Mave tidur sambil memeluk adiknya, ketika suara pintu didobrak membuat mereka lantas terjaga. Mave, ibu dan sang adik memang tidur di satu kamar. Sembari adiknya sibuk mengucek matanya yang masih mengantuk, sang ibu dengan sigap memeluk putrinya, sementara Mave berupaya menjadi tameng untuk sekedar bertanya apa yang sebenarnya terjadi sebab orang-orang ini muncul begitu saja.
Namun anak remaja sepertinya bisa apa, ketika senjata tajam itu diarahkan padanya.
"Keluar semuanya, buat barisan, kau ikut kami!" ucap suara berat di balik penutup wajah.
Mave berniat memberontak ketika badannya didorong sebelum suara ibunya menyuruhnya untuk mengikuti ucapan mereka.
Ia bertanya-tanya dalam hatinya apa ia melakukan kesalahan. Tapi anggapan itu langsung berubah ketika ia keluar dari rumahnya. Ini sepertinya bukan karena ia melakukan kesalahan.
***
Ada langkah-langkah di balik keheningan, sambil membawa beberapa macam alat. Orang-orang dewasa berbaris ketika memasuki kawasan distrik timur, tempat kaum terbuang dan miskin. Mereka masing-masing memakai penutup wajah demi menyembunyikan identitas. Walau tak semuanya.
Dini hari, ketika orang-orang telah terlelap dalam tidur panjang dan mimpi-mimpi yang menyertainya. Biasanya hanya akan ada suara desingan dari angin dan binatang malam yang menemani, tapi kali ini ia berbeda, suara gaduh berupa barang-barang jatuh dan pekikan nyaring kini telah mendominasi keadaan.
Masing-masing masih setengah sadar dan gemetar pada akhirnya ketika pintu-pintu didobrak.
Anak-anak, orang tua, bahkan wanita menangis.
Para pria dengan senjata tajam membuat mereka berjalan dengan tangan di belakang punggung. Saat ada lelaki yang berani melawan, pedang tajam itu menebasnya tanpa ampun.
Iring-iringan macam tahanan memenuhi jalanan. Jumlah mereka dengan senjata jauh lebih banyak, seakan hal itu sudah sangat direncanakan. Menebar ketakutan hingga sebagian pingsan.
Makin lama, iringan itu makin memanjang, sebab tak satu pun rumah dilewatkan.
Mave terdiam dengan tangan di belakang punggung. Adik dan ibunya berada di depannya. Ketika anak remaja itu hampir mengamuk, ibunya memenangkannya, menyuruhnya untuk menurut saja karena takut nasib anaknya nanti malah berakhir sama dengan tetangga sebelah rumahnya.
Mereka menjerit dalam hati dengan tubuh gemetar saat tetangganya limbung bersimbah darah. Mereka sudah tahu ada yang salah dengan semau ini,
Saat itu juga mereka tahu, salah bergerak sedikit saja nyawa taruhannya. Tak peduli siapa yang tumbang karena melawan, kalau masih sayang nyawa ikuti saja kata-kata mereka.
Ada mayat-mayat di tengah jalan, Mave memenangkan adiknya dengan menyuruhnya untuk tak berpaling. Hanya menatap lurus ke depan sambil di pegangi oleh ibunya.
Udara sama sekali tak lagi terasa dingin. Hanya ada kegelapan dan mencekam. Mave berjalan pelan sembari melihat sekitar.
Wisley segera mendekat ketika melihat seseorang yang dikenalnya.
Baru kemarin mereka bertemu sebentar, walau Mave menjadi sosok tak banyak bicara. Pemuda itu masuk ke barisan Mave, tangannya juga di arahkan ke belakang punggung. Sembari melihat penjaga dengan pedang mengkilat.
Ia juga tidak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi.
"Kita mau dibawa ke mana?" tanya Mave kepada Wisley, temannya itu memiliki otak yang lumayan, jadinya ia lebih cepat menangkap maksud sesuatu daripada yang lainnya.
"Entahlah, mungkin alun-alun, karena hanya di sana tempat yang bisa menampung semua orang."
Jika ditanya apa yang ingin mereka lakukan, untuk hal tersebut, Wisley tidak tahu, karena ia juga kebingungan.
