Chereads / Distant Sky / Chapter 2 - Dua

Chapter 2 - Dua

Wajahnya memerah, ia tak berteriak atau pun berusaha untuk kabur. Sementara sang ibu berkali-kali berteriak agar suaminya berhenti.

Mave tengah dipukuli.

Remaja dengan tubuh kurus tersebut hanya menerima. Sebab percuma jika berdebat, karena sang ayahnya yang akan lebih unggul.

Pecutan demi pecutan terlontar.

"Anak tidak tahu diuntung." Geramnya. Ia mencerca Maverick. Padahal pemuda itu tahu seberapa sulit ekonomi mereka sekarang karena gagal panen. Tapi bisa-bisanya ia malah memakan ubi itu sendiri.

"Ayah tolong hentikan," kata sang istri mengiba. Melihat wajah istri dan anaknya Kai bersembunyi di balik tubuh ibunya. Pecutan itu pun ia jatuhkan. Sepertinya ia sedikit keterlaluan.

Mave menyeka hidungnya dan matanya yang terasa berair. Untuk sekarang ia lebih baik pergi. Dengan tertatih, dirinya berjalan keluar dari rumah. Ada rasa nyeri luar biasa dari punggungnya. Tapi ia tahan. Sementara beberapa tetangga nampak melirik ke arahnya. Kekerasan seperti itu bagi mereka bukan hal yang baru lagi. Semenjak distrik itu mulai jatuh, banyak terjadi pertengkaran setiap harinya.

"Mave? Kau tidak apa-apa?" Tanya lelaki tua bernama Bond yang tengah memancing ikan. Sepertinya ia sadar telah terjadi sedikit pertengkaran.

Mave hanya menggangguk kecil.

Lelaki itu menatapnya iba, tapi mau bagaimana lagi, kehidupannya juga tak lebih baik.

Mave Akhirnya ia sampai di bawah bohon, lebih tepatnya batang yang tersisa.

Pohon yang menjulang, dengan bodi besar itu masih berdiri kokoh. Walau usianya tidak lagi muda. Pemuda itu telungkup. Sebab punggungnya terasa perih. Mungkin lebih baik ia tidur di sana sekarang.

"Ayah," panggil Kai. Gadis itu menunduk dan mengucapkan maaf.

"Ubi itu Kai yang memakannya, bukan Kakak," ujarnya menjelaskan.

Sebenarnya, Mave tidak memakannya sama sekali, ubi tadi diberikannya kepada adiknya.

Kai tidak pernah tahu, jika hal itu malah membuat ayahnya murka.

"Ajak dia tidur," katanya pada sang istri.

Mavrodi kemudian duduk terpengkur di depan pintu. Beragam pikiran memenuhi otaknya.

***

"Bayar hutang kalian!"

Wisley, remaja yang baru saja ingin membuka pintu itu langsung terjengkang ketika sadar siapa yang baru saja tiba di depan rumahnya. Muka bengis Madio ketara sekali, rentenir itu seperti biasa menagih hutang pada sang ibu. Sama sekali tak pernah bersikap lembut sedikit pun.

Ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu, ketika berkerja sebagai buruh kasar di tempat Madio. Ia tak sengaja tercebur ke dalam minyak mendidih.

Tubuhnya melepuh, karena tak punya biaya untuk berobat, akhirnya ia meregang nyawa begitu saja.

Madio tentu tak ingin disalahkan apalagi sampai harus ganti rugi. Ia menyerang balik dengan mengatakan total kerugian akibat kelalaian anak buahnya itu lebih besar.

Ibu Wisley yang tak punya apapun itu tak bisa berbuat banyak.

Madio memang memiliki koneksi yang luas. Bisa-bisa mereka ditemukan mati digantung.

Berharap tak akan pernah berurusan dengan orang licik itu lagi tapi,

Keadaan yang akhir-akhir ini semakin memanas membuatnya tak punya pilihan selain meminjam uang kepada rentenir seperti Madio agar bisa makan. Ibu Wisley terpaksa melakukannya.

Sayangnya bukan terbantu, keluarga itu malah dihinggapi bayang-bayang manusia kejam. Jika tak bisa melunasi, maka bunganya akan berlipat ganda. Sesuatu yang tak pernah dibayangkan oleh mereka.

"Kami tidak punya uang," kata Wisley sembari bangkit.

"Kemana ibumu?" Tanyanya membentak.

Ibunya belum pulang hari ini. Entah kemana. Sudah beberapa minggu belakangan sang ibu punya hobi baru yang tak bagus. Mabuk oplosan karena banyak beban pikiran.

"Kau tak menjawab?!" Geramnya.

Madio tentu tak tinggal diam. Ditamparnya Wisley hingga terjatuh. Sudut bibir dan wajah sebelah kirinya melebam. Barang-barang di dalam rumah yang hanya seadanya itu di porak-porandakan. Madio memang tak pernah segan-segan jika harus memukul remaja, anak-anak ataupun orang yang lebih tua darinya. Baginya, kekerasan satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Wisley beringsut mundur ketika

pria bertubuh gempal itu sedikit menunduk, mendekatkan kepalanya ke arah Wisley.

"Bilang ke ibumu, jika ia tak membayar hutang-hutangnya, kau Wisley, akan dijadikan budak," bisiknya mengancam. Ancaman yang sepertinya benar. Sebab sudah banyak anak remaja sepertinya dijadikan budak oleh Madio. Mereka tak punya pilihan lain jika tak ingin dibantai. Di distrik timur, kekerasan dan pembunuhan adalah dua hal yang sudah biasa terjadi, tidak ada hukum di sana.

Wisley bangkit ketika orang-orang itu pergi. Pintu rumahnya sedikit miring karena di tendang oleh salah satu anak buah Madio. Remaja itu mengelap sudut bibirnya yang berdarah sambil berjalan keluar. Ia harus mencari sang ibu dan sepertinya ia tahu di mana ibunya berada sekarang.

***

Tempat itu cukup ramai, terlihat beberapa kelompok sedang bertaruh, minum-minum hingga berjoget tak jelas.

Di kedai, seorang wanita agak bungkuk tengah minum minuman oplosan dengan harga murah diteguknya. Tanpa sadar akan bahaya yang sewaktu-waktu bisa mengancamnya, yang terpenting beban pikirannya sedikit pergi.

Wisley menghela napas berat. Dari jauh ia bisa melihat semuanya. Matanya seperti ingin tumpah ruah. Namun ia berusaha menguatkan diri. Ia tahu seberapa berat beban ibunya. Hingga tak bisa asal bicara. Walau ia tak bisa jadi anak yang berbakti, setidaknya jangan jadi beban.

"Bu, ayo pulang," kata pemuda itu membangunkan ibunya yang benar-benar mabuk sekarang.

Wanita paruh baya itu menyipitkan matanya sambil berteriak bahwa anaknya sangat mirip mendiang suaminya.

Penjaga kedai yang sadar segera berteriak agar Wisley membawa ibunya pergi dari sana. sebab ia hanya akan menambah hutang saja jika terlalu lama diam di sana.

Beberapa orang nampak mencemooh mereka. Wisley tak terlalu peduli pada omongan orang lain langsung meminta maaf dan membopong sang ibu yang memang berbadan ringkih itu. Membawanya di punggungnya.

Walau badan Wisley kurus, ia masih kuat untuk sekedar membopong sang ibu pulang ke rumah. Di perjalanan, terkadang ada beberapa kata kotor terlontar dari mulut ibunya, hingga Wisley harus mengingatkannya untuk tak bicara yang aneh-aneh.

Kerap kali Wisley berpikir seandainya saja sang ayah masih hidup. Mungkin hidup mereka tak akan sesusah sekarang. Segera ia buang pikiran itu. Sekarang hanya tersisa dirinya dan sang ibu. Cukup pikirkan itu saja, pikirkan bagaimana caranya untuk bertahan.

Pintu rumah yang tak lagi elok itu dibukanya. Di atas ranjang kayu yang tinggi sebelah, dibaringkannya sang ibu. Wanita itu telah tertidur pulas.

Wisley memegang perutnya yang terasa lapar. Sebab seharian ini hanya minum air saja.

Sepertinya ia akan memilih tidur.

"Wisley." Terdengar suara lirih dari sang ibu. Wisley bangkit dan langsung mendekati pada sang ibu.

"Kenapa, Bu?" tanyanya.

"Kantong," gumam ibunya lagi.

Wisley segera merogoh kantung pakaian ibunya dan menemukan sepotong roti. Matanya memanas.

"Makanlah," kata ibunya lagi kemudian tertidur.

Wisley memandangi roti kering itu dan mulai memakannya sambil menangis.