Tidak ada yang benar-benar memiliki kehidupan yang baik di sini, kecuali para rentenir ataupun aparat di bawah naungan pejabat.
Segala macam jenis kejahatan pun dibiarkan.
Bahkan anak-anak tak jarang menjadi korban.
Mave masih belum beranjak dari bawah pohon, sementara hari sudah menggelap.
Tubuhnya meringkuk tak jarang terbatuk karena debu yang tertiup angin. Tanah itu benar-benar gersang sekarang. Bahkan aliran sungai tak sederas dulu. Tanaman sepertinya harus berkerja dua kali lebih keras agar dapat tumbuh.
Terdengar suara lonceng berbunyi beberapa kali, menandakan ada yang baru saja tewas. Dentingan lonceng tak berkesudahan layaknya hal yang biasa terjadi, Mave memejamkan matanya.
Baginya lonceng sudah seperti suara nyanyiin duka, tak ada yang bisa menghentikannya.
Ada derap mendekat, tapi Mave terlalu malas untuk sekedar menggeser badannya. Ia harap itu hanya orang lewat.
"Mave," panggil sebuah suara terdengar.
Tanpa menoleh pun ia tahu siapa yang memanggilnya.
"Kau tahu sendiri bukan kalau malam hari tidak aman?" ucapan kembali terdengar.
Ayah Mave kemudian duduk di samping putranya. Sejujurnya hatinya ikut teriris ketika harus memukulinya. Hidup dalam kemiskinan tentu bukan salah anaknya. Apalagi sampai marah hanya karena perkara ubi. Rasanya ia benar-benar malu sekarang. Sebagai seorang ayah dirinya tak menjadi sosok yang baik.
"Ayah minta maaf."
Anak remaja itu menggigit bibirnya. Menarik napas panjang walau pada akhirnya tak bisa bicara apapun.
"Ayah tahu kamu marah, maafkan ayah ya," katanya lagi.
Pria paruh baya tersebut sebenarnya tak pandai bicara. Apalagi ini soal permintaan maaf, rasanya sulit sekali.
"Mau pulang dengan ayah?" tawarnya kemudian. Ia lalu berjongkok di dekat Maverick. Menunggu remaja itu untuk naik ke punggungnya.
Mave agak tercekat karenanya.
"Aku bukan anak kecil Ayah," elaknya sedikit enggan, walau dalam hatinya bersorak kegirangan.
"Anggap saja sebagai permintaan maaf," sahut sang Ayah.
Mave tersenyum kecil, seperti Dejavu, sebenarnya itu adalah permainan saat dirinya kecil dahulu, menggendong Mave adalah salah satu caranya meminta maaf.
Anak kecil mana yang tak suka digendong. Rasa kesal dan marah langsung menguap begitu saja.
"Anak ayah walau sudah besar tapi tetap saja ringan ya," kekehnya membuat Mave malu. Memang tak banyak perubahan pada tubuh pemuda itu. Mungkin karena dirinya kurus. Walau dia terbilang tinggi. Namun bobotnya tak masuk ideal. Kekurangan makanan menjadi faktor pemicu banyak anak di distrik yang menderita kurang gizi.
Mave memandangi dinding yang menjulang di sana. Sejak kecil, saat dirinya bertanya soal dinding seperti penjara itu, ayahnya sama sekali tak ingin menjawabnya, malah terkesan mengalihkan pembicaraan. Berbeda dengan mendiang kakeknya.
Ayahnya nampak mencari aman. Entah dari apa. Tapi Mave sadar ketika usianya menginjak belasan tahun.
Sebenarnya, tepat setahun yang lalu, Mave, Wisley dan teman yang lainnya bekerja sebagai buruh. Tak banyak yang bisa dikerjakan sebenarnnya, terlebih karena gajinya tak seberapa. Sama sekali tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Anak-anak itu malah nampak seperti tengah dieksploitasi.
Karena hal itulah mereka berhenti, mengingat tiap harinya sering terjadi kerusuhan.
Ada binar kebahagiaan ketika ibu Mave menunggu di depan pintu melihat dari jauh siluet suami dan anaknya yang tengah digendong.
Kecemasannya langsung sirna seketika.
***
"Kak, kau mau ke mana?"
Zed menatap beberapa peralatan tajam yang kini tengah dipersiapkan sang kakak.
Entah kenapa ia menanyakan hal itu, padahal sudah jelas.
"Tak usah kau banyak bicara," sahut kakaknya dingin.
"Aku dengar kerusuhan makin brutal," kata Zed mengingatkan.
Pemuda yang usianya 6 tahun lebih tua itu tersenyum sinis.
"Anak kecil tahu apa? Sana tidur."
Baru saja langkah sang kakak ingin bergerak mantap sambil menggendong peralatannya. Tangan Zed mencengkeram ujung bajunya, hingga memaksa dirinya untuk menoleh.
"Apa?"
"Boleh aku ikut?"
Banyak temannya mengatakan, ia dan kakaknya bak pinang dibelah dua saking miripnya. Dari rambut keriting hingga kulit yang agak menggelap. Pria itu nampak sangar, padahal memiliki hati yang hangat. Diusapnya kepala sang adik sambil menggeleng pelan. Pertanda ia tak diizinkan ikut.
Agaknya Zed merasa sedih, terlihat jelas wajahnya murung seketika.
Tepat beberapa tahun lalu, terjadi kerusuhan yang besar, tidak hanya kehilangan rumah Zen dan Zed juga kehilangan orang tua. Mereka menjadi korban di tengah kerumunan.
Saat itu, Zen menggendong sang adik menjauh. Tanpa sadar terpisah dari kedua orang tuanya.
Namun hal itu jugalah yang menyelamatkan mereka.
Saat kerusuhan mulai memadam. Dapat Zen lihat ayah dan ibunya terbujur kaku akibat sabetan senjata. Meski tidak hanya mereka yang menjadi korban. Ratusan warga lain juga sama. Malam berdarah itu membumi hanguskan rumah-rumah serta harapan kecil yang mulai tumbuh.
Zen, meski belum dewasa saat itu dituntut tak menjadi kekanakan lagi demi sang adik.
Tugas mencari nafkah dan melindungi telah menjadi tugasnya.
Terlebih hanya Zedith satu-satunya keluarganya yang masih tersisa. Karena hal itu pula ia tak bisa membiarkan adiknya ikut andil dalam perburuan ini.
Perburuan sendiri adalah istilah yang digunakan untuk pencurian. Mereka menjarah rumah-rumah penjabat yang sepi dan lengah. Jika tidak begitu, esoknya maka tidak akan ada makanan.
Zen termasuk ke dalam pemburu yang santun. Ia tak pernah sekalipun melukai korbannya. Entah siapa yang menjadi korban sebenarnya.
Yang pasti tujuan utamanya hanya makanan. Demi dirinya dan sang adik.
Zen menyodorkannya sebatang kayu panjang. Menyuruh sang adik berlatih saja daripada mengikutinya. Agar sang adik yang nampak murung kembali semangat, ia berjanji akan membawa adiknya jika Zed bisa menyakinkannya, tapi sebelum itu Zed harus latihan rutin.
Walau terkesan seperti boneka yang kaku, rupanya ada manfaatnya juga.
"Kunci pintu, jangan buka kecuali dari orang yang dekat denganmu," pesan Zen padanya.
Menjadi pemburu memiliki resiko yang sangat besar, kakaknya bisa terbunuh itulah hal yang ia takutkan. Belum lagi dengan hukuman yang akan dilayangkan padanya jika pejabat tahu.
Tapi Zed hanya bisa berdoa. Ia tahu beban Di pundak kakaknya cukup besar.
Sekarang ia sudah memantapkan dalam hatinya. Bahwa dirinya akan berjuang lebih keras lagi agar diakui. Zed ingin menolong kakaknya berbagi beban bersama.
Dahulu, ketika tahu orang tuanya tewas, ia sama sekali tak memiliki semangat apapun, dalam waktu berbulan-bulan. Hanya menghabiskan waktu merenung. Beruntung ia memiliki Zen yang sabar luar biasa menghadapinya. Walau Zen juga punya luka besar di hatinya
Pria itu tetap berusaha kuat. Zed lalu mulai ceria lagi, dan kembali bermain bersama teman-temannya.
Pukulan demi pukulan Zedith layangkan ke pohon pisang yang berfungsi sebagai samsak. Kakaknya bilang, ia harus melihat dengan hatinya untuk sadar, dan kuat.
Ia berpikir sebentar lagi dirinya akan bisa bersama dengan kakaknya.