Mave terdiam sejenak, sebelum berujar lagi.
"Apa mereka ingin mengusir kita?"
"Entahlah."
Seorang penjaga tiba-tiba datang dan sedikit menjauhkan keduanya, ketika Wisley belum bicara semuanya.
"Aku tidak begitu peduli jika mereka mengusir kita, tapi yang kucemaskan hanya satu."
Ada nada keraguan di dalam sanubari nya. Walau tak tahu itu benar atau bukan, tapi menurutnya sesuatu yang buruk akan terjadi.
Tepat ketika mereka berada di persimpangan, jalur langsung dibedakan. Mave dipisahkan dengan ibu dan adiknya. Mereka digiring ke arah lain, sementara dirinya digiring bersama pemuda yang lain. Meski mereka berusaha memberontak, namun ketika pedang tajam itu tepat berada di leher, mereka langsung terdiam dan lagi-lagi menurut.
Wajah-wajah ketakutan makin terlihat dengan jelas.
Mata mereka menatap aneh ketika melihat ada kurungan kokoh kini terletak di tengah alun-alun. Padahal sebelumnya tidak ada.
Sudah jelas sekali kalau hal ini memang direncakan.
"Cepat masuk!" Bentak penjaga itu kasar. Mereka menurut jika tak ingin kena tebas. Kurungan lain ikut terisi satu persatu, hanya ada para ibu-ibu yang tetap berada di luar. Sementara anak dan para pria sudah masuk dalam kurungan.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Mave mulai cemas ketika melihat ibunya berdiri di luar bersama ibu-ibu yang lainnya.
Di kurungan lain, yang hanya berjarak beberapa meter saja, dapat Mave lihat ada Kai yang menatapnya sedih, anak itu tengah berupaya untuk menahan tangisnya. Dengan isyarat, ia menyuruh anak itu untuk berdiri di sudut kurungan berbentuk persegi empat memanjang.
Mave beberapa kali mengatakan sesuatu, dan Kai hanya bisa menangkap kalau Mave bilang ia akan segera ke sana jadi Kai harus jadi anak baik. Anak itu bersama dengan ajak lainnya, banyak dari mereka yang susah menangis sesegukan, saling memeluk atau bahkan meraung.
Para penjaga hanya diam saja, mengomel pada bocah bagi mereka percuma. Ditakuti pun malah akan menangis makin keras.
Sementara itu beberapa orang mencoba menjebolnya diam-diam namun sangat sulit karena kerangkanya keras. Ini bukan sesuatu yang bisa mereka tembus begitu saja.
Tak berselang lama, dari arah tempat di mana ayah Mave meregang nyawa, muncul seseorang dengan wajah tertutup kain hitam. Mave tak begitu memperhatikan karena kenangan buruk kembali datang ke kepalanya, itu baru beberapa hari yang lalu, jelas ia masih belum sanggup untuk menghadapinya. Ia tak bisa menatap tempat itu lagi dengan jelas, hingga kepalanya tanpa sadar malah berpaling. Ia terus menatap ibu dan adiknya bergantian.
"Akan ada pengorbanan demi kemaslahatan bersama, mereka tidak mati, namun hidup dengan damai." Kata suara di balik wajah berpenutup itu. Pengeras suara makin membuat suaranya menyebar. Hingga kata-kata itu telah selesai terucap, sekarang hanya ada tatapan penuh tanda tanya, apakah barusan itu hanya kiasan semata atau memiliki makna lain yang hanya beberapa orang saja yang paham. Wajah Wisley yang semula datar nampak berubah menjadi pucat. Seakan-akan kata yang terucap tak ingin ia dengar.
"Tidak, kumohon, ini bukan seperti bayanganku kan," gumamnya beberapa kali. Badannya mulai terasa bergetar.
Mave masih berusaha menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mereka tak bisa menebak siapa yang tengah berbicara itu.
Ia masih berbicara meski orang-orang di sana tak begitu mendengarnya sebab mereka dicekam rasa takut.
Tepat ketika ia mengangkat sebilah pedang, orang-orang mulai merasa ini bukan hanya sekedar orasi semata.