Chereads / ZOMBIE : To The Shelter / Chapter 11 - Tebakan yang mengkhawatirkan

Chapter 11 - Tebakan yang mengkhawatirkan

Indro menarik Anya menjauh, kembali ke tempat perabot yang saling bertumpuk. Mereka duduk berjajar di sela perabot. Anya menatap sang bapak, meminta jawaban atas pertanyaannya tadi. Indro menghela napas sejenak kemudian menjawab, "Ada yang keberatan dengan keberadaan kita."

"Siapa Om? Ada orang lain lagi selain kita di sini?" tanya Boni yang baru ikut duduk.

"Ada, seorang wanita di kamar mandi," jawab Jefri setelah menghela napas. Dia merasa bingung, kenapa keberadaan mereka ditolak dua kali dalam sehari, padahal mereka tak melakukan hal buruk. Mereka hanya ingin menumpang berlindung dari kejaran para mahkluk buas itu.

"Ha?? Wanita?" ulang Boni tak percaya.

Jefri menyenggol Boni. "Ssstttt!! Pelan-pelan!" tegur Jefri dengan memberikan kode kalau wanita itu masih berada di kamar mandi.

Boni langsung menutup mulutnya.

"Dia kenapa sih Yah? Kok nggak suka sama keberadaan kita?" ulang Anya dengan mengernyitkan dahinya yang mulus.

Indro menjawab setelah terdiam sejenak.

"Sepertinya, dia mendapat perlakuan yang benar-benar buruk dari seseorang," jawab Indro.

Semua yang mendengar mengernyit.

"Tahu dari mana?" tanya Anya, dia terlihat penasaran.

"Area belakang dan etalase terlihat sangat berantakan, padahal area depan seperti tak tersentuh apapun. Itu aneh. Dan wanita itu ...." Indro merasa miris ketika mengingat bagaimana kondisi wanita tadi, lantas ia melanjutkan ucapannya. "Ada bekas pemukulan di sudut bibirnya dan baju wanita itu ada yang robek. Ditambah noda darah yang terlihat di bagian belakang roknya. Entah apa sebenarnya yang terjadi, kalau menurut tebakanku wanita itu mengalami ...." Indro berhenti lagi, dia merasa tak sanggup melanjutkan hasil pemikirannya.

"Apa Ayah?" desak Anya, rasa penasarannya kian meningkat tinggi.

Indro menatap Anya, dia takut anaknya itu akan syok atau ketakutan.

"Apa ayah??" desak Anya lagi tak sabar.

Jefri dan Boni pun menatap penuh ingin tahu. Dengan terpaksa dia melanjutkan. "Wanita itu mengalami pemerkosaan."

Anya tercekat. Manik matanya bergetar, ia menatap Indro dengan tak percaya. Jefri dan Boni pun terhenyak.

"Ja -- ja -- jadi, dia di ...." Boni tak sanggup melanjutkan ucapannya namun tangannya menunjuk area belakang yang sangat berantakan.

Indro mengangguk, mengerti maksud Boni bahwa wanita itu diperkosa di area belakang, perabot yang berceceran adalah bukti perlawanan wanita itu. Entah benar atau tidaknya tebakan Indro, tetap saja hal itu membuat nyali Anya ciut. Ia meringkuk dan memeluk dirinya sendiri. Ketakutan terpancar jelas, ia tiba-tiba merasa sangat takut menghadapi dunia ini yang mempunyai begitu banyak orang jahat dan ditambah munculnya mahkluk mengerikan.

"Tak akan ada yang berani menyentuhmu nak, Ayah akan selalu menjagamu," ucap Indro ke Anya untuk menenangkan anaknya itu. "Lagipula, itu hanya hasil pemikiran ayah, belum tentu benar," lanjutnya agar Anya tak ketakutan.

"Boni, tata meja dan kursi itu. Kita makan," pintanya untuk mengalihkan pikiran Anya.

Boni segera bergerak melakukan perintah.

"Jangan takut, ada ayah di sini," tambah Indro dengan menepuk lembut punggung Anya kemudian pergi melihat isi toko.

Anya masih tetap meringkuk. Ia merasa takut karena hanya dia saja wanita yang ada di toko selain wanita itu. Jefri mencoba menenangkan wanita yang disukainya sejak kecil itu. Tentu saja ia tak ingin Anya merasa takut apalagi dengan dirinya meski ia adalah seorang pria. Karena ia tak akan pernah menyakiti Anya atau menyentuhnya tanpa izin.

"Nya," panggilnya dengan lembut.

Anya menatap Jefri, pria yang ia kenal sejak pindah ke desa itu secara sekilas, lantas menunduk kembali.

"Bukan cuma Om Indro yang akan jagain kamu, tetapi ... aku juga," ujar Jefri pelan, agar tak terdengar yang lain.

Anya kembali menatapnya, namun hanya sejenak. Ia merasa gamang, apa ia harus percaya dengan orang yang menurut Indro adalah seorang pria yangnakal dan seenaknya itu?

"Kita ini satu tim, jadi harus saling melindungi. Apapun yang terjadi, aku akan selalu ngejagain kamu," lanjut Jefri, berusaha meyakinkan.

Anya tahu, Jefri bukanlah yang seperti orang kampung dan bapaknya pikirkan selama ini. Wajahnya saja yang terlihat nakal akan tetapi tingkah lakunya sungguh berbanding terbalik, Jefri adalah pria yang sopan dan baik hati. Karena itu, ia sedikit merasa tenang, dan akhirnya benar-benar menatap Jefri yang terus menatapnya dengan lembut.

"Percaya sama aku ya," pinta Jefri dengan mengulurkan sebelah tangannya yang terlihat keras.

Anya menatap ragu tangan itu, Jefri mengulurkan lebih dekat tangannya ke arah Anya. "Ya?" desaknya meminta jawaban.

Anya ragu, tangannya mengambang di udara. Jefri langsung meraihnya dan menggenggam erat untuk menguatkan hati Anya yang sedang goyah.

"Kita satu tim, ingat itu!" pesan Jefri.

Anya akhirnya tersenyum dan mengangguk. Jefripun balas tersenyum dan merasa lega. Ia tak ingin Anya larut dalam ketakutan dan juga bertekad bahwa akan menjaga Anya sekuat tenaga. Jefri tak akan membiarkan siapapun menyentuh Anya.

Mereka berdua akhirnya ikut bergabung di meja bersama Boni dan Indro. Roti bungkusan sudah tersedia di atas meja.

"Ayo makan," ajak Indro.

Anya dan Jefri makan bagian masing-masing.

"Besok, kita cari persediaan lagi. Di sini tak banyak yang bisa dipakai untuk pertahanan," lanjut Indro disela makan.

"Baju untukku," tambah Boni dengan mulut penuh.

Jefri sedikit tertawa melihat perut temannya itu yang seperti bantal besar karena tak tertutup kain sehelai pun.

"Apa kau ketawa-tawa!" omel Boni.

Jefri meringis, Anya pun ikut tertawa pelan.

"Eh eh, kenapa malah pada ngetawain semua," keluh Boni.

"Om nggak ikut ketawa juga?" sindir Boni ke Indro.

"Bagaimana mau ketawa, orang perut kita sama," sergah Indro dengan membuka kaos yang menutupi perutnya. Nampaklah gumpalan yang hampir sama seperti punya Boni.

"Hahahaha."

Mereka semua tertawa dan merasa sedikit terhibur setelah menghadapi maut seharian. Dari balik etalase, wanita itu mengintip, melihat orang-orang yang diusirnya tadi.

"Oh iya, apa ada sisa roti?" tanya Anya tiba-tiba.

"Ada," jawab Boni setelah menelan makanannya.

"Beri aku satu," pinta Anya.

Mereka berpikir Anya masih lapar dan akan makan roti itu sendiri. Akan tetapi Anya malah pergi ke area belakang.

"Mau kemana?" tanya Indro.

"Ngasih ini ke Mbak itu Yah," jawabnya yang membuat mereka semua terkejut.

Indro ingin menemani anaknya itu karena takut wanita tadi akan melakukan hal buruk pada Anya.

"Biar saya saja Om," cegah Jefri dengan melahap sisa rotinya dan segera menyusul Anya.

Wanita yang sedari tadi mengintip itu, bergegas kembali ke dalam kamar mandi. Anya sudah sampai dan mengetuk pelan pintu.

"Mbak, ini ada roti buat Mbak," ujarnya sembari menaruh roti itu di depan pintu.

Jefri sudah berada di belakangnya. "O ya, minum. Tolong ambilkan minum Jef," pinta Anya.

Jefri langsung pergi mengambil minum dan kembali dengan cepat. Minuman itu ditaruh dekat roti, lantas mereka pergi ke area depan melanjutkan perbincangan.

Tugas jaga pun dibagi kala waktu tidur datang.

"Kita gantian jaga 2 jam sekali. Dimulai dari aku dulu, Anya, Jefri dan terakhir Boni," ujar Indro. "Kalau ada apa-apa, langsung bangunkan yang lain," pesannya.

Mereka semua mengangguk dan mencari tempat untuk tidur. Jefri melihat karpet dan memberikan ke Anya.

"Terima kasih," sambut Anya.

Boni yang melihat itu meminta juga pada Jefri dengan menengadahkan tangan. Jefri geleng-geleng kepala dan memberikan sisa karpet padanya. Sedangkan ia tidur di kursi plastik dengan menaruh kakinya di atas meja.

Tak lama mereka sudah terlelap, masuk dalam dunia mimpi karena diterpa kelelahan. Baru dua hari, sejak mahkluk mengerikan itu memporak-porandakan kehidupan normal para manusia, namun rasanya sudah sangat lama dan menyiksa.

Wajah-wajah lelah itu diamati oleh Indro, dia sebagai orang dewasa merasa sangat kasihan dengan apa yang terjadi. Masa muda Anya, Jefri dan Boni, terganggu dengan permasalahan yang begitu tak bisa dimengerti. Terlebih untuk Anya yang sampai kehilangan sang ibu. Wajah Anya begitu sayu diterpa cahaya lampu, tak terasa tetasan demi tetesan mulai mengalir di pipi Indro.

Dalam hati ia berkata, "Maafkan ayah Nak. Ayah tak bisa menyelamatkan ibumu."

Nasi sudah menjadi bubur, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menjaga anak satu-satunya itu tetap hidup dan tak ada orang jahat yang bisa menyentuhnya sedikitpun. Rasa penyesalan dan renungan membawa waktu berjalan begitu cepat. Sudah waktunya Anya berjaga. Ia membangunkan anaknya itu dengan pelan agar tak menggangu yang lain.

"Kalau tak kuat, bangunin ayah. Biar ayah yang jaga," pesan Indro setelah Anya bangun.

"Ayah tidur saja, Anya kuat kok," tolak Anya, lantas berjalan ke pintu depan.

Indropun akhirnya bisa mengistirahatkan tubuhnya yang sudah mulai pegal. Ketika Indro sudah tertidur, ada seseorang yang bangun.

"Kenapa kamu bangun?" tanya Anya dengan mengeryit.