Ransel-ransel yang berisi makanan kering dan air sudah terjejal rapi di punggung masing-masing. Tak lupa beberapa lembar pakaian juga ikut dikenakan.
Sesuai perjanjian, sebelum matahari terbit mereka sudah bangun di sebelumnya. Sambil sarapan roti kering yang diolesi madu.
Kai juga tak banyak bicara atau mengeluh. Ia ikut saja ketika sang kakak membangunkannya.
Kai dipakaikan baju berlengan panjang yang entah milik siapa, sedikit kebesaran, namun dengan sedikit perombakan cukup enak dipandang. Lehernya dililitkan semacam syal, lalu rambutnya di pakaikan topi bertali, mirip topi yang sering digunakan oleh petani dan semuanya kebesaran.
Bahkan untuk sepatu yang sudah lama tak dipakainya. Mave menemukan sepatu yang mungkin cocok untuk adiknya, hanya perlu dijahit sedikit dibagian belakangnya, kalau untuk itu ia bisa melakukannya, walau tak sehebat ibunya.
Tak berbeda dengan adiknya, ia juga berpenampilan serupa.
"Kau terlihat seperti ingin mengadakan pertunjukan," kata Theodore berkomentar ketika melihat temannya itu mirip toko berjalan.
"Kita tidak tahu seperti apa medan perjalanannya, hanya berjaga-jaga," sahutnya. Bisa dibilang, dalam lubang dinding itu cukup lengkap peralatan.
"Ini cukup berat," ujar Theodore tanpa sadar.
"Kurasa itu lebih baik daripada berjalan dengan ransel kosong," Wisley tersenyum santai menangapi Theodore.
Semuanya sudah siap dengan peralatan dan perbekalan masing-masing, namun mereka belum bisa pergi sebab Zed masih belum kembali.
"Ke mana anak itu?" bisik Theodore pada Wisley yang seperti tahu saja Zed ada di mana.
"Entahlah."
"Apa aku perlu menyusulnya di sekitar sini?" tanya Wisley menawarkan diri.
Theodore langsung mengganguk dan berpikir itu ide yang bagus. Sayangnya Mave tak sependapat.
"Kita sudah mengatakan padanya kemarin, jadi kita akan menunggu sekitar beberapa menit lagi, jika ia belum kembali maka kita harus pergi."
"Apa? Bagaimana mungkin kita meninggalkannya sendiri di sini." Theodore menyahut dengan raut wajah tak terima.
"Lalu? Kau ingin menyeretnya pergi? Dia sudah bukan anak kecil lagi!" Mave menbalas dengan nada serius
Theodore menghela napas. "Tapi meninggalkan dia juga bukan ide yang bagus?" sentaknya.
"Sudahlah! Kenapa malah jadi bertengkar sih?" Seru Wisley menegahi. Bisa-bisanya mereka malah bertengkar di situasi yang tak mengenakan seperti ini.
"Sesuai perjanjian kita menunggu sebentar lagi," ujar Mave bersandar pada dinding.
Waktu memang cepat sekali berlalu, walau sudah dilebihkan sedikit, nampaknya Zed masih juga belum muncul.
Raut wajah mereka tampak lesu. Namun perjanjian tetap perjanjian, dengan atau tanpa Zed, perjalanan mereka masih akan tetap berlanjut.
"Kai, Mari pergi," Ajak Mave pada adiknya yang tengah asik mencoret dinding dengan kapur. Bocah itu segera melompat mendekati kakaknya. Mave mengandengnya. Mereka harus pergi sekarang.
"Mari tunggu sebentar lagi," kata Theo memohon.
"Kita sudah menunggu lama Theo," jawab Mave.
"Mungkin Zed terkena diare hingga belum bisa datang."
"Theo kita terbiasa makan makanan basi tanpa diare ingat itu."
Dengan wajah muram, Theo pun mengekor Mave.
"Cepatlah menyusul kami Zed," gumamnya lirih.
Jika yang dikatakan Bi memang benar, maka mereka akan segera menemukan jalan keluar jika mengikuti lorong-lorong yang berukuran kecil
Theodore terus-menerus melirik ke belakang, berharap sahabatnya itu muncul sambil berlari. Di dekat dinding sendiri, bersandar sebuah tas tua, sengaja mereka kemas jika seandainya Zed memiliki keinginan untuk ikut pergi.
Sayangnya terowongan itu semakin lama semakin mengecil.
"Aku tidak mungkin membesar bukan? Rasanya terowongan ini makin menyempit," gumam Theodore merasa aneh.
***
Tanah masih mengering. Jika tersulut api sedikit saja, maka bisa dipastikan tempat itu akan terbakar.
Zed masih berada di sana, di balik ilalang tinggi, memang benar, ia kembali ke tempat kejadian, hanya dari jauh, semuanya hancur, tak tega ia melihatnya dari dekat, setelahnya, yang ia lakukan hanya memandangi langit dari balik ilalang.
Tak banyak bicara. Hanya merenung. Terkadang mengingat kenangan yang telah usai. Ia tak malam juga tak beranjak dari sana semalaman.
Ketika pagi tiba, ia merasakan perutnya sangat lapar. Tapi bukan itu yang mengganggunya, melaikan sinar matahari yang sudah bersinar terang.
"Apa yang sudah kulakukan?!" sentaknya segera bangun dan berlari ke tempat teman-temannya berada. Ia ketiduran.
Namun ketika ia sudah Sampai, tak ada siapa pun di sana. Ia terduduk di dinding, ya, mereka sudah pergi.
Ia terlambat. Napasnya tersengal detak jantungnya berdebar cepat.
Remaja itu meremas rambutnya kasar. Ia menyumpahi dirinya sendiri, ia menyesal, hampir saja ia menangis sampai atensinya melihat sebuah tas. Ada catatan di sana.
"Belum terlambat, larilah!"