya di hadapan dia.
"Sayang, aku mencintai kamu," kaya Edgar tepat di bibir Hanna.
"Aku juga mencintai kamu, Edgar," balas Hanna memeluk Edgar di hadapannya.
Pria di hadapannya memberikan sentuhan-sentuhan kecil membuat suasana di tempat shower memanas. Mereka menyatu kembali, air shower yang dingin tidak mengusik kehangatan keduanya yang dilanda gairah. Mereka terbuai hingga mendapat apa yang mereka inginkan.
Edgar menurunkan Hanna yang berada di gendongannya. Mereka saling menatap, mata indah perempuan di hadapan Edgar membuat pria itu begitu menyukainya.
"Edgar, aku mau dipeluk," pinta Hanna manja.
"Peluk saja aku yang ada di hadapan kamu," balas Edgar.
Edgar memeluk kekasihnya duluan dan mengusap kepala Hanna penuh cinta.
"Kamu janji tidak akan meninggalkan aku?" tanya Hanna terdengar.
"Tidak akan, malah aku yang takut kamu berpaling dariku. Jangan pernah mencoba meninggalkan aku," jawab Edgar.
"Tidak akan," balas Hanna sambil mengarahkan tangannya menggoda Edgar kembali.
Edgar menaikkan kembali kaki Hanna ke pinggangnya. Hanna terkejut dengan keganasan Edgar. Mereka bercinta lagi dan lagi hingga puas.
***
Di kamar lain, Agatha duduk di atas ranjang samping suaminya.
"Pa, aku mau bicara," kata Agatha.
"Bicara apa?" tanya Oscar sambil mengetik.
"Aku lihat Edgar dan Hanna harus segera menikah, Pa," jelas Agatha.
"Aku sudah bilang sama putra bodoh kita kalau perlu mereka menikah sederhana dulu, tidak perlu besar-besaran agar Hanna terikat terlebih dahulu," balas Oscar.
"Iya, Pa," kata Agatha.
"Anak bodoh kita satu lagi apa sudah menelepon?" tanya Oscar.
"Belum, Pa. Mungkin lagi pusing," jawab Agatha.
"jelas pusing, bisa-bisanya dia bertindak bodoh," balas Oscar tidak habis pikir dengan tingkah bodoh kedua putranya,.
***
Di kediaman Odilio, seorang perempuan yang tengah mengandung sama sekali tidak boleh keluar dari rumah sama. Dis dibawa paksa oleh Max. Dia berteriak setiap hari ingin keluar dari rumah, tapi tidak diizinkan sama sekali. Dia juga sudah mengetahui mengenai keluarga Odilio. Pintu kamar terbuka, eorang pria masuk dengan raut wajah yang datar dan dingin.
"Pria sialan lepaskan aku! Aku tidak membutuhkan kamu, aku bisa melahirkan anak ini sendiri!" teriak perempuan itu.
Pria di hadapannya melangkah mendekat, menaruh makanan yang dia bawa untuk perempuan yang dia ikat kedua kakinya karena berusaha kabur terus-menerus.
"Cukup, Adel. Aku tidak bisa menahan emosiku terus-menerus. Sekarang waktunya makan, kamu belum makan siang sama sekali," tegur Max.
"Kenapa kamu membawa aku ke sini, Max? Kalau kamu tidak mau bertanggung jawab, seharusnya biarkan aku pergi. Jangan mengurungku seperti ini," kata Adel dengan tatapan marah.
"Adel, kamu tahu aku memang tidak menginginkan ini semua, tapi keluargaku ingin kamu tetap melahirkan bayi yang di dalam kandungan kamu," jelas Max dengan tatapan tajam.
"Bilang saja kalian bukan hanya akan membiarkan bayi ini lahir, tapi kalian hendak membunuh aku karena sekarang aku mengetahui rahasia keluarga. Kalian yang sudah menghancurkan hidup sahabatku!" teriak Adel menantang.
"Wanita kurang ajar," balas Max.
Tangan Max menampar Adel keras hingga wajahnya terlempar ke samping.
"Pukul aku biar aku keguguran. Aku tidak sudi melahirkan anak ini, aku menyesal pernah memanggil kamu saat percintaan kita," kata Adel dengan senyum miringnya.
Max mencengkram dagu Adel hingga Adel meringis. "Kamu tetap menikmati setiap percintaan kita, Adel," balas Max sembari menatap perut perempuan di hadapannya yang sudah mulai membuncit.
Max menghempaskan wajah Adel lagi. Dia menarik kursi duduk di samping Adel dan menyodorkan makanan ke mulut perempuan di hadapannya yang tengah mengandung. Adel menepis sendok yang dipegang oleh Max.
"Lihat perbuatan kamu, Baby," kata Max membanting piring dan gelas yang dia bawa.
"Aku tidak mau makan, lebih baik aku tidak memiliki bayi sialan ini," balas Adel.
"Oke aku kabulkan, Baby," kata Max keluar dari kamar dan membanting pintu dengan keras.
Adel terkejut melihat siapa yang datang. Dia bergerak mundur.
"Apa-apaan ini, Max?" tanya Adel melihat ada dokter dan suster yang tiba-tiba datang.
"Kamu tidak mau anak kita ada di rahim kamu, kita buang saja berhubung orang tua aku tidak di sini. Kalian lakukan yang terbaik," kata Max menatap datar ke arah Adel.
"Apa kamu gila?" tanya Adel terkejut ketika kedua tangannya dipegang oleh suster.
"Aku sudah gila semenjak tahu kamu hamil, dasar bodoh!" teriak Max.
"Tidak, jangan. Aku mau makan, jangan lakukan ini," kata Adel yang mulai ketakutan. Dia sangat takut dengan suntikan.
"Tenang, Baby. Sakitnya cuma sebentar," balas Max.
"Jangan," mohon Adel merasakan suntikan menusuk ke lengannya. Perlahan mata Adel tertutup.
"Lakukan sesuai rencana," perintah Max keluar dari kamar membiarkan Adel.
Max memejamkan mata. Dia mengacak-acak rambutnya saat merasa mendengar suara teriakan Adel yang memanggilnya.
"Tuan apakah yakin dengan keputusan Tuwn?" tanya Lewin.
"Tidak perlu bertanya, saya sudah muak dengan kebodohan saya sendiri, ditambah kakakku juga sama," jawab Max.
"Tuan, maaf saya lancang. Apakah Tuan tidak ada rasa cinta untuk nona?" tanya Lewin.
Max mendengus lalu menatap tajam Lewin yang seperti tertarik dengan Adel.
"Kamu menyukai Adel?" tanya Max dengan mencekik leher pengawalnya.
Lewin pun menahan rasa sakit dari tangan tuannya yang begitu kuat.
"Saya tidak menyukai nona. Saya hanya bertanya demi kebaikan Tuan. Saya tidak mau Tuan merasa bersalah kalau sampai kehilangan keduanya," kata Lewin.
Max menarik tangannya. Dia menatap Lewin dengan senyum miringnya.
"Tidak perlu memikirkan hal yang bukan urusan kamu," kata Max menepuk pipi Lewin keras.
"Dasar majikan gila, benar-benar tidak punya hati. Hatinya sudah beku," gumam Lewin.
Max pergi dari hadapan Lewin begitu saja. Lewin yang tidak tega dengan Adel pergi ke kamar. Adel bisa saja meregang nyawa.
"Semoga nona tidak kenapa-kenapa," gumam Max.
Lewin tidak memperdulikan pekerjaannya lagi. Dia mendadak dihalangi pengawal lain, tapi dia berhasil menerobos masuk. Dia terkejut melihat sprei yang sudah berwarna merah. Dia ditarik keluar dari kamar itu, mata dia membeku melihat apa yang dia lihat. Bahkan dia dipukuli oleh pengawal lain karena dianggap lancang.
Max yang kembali melihat kelakuan Lewin mengangkat dagunya angkuh dan mengkodekan dengan jari pada para pengawal untuk membawa Lewin ke tempat buat menghukum para pekerjanya yang tidak bisa dipegang kata-kata atau janjinya. Dia menyuruh beberapa pengawal berjaga di depan kamar. Dia masuk lalu meminta para dokter dan suster keluar dari sana. Dia tersenyum, dia akan membuat kejutan untuk Adel yang melawannya.