"Sayang sekali, untuk saat ini aku belum bisa merebut hatimu, Shad. Tetapi, aku juga tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan segera mendapatkan hatimu," ujar Shazia sebelum masuk ke dalam pesawat.
Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Harshad diam-diam sering bertemu dengan Freya di sebuah hotel. Harshad ingin meminta maaf kepada Freya tentang apa yang sudah terjadi sebelumnya. Ia juga tidak memilih Freya karena masih belum bisa hidup mandiri.
"Semoga kamu mengerti, Fre. Kita baru saja tamat sekolah dan akan segera melanjutkan studi. Aku tidak mau jika nantinya menjadi gelandangan. Aku ingin hidup bersama dengan kamu. Tapi, aku meminta kesabaran yang penuh dari kamu, Fre." Harshad mencoba memegang kedua tangan Freya. Tetapi, Freya dengan cepat menampik tangan lelaki itu.
"Sampai kapan aku harus bersabar, Shad? Harus sampai kapan? Aku sudah menjalani hubungan ini selama tiga tahun lamanya. Tetapi, untuk diakui ke publik saja itu tidak mungkin. Bagaimana aku bisa bersabar? Kamu dan Shazia akan segera dijodohkan. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi. Aku tidak akan kuat!" Freya kembali membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Freya, aku berjanji akan menikahimu. Tapi aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk melakukan itu."
"Iya, tapi mau sampai kapan seperti ini? Aku tidak tahan melihat berita tentang perjodohan kamu dengan Shazia. Aku tidak bisa menahan rasa sakitnya, Shad!" Freya langsung menangis setelah mengatakan itu.
Harshad pun langsung memeluk Freya. Tanpa mereka sadari ternyata momen tersebut sudah di abadikan oleh seorang paparazi. Foto tersebut langsung sampai kepada Shazia. Sungguh kesalnya Shazia setelah mendapatkan foto tersebut dari mata-mata yang sudah ia kirimkan.
"Ternyata, mereka masih sering bertemu, ya? Freya, ternyata kamu tidak pernah menyerah untuk mendapatkan Harshad?! Ha, kamu tenang saja. Aku akan segera merebut Harshad dari genggamanmu itu. Tapi, untuk saat ini aku harus fokus dulu ke studi. Setelah aku tamat, aku akan segera merebut Harshad dari cengkramanmu!" Tangan Shazia sudah terkepal keras setelah melihat foto tersebut.
3 bulan kemudian, Shazia sudah terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang ada di London. Dengan bahasa asing yang fasih, membuat Shazia bisa dengan mudah berinteraksