Chereads / Distant Sky / Chapter 13 - Tiga Belas

Chapter 13 - Tiga Belas

Degup jantungnya perlahan kembali normal.

Ada sedikit cahaya pada awalnya, sebelum arah matahari nampaknya menembus sesuatu. Netra Wisley mengarah ke samping, kelopak matanya membesar begitu sadar tampak ada semacam ruangan di sana.

Kai terduduk di atas tanah, dengan wajah lesu. Ia tak bisa mengatakan bahwa dirinya lapar. Walau Mave tentu saja paham dengan gerak-gerik adiknya.

"Di mana kita bisa mendapatkan makanan?" tanyanya pada yang lain setengah berbisik tapi percuma saja karena tidak ada yang tahu, mereka hanya terdiam sambil saling melirik.

"Hei, cepat kemari!" Tak berselang lama Terdengar suara Wisley sedikit mengema lirih memangggil mereka. Zed yang berlari pertama kali, diikuti dengan yang lain. Termasuk Mave yang langsung menggendong adiknya.

Mereka terperanjat setengah tak percaya.

Terlihat Wisley tengah mengunyah roti.

"Jangan hanya dipandangi," ujarnya bermaksud agar yang lain bergabung.

Mereka tercengang sebab di sana ada banyak makanan, yang beberapa di antara terbilang langka, dibilang langka karena mereka tak sanggup membelinya.

Kai turun dari gendongan dengan wajah agak cerah. Rasanya seperti menemukan harta karun. Tapi ia menunggu aba-aba dari kakaknya.

"Apa tidak apa-apa?"

"Apwa." Theodore dengan mulut penuh menyahut ucapan Zed.

"Kita makan ini?" Sambungnya lagi.

"Kita kelaparan dan menemukan makanan, haruskah kita lewatkan saja?" Mave tertawa sambil mengusap rambut adiknya yang kini makan dengan lahap. Setidaknya masih di rumah itu sudah cukup melegakannya.

Sinar matahari nampaknya mulai meninggi, ketika cahaya di ruangan itu makin menerang. Maka baru nampaklah hal yang sebelum ini tidak kelihatan.

"Apa itu?" gumam Wisley dengan wajah kebingungan, ada goresan di dinding di depannya.

***

Sisa-sisa dari nyala api mulai memadam. Hanya ada abu dan arang yang sebagian masih tersisa. Tidak ada yang menang atau pun kalah, kedua belah pihak sama-sama saling menderita.

Mayat-mayat yang tak diketahui namanya bergelimpangan di atas tanah.

Orang-orang dengan penutup wajah, satu-persatu mengangkat mayat orang yang dikenalnya. Warga distrik timur. Mereka yang disebut penyintas ikut mengangkut rekan yang ikut menjadi korban.

"Kali ini korbannya masih tetap banyak Jim."

Penyintas bertubuh agak gemuk dengan alis tebal berjalan mendekati temannya yang barusan dipanggil Jim. Pria itu menoleh, dia adalah pria yang sama dengan yang menolong Mave dan teman-temannya beberapa jam yang lalu.

"Setidaknya kali ini kita dapat melawan," sahut Jim dengan nada tenang. Walau tidak benar-benar tenang. Ada kilatan amarah di matanya ketika melihat kekacauan yang telah terjadi.

"Bagaimana dengan anak-anak itu?"

Ada tanda tanya besar dalam dirinya. Mendengar kata anak-anak di lontarkan.

"Kurasa mereka sudah di sana."

"Aku masih tidak mengerti kenapa kau memilih anak seperti mereka."

"Mereka bukan anak-anak, mereka kelompok yang kuat, lagipula kita telah gagal, sekarang kita hanya bisa mengandalkannya."

"Terserah kau saja," katanya kembali bangkit karena dipanggil oleh seseorang.

Bagi Jim, hanya mereka satu-satunya harapan. Entah apa yang akan terjadi. Walau terkesan sulit untuk diterima. Tempat itu tak bisa disebut rumah. Masih ada sedikit harapan.

***

Ada berbagai gambar di sana, di ukir dengan teliti hingga perlu mendekat untuk melihat hasilnya.

Ada juga simbol yang tidak diketahui.

"Apa ini?"

"Sepertinya mirip peta," sahut Wisley serius. "Dan ini letaknya di luar dinding."

"Siapa orang gila itu? Belum ada satupun kabar orang yang bisa keluar dari sini," kata Zed agak sarkatis.

"Tapi itu membuktikan mereka pernah keluar dari sini, dan berarti masih ada kehidupan di luar tembok besar ini!" jawab Mave. Sorot matanya serius dengan suara terdengar mengebu.

"Apa kalian tidak memikirkan nasib keluarga kita? Bukankah seharusnya kita sekarang menguburkan mereka dengan layak?" ujar Theodore tiba-tiba.

Alih-alih ikut dalam perdebatan perkara coretan di dinding, ia memikirkan nasib keluarganya.

"Anak remaja seperti kita memangnya bisa apa? Kau tidak sadar dini hari tadi kita lari?" Zed bangkit menghadap Theodore, nadanya terdengar marah.

"Semua orang di sini jadi korban, tidak ada yang benar-benar lupa, atau pun tidak sedih. Mereka hanya sekuat mungkin untuk bersikap tegar, kau tahu itu." Wisley menghembuskan napasnya berat. Wajah ibunya tergiang di kepalanya. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.

"Kau juga tahu, sudah sejak lama isu beredar, tentang pemusnahan distrik timur, bagi mereka kita ini bukan apa-apa, masih syukur kita bisa keluar dari alun-alun dengan selamat, kalaupun kembali, memangnya kau bisa menegakkan kepala? Bersikap seolah tak terjadi apa-apa."

Air matanya mengenang.

"Aku, hanya ingin menguburkan mereka dengan layak," ungkap Zed sambil menunduk.

"Tidak perlu khawatir soal itu, kami sudah mengurusnya." Mereka menoleh cepat ketika sadar ada orang lain yang tengah berbicara.