Chereads / ZOMBIE : To The Shelter / Chapter 12 - Itulah tujuan kita

Chapter 12 - Itulah tujuan kita

Boni bangun dengan menggaruk perutnya yang tak tertutup baju. Ia berjalan sempoyongan menuju kamar mandi seraya menjawab pertanyaan Anya. "Pengen kencing."

Anya bingung karena di kamar mandi masih ada wanita itu.

"Tunggu Bon," tahan Anya. "Ada wanita itu di sana," lanjut Anya mengingatkan.

Boni teringat. "Iya ya," sahutnya dengan gerak yang gelisah. Anya tahu Boni sudah tak tahan lagi.

Pada saat itu, Jefri terbangun.

"Ada apa?" tanyanya dengan mata yang setengah terbuka.

"Nih, si Boni pengen pipis," jawab Anya.

"Ohhh, ya udah. Yuk," ajak Jefri seraya bangun dari kursi, tempatnya tidur.

"Tapi kan, kamar mandinya nggak bisa dipakai," sergah Anya.

"Bukan di kamar mandi, tapi di belakang," jawab Jefri dengan mengambil senter di dalam tas ransel.

Boni dan Jefri lantas pergi ke belakang. Tak ada penerangan di belakang toko itu. Mereka berdua bergantian buang air kecil dan kembali ke dalam toko.

"Kamu mau buang air kecil juga?" tanya Jefri ke Anya.

"Nggak, aku nggak pengen," jawab Anya yang masih duduk di dekat pintu.

Jefri tidak kembali ke tempat tidurnya. Dia duduk di hadapan Anya dengan bersandar pada tiang penyangga toko.

"Kenapa nggak balik tidur?" tanya Anya dengan kernyit di dahi.

"Udah nggak ngantuk," jawab Jefri.

"Lebih baik kamu tidur, kita nggak tahu besok bisa tidur kayak gini atau nggak," saran Anya.

"Kamu bener juga," sahut Jefri lantas berdiri.

"Ya udah, balik tidur sana," usir Anya.

"Aku tidur di sini," pungkas Jefri yang sudah mengambil karpet. "Sakit punggungku tidur di situ, lebih enak di sini," terangnya. Ia lantas meminta Anya untuk berpindah tempat.

Anya berdiri dengan bingung. Jefri membuka karpet itu di lantai dan merapatkan ke rolling door. "Dingin kalau nggak pakai karpet," tutur Jefri seraya membenahi letak karpet, agar Anya tak kedinginan di lantai keramik yang dingin. "Duduk," pintanya tanpa menatap Anya yang bergerak canggung.

"Bangunin kalau udah waktunya ya," pinta Jefri sembari menutup mata. Anya yang duduk merapat ke dinding, tak menjawab, ia hanya mengangguk dengan kikuk.

Jefri sengaja tidur di dekat Anya, agar wanita cantik itu tak merasa kesepian di waktu jaganya.

"Kamu inget nggak Nya? Waktu kamu jatuh dari sepeda?" tanya Jefri.

Hanya mulut Jefri yang terlihat dari sudut Anya, karena pandangannya terhalang oleh lengan berurat yang menutup hampir seluruh wajah sang penanya.

"Yang pas umur 10 tahun?" Anya balik bertanya.

"Iya. Kamu inget nggak, es krim kamu jatuh, terus kamu nangis nggak berhenti-berhenti sampai pipi sama baju kamu basah?" lanjut Jefri dengan tertawa kecil.

"Ihh masih inget aja sih kamu, aku kan jadi malu," sergah Anya, rona kemerahan muncul di pipinya yang mulus. "By the way makasih ya, dulu kamu udah nolongin dan ngasih es potong kamu ke aku," lanjut Anya.

"Bayar," canda Jefri.

"Hahah, dua ribu boleh?" sahut Anya.

"Masak dua ribu, dua setengah lahhhh," tawar Jefri.

"Dua setengah apa? Juta?" gurau Anya.

"Dua ribu lima ratus," jawab Jefri dengan menampakkan gigi rapinya.

"Dihhh, kirain berapaaa," sahut Anya, dari nada suaranya Jefri bisa tahu kalau Anya ikut tertawa.

Rencananya untuk membuat Anya sedikit terhibur, berhasil. Rasa malu membuatnya tak berani menatap langsung wajah Anya yang selalu ia tatap dari kejauhan itu. Ia hanya berani berbicara santai dengan cara seperti ini, menutup hampir seluruh wajahnya yang sedang merona malu sekaligus ceria.

Selama dua jam jaga, Anya dan Jefri mengobrol tanpa henti. Membicarakan semua hal yang menimbulkan sedikit gelak tawa di malam yang sepi.

"Eh, kok udah dua jam aja sih," ujar Anya yang baru sadar.

Jefri segera bangun. "Dah sana, gantian," usirnya dengan duduk bersandar di dinding.

"Gantian aku yang temenin kamu ya," pinta Anya.

"Nggak! Aku mau merenung. Dah, sana kamu tidur. Bawah mata kamu udah hitam semua itu lho karena kurang tidur," tolak Jefri mentah-mentah.

"Ih masak?" Anya malah balik bertanya.

"Iya, udah sana," usir Jefri dengan sengaja agar Anya segera berbaring.

"Iya, iya," sahut Anya menyerah, ia lantas merebahkan diri dengan posisi yang sama seperti Jefri tadi. "Jef," panggil Anya.

"Grookk, grookkk!" Jefri pura-pura mendengkur.

Anya tertawa kecil melihat tingkah Jefri. "Apa sih kamu, belum tidur juga," sergahnya dengan menatap Jefri.

Jefri langsung pura-pura tidur.

"Iya iya, aku tidur," ujarnya dengan kembali berbaring dengan benar. Dalam hati Anya bersyukur karena sebenarnya tadi ia takut berjaga sendiri. "Makasih Jef," tuturnya, seulas senyum terlihat dalam perjalanan Anya menuju alam mimpi.

Ucapan terima kasih itu memunculkan bunga-bunga mekar di hati Jefri. Senyum terkembang di wajahnya yang sedang menatap penuh cinta ke Anya. "Sama-sama," batinnya.

Jefri lantas berfokus dalam menjaga, menajamkan pendengarannya di balik pintu, hanya saja ia tak menangkap apapun. Rasanya aneh, apa tak terjadi apa-apa di daerah sini? Kenapa tak ada suara kendaraan melintas atau suara mahkluk itu mendekat? Itu yang dipikirkan oleh Jefri sepanjang waktu jaganya.

Dua jam berlalu tanpa ada informasi yang didapat. Dia bergantian jaga dengan Boni.

"Jangan tidur," pesan Jefri ke Boni yang sudah ingin kembali tidur lagi ketika bersandar ke dinding.

"Siap!" sahut Boni dengan menghormat ke Jefri.

"Siap siap! Awas kalau ketiduran!" ancam Jefri.

"Iyee iyee, udah sono tidur," usir Boni.

Jefri berbaring di samping Anya.

"Ngapain kau tidur di sini?" tanya Boni dengan mengernyit.

"Biar nggak kau apa-apain si Anya," sahut Jefri dengan memunggungi Anya.

"Sialan! Emang wajahku sejahat itu apa?" omel Boni tak terima.

"Iya, jahat banget!" canda Jefri.

"Dasar ekor tikus," ejek Boni karena model rambut Jefri yang berbentuk mullet.

"Biar, daripada kau sarang burung," balas Jefri.

Mereka tak berhenti saling mengejek.

"EHEM!" Indro berdeham, membuat mereka terdiam.

Jefri pun tertidur di samping wanita pujaannya, sedangkan Boni menjaga dengan mata yang ingin terpejam. Beberapa jam kemudian, mereka dibangunkan oleh Indro. Termasuk Boni yang harusnya menjaga, berakhir tertidur dengan gaya duduk. Ia bangun dengan terkejut. Sinar matahari sudah memasuki celah ventilasi toko, pertanda mereka harus segera pergi.

"Ayo bergerak," ajak Indro.

Jefri langsung bangun.

"Buat senjata seadanya yang kalian bisa untuk pertahanan diri. Om mau memeriksa keadaan di luar dan mobil," terang Indro.

Mereka semua mengangguk dengan wajah yang langsung terbangun sempurna, tak ada waktu untuk beristirahat terlalu lama, karena kenyataan yang sangat pahit sedang mereka jalani.

"Ayooo bangunnnn tukang tidur," ejek Jefri ke Boni.

Boni menggumam kesal, ia juga balas mengejek Jefri. Begitulah mereka yang selalu saling mengejek sejak kecil.

Anya melipat karpet, tempatnya tidur lantas mencari sesuatu sebagai alat pertahanan diri. Jefri terpikirkan sesuatu setelah melihat sapu. Dia mematahkan batang sapu itu kemudian menyatukan dengan pisau besar yang terlihat tajam. Anya mengikuti caranya.

Boni mengambil wajan besar, kemudian dikaitkan dengan tali ke tubuhnya yang bertujuan sebagai perisai diri karena perutnya tak tertutup baju.

Indro kembali ke dalam toko. Ia melihat roti pemberian Anya tak ada di depan kamar mandi. Itu berarti wanita itu mau makan pemberian Anya. Dia kembali menemui yang lain.

Jefri sedang membantu Anya membuat tombak.

"Buatkan aku juga dong," pinta Boni.

Jefri mematahkan sapu lagi dan langsung memberikan ke Boni. "Bikin sendiri," ujarnya lantas pergi meninggalkan Boni yang mengomel. "Dasar! Pilih kasih!"

Anya dan Jefri mencari alat perlindungan lagi namun tak menemukan.

"Kalau sudah kita makan dulu," ajak Indro.

Boni segera mengeluarkan roti yang tersisa. Jumlahnya tinggal 5 bungkus. Dan beberapa minuman kemasan.

"Anya, beri roti dan minuman ini ke Mbak itu. Bilang kalau, kita akan pergi setelah makan," titahnya ke Anya.

"Baik Yah," sahut Anya, ia lantas pergi dengan Jefri yang mengikuti.

"Om, kita akan pergi ke mana?" tanya Boni setelah menggigit rotinya.

"Hanya ada satu jalan, jadi kita lurus saja. Di mana tak ada mahkluk itu, itulah tujuan kita," jawab Indro.

Anya dan Jefri kembali dengan cepat. Mereka ikut sarapan,i kemudian mengambil beberapa barang setelah sebuah roti menjadi sumber tenaga mereka, masuk dengan tuntas ke perut.

"Bawa juga karpet itu," titah Indro.

Untung tas yang mereka bawa adalah tas gunung jadi muat banyak barang. Boni segera melaksanakan perintah dari Indro. Mereka mulai membuka pintu rolling door dengan perlahan.

"TUNGGU!"