Chereads / ZOMBIE : To The Shelter / Chapter 19 - Pergi sendiri

Chapter 19 - Pergi sendiri

Semua yang hendak melangkah, terhenti seketika dan melihat siapa yang berbicara.

"Aku tak ikut," ulang Jefri yang berada di belakang.

Semua saling tatap seolah bertanya ada apa dengan Jefri yang tiba-tiba berubah pikiran.

"Kenapa? Kan udah dijelasin semalem kalau nggak apa-apa. Semua udah tertular, Jef," tandas Boni.

"Bukan itu masalahnya," ujar Jefri dengan lirih.

"Lalu apa? Kamu mau di sini sendiri?" tanya Boni tak sabar.

"Nggak," jawab Jefri cepat.

"Terus kenapa?" Boni bingung melihat temannya itu yang terlihat ragu.

"Saya ... saya ingin menjemput emak. Kalian bisa pergi dulu, saya akan menyusul bersama emak," jawabnya dengan tersenyum.

Boni terkejut, dia baru teringat tentang ibunya Jefri yang tertinggal di plafon SD.

"Mas, saya boleh pinjam motor mas nggak? Kalau udah sampai semarang, nanti saya balikin," pinta Jefri.

Iko terdiam, dia menatap yang lainnya. Rasanya, ia ragu Jefri bisa sampai dengan selamat dalam kondisi yang seperti ini. Anya terlihat bingung. Dia tahu perasaan Jefri.

"Terakhir kali kamu lihat ibumu di mana?" tanya Anya.

"Di plafon SD," jawab Jefri.

"Apa kamu yakin ... ibumu masih hidup?" tanya Anya hati-hati, mengingat kejadian di desa mereka yang begitu mengerikan.

Jefri tersenyum simpul. "Mau hidup atau mati, aku harus ke sana untuk memastikan bagaimana kondisinya, Nya," jawab Jefri berusaha kuat.

"Gimana kalau ibumu ...." Anya tak melanjutkan ucapannya, ia takut Jefri akan terluka sama sepertinya jika melihat sang ibu yang telah berubah.

"Nggak apa-apa," sahut Jefri tahu kelanjutan ucapan Anya.

Semua terdiam, terlihat tak setuju dengan Jefri. Ia lantas melanjutkan ucapannya. "Seandainya ibuku berubah, aku akan langsung menyusul kalian. Tenang saja, aku akan baik-baik saja."

Jefri kemudian meminta kunci motor ke Iko. Dengan berat hati Iko memberikan kuncinya.

"Aku udah bawa perbekalan," ujar Jefri dengan menepuk tas punggung berwarna hitam yang ia pinjam juga dari Iko tadi. "Kalian berhati-hatilah, sampai bertemu kembali di Semarang," pamitnya dengan senyum perpisahan.

Dia mulai menyalakan mesin motor roda dua yang akan menemaninya itu, Boni membukakan garasi untuknya. Dia tersenyum ke Boni, Boni membalas dengan raut tak rela. Pasalnya mereka tak pernah berpisah, orang tua Boni sudah tiada sejak ia berumur 15 tahun, dia yatim piatu dan tak punya saudara. Setelah orang tuanya meninggal, ia hidup dari warisan orang tuanya dan berkerja di tempat fotokopi.

Bendungan air mata Boni tumpah, ia tak mau temannya itu pergi sendiri. Namun ia juga takut untuk menemani temannya itu, ia yang tak sepemberani Jefri, hanya mampu menatap punggung temannya yang tak tertutup jaket itu menjauh pergi.

Semua pun nampak tak rela dan berwajah muram. Beberapa hari bersama, membuat mereka merasa seperti keluarga.

Jefri pergi dengan melambaikan tangannya dan tersenyum penuh ketegaran, ia sebenarnya tak ingin berpisah dari kelompoknya itu, ia juga merasa takut pergi sendirian. Namun, Jefri tak enak hati meminta mereka ikut, setelah perjuangan berat nan melelahkan yang mereka alami hanya untuk keluar dari desa dan kota.

Dengan lapang dada, ia pergi menyusuri jalan raya yang banyak sekali mobil dan motor yang terparkir sembarangan di tengah jalan, seakan sengaja ditinggalkan. Siap tak siap ia harus menghadapi kenyataan bahwa, hanya dirinya sendiri yang bisa ia andalkan sekarang.

Setelah berkendara cukup jauh dari kelompoknya, ia langsung memasang mata elang untuk mengawasi pergerakan zombi. Badan motor berkelak-kelok melewati setiap kendaraan dengan lincah. Tombak bermata tajam, teracung ke depan, bersiap menyerang.

Tak lama, ia sampai di perbatasan kota, roda cheetah hitam terus melaju melewati semua tempat yang nampak sama, sepi tak berpenghuni. Laju cheetah perlahan terhenti, kala mata elang Jefri melihat kawanan zombi yang berpakaian sangat familiar, yaitu seragam sebuah pabrik yang sangat terkenal sebagai pengolah kacang.

Begitu banyak kerusakan di sekitar para zombi yang berkerumun di tengah jalan itu. Kendaraan roda dua bahkan roda enam saling tumpah tindih dan menghancurkan bangunan di sekitarnya. Bisa dipastikan, kekacauan di sini lebih parah dibandingkan yang terjadi di desanya. Jefri tak punya harapan untuk melintas lurus ke depan, ia harus berbalik arah jika ingin selamat. Dan mencari jalan lain menuju desanya.

Namun, mata elangnya membulat sempurna, ketika ada kawanan zombie yang menghadang dari arah belakang. Suatu hal yang sangat tak terduga, karena sedari tadi jalan sebelumnya sangat sepi, tak ada zombi sama sekali.

Tahu tak bisa mundur, tanpa berpikir lama, Jefri langsung menyiapkan sang tombak yang bersinar di bawah sinar mentari pagi. Ia sangat menyambut zombi yang datang dengan agresif.

"HARGHH! JLEB! HARGHH!! JLEB! HARGHHH! JLEB!"

Satu persatu zombi tumbang, Jefri membuang rasa takutnya dan terus melaju ke depan menghabisi para zombi, agar ia bisa segera pulang ke desa. Sayangnya, langkahnya tertahan. Ada satu zombi yang bertubuh besar, sedang berlari ke arahnya dengan raut yang terlihat begitu beringas.

Jefri menelan ludah dengan susah payah, ia belum pernah menghadapi zombi yang seperti itu. Ia bersiap untuk menyerang meski tangan sedikit gemetar.

"HUARRGGHHHHHH!!"

Suara raungan zombi itu begitu kencang, dengan nyali yang sedikit ciut, Jefri menusuk dahi zombi itu. Sialnya, pisau bermata tajam itu tak mampu melawan dahi sang zombi. Ia patah begitu saja, dan hanya menyisakan sedikit luka gores saja.

Sontak Jefri terkejut, ia tak bisa menahan terjangan zombi pria gemuk itu, hingga membuat dirinya terjatuh keras di atas jalan beraspal.

"BRUK!"

Tubuh Jefri terjepit sempurna, sesak, perut buncit zombi itu menindih perutnya yang tak berlemak. Sedangkan kedua tangannya, sibuk menahan leher bergelambir zombi itu karena mulut sang zombi yang seperti goa dengan gigi-gigi yang terselimut darah kering menjijikan, ingin menggigit hidung mancungnya.

Tenaga zombi itu begitu besar, ia tak bisa menahan lebih lama lagi. Dengan satu tangan, Jefri mencari tombaknya yang bermata patah, lantas menusuk tepat di rongga mulut sang zombi. Darah hitam mengucur, namun serangan itu tak tak membuat zombi itu seketika mati, malah membuatnya kian agresif.

Jefri kebingungan, tangan zombi itu mengincar kepalanya. Ia harus menghindar agar tak terkena cakaran sang zombi. Masalah bertambah, kala batang sapu yang menancap sudah tak kuat menahan mulut zombi yang masih berusaha untuk menggigit. Batang sapu itu patah, dan hampir saja menancap ke leher Jefri, jika ia tak sigap menahan batang sapu itu.

Rasanya, Jefri sedang tergilas oleh buldozer. Bagaimana tidak, zombi itu tak mau diam sama sekali, hingga ia menjadi susah bernapas dan tubuhnya terasa sangat sakit, bergesekan dengan kerasnya aspal jalan raya.

Dengan susah payah, Jefri mencoba keluar dari permasalahannya. Ia mendorong patahan kayu itu dengan kuat, agar bisa menembus otak si zombi. Peluh bercucuran, wajah Jefri sudah memerah, jika terus seperti ini ia akan mati kehabisan napas karena zombi yang beringas itu sekarang menindih dadanya. Pasokan udara berkurang seketika, sedangkan usahanya untuk mengalahkan zombi itu masih belum menemukan hasil.

"Ya Allah, aku ingin menyelamatkan emak. Bantu hamba, Ya Raabbbb!" batinnya meminta bantuan ke sang pencipta.

Dengan sisa kekuatan yang ada, Jefri mengerahkan semuanya ke batang sapu. Perlahan, pisau yang patah itu mampu mengoyak mulut dan maju terus hingga darah hitam mengucur dengan deras layaknya hujan.

"HIAAAAA!!!!" Jefri memekik, merasa ada harapan untuknya.

Tak sia-sia, akhirnya mata pisau mampu menembus otak dan meluncur keluar hingga membelah kepala zombi itu menjadi dua. Jefri langsung mendorong dengan sekuat tenaga tubuh zombi itu yang sudah membasahi tangan dan wajahnya dengan darah hitam.

"PUIH!" Jefri meludahkan darah yang sedikit masuk ke dalam mulutnya. Ia lantas bangun dengan napas yang tersengal dan tubuh yang sakit.

"HUARGHHH!! HUARGHH!!"

Terdengar masalah baru datang dari para zombi pemakai seragam pabrik yang mendengar raungan zombi gemuk tadi. Tak ada waktu untuk mundur, kawanan zombi itu sudah sangat dekat. Dan jika ia berhasil, maka jalan tercepat menuju desa bisa ia dapatkan.

Jefri bersiap, ia mengambil patahan tongkatnya lantas menggenggam dengan erat. Ia menguatkan hati agar tak goyah, dengan memejamkan mata seraya mengingat wajah sang ibu yang tak rela ditinggalkan ketika tak sengaja harus berpisah darinya.

Ayah Jefri sudah meninggal akibat penyakit kronis yang diderita sejak ia masih dalam kandungan. Hanya tersisa ibunya, karena dia juga tak punya saudara kandung, sama seperti Boni. Karena itulah, ia tak bisa meninggalkan sang ibu yang adalah segalanya bagi dirinya.

Mata elangnya terbuka dengan tatap tajam ingin membasmi tanpa ampun, ia memekik dengan kencang seraya menuju para zombi.

"SRAT! SRAT! SRAT!"

Darah berhamburan melayang di udara. Sayangnya, tombak yang patah itu tak mampu menghabisi, hanya mampu melukai. Zombi yang terkena serangan Jefri, langsung menyerang kembali, seakan tak masalah dengan wajah atau leher mereka yang robek berdarah-darah.

Sontak Jefri kebingungan, karena alat pertahanannya cuma itu. Sedangkan, para zombi sudah mengelilingnya seakan ia adalah daging empuk berbau nikmat.

"Gimana ini?" batinnya bingung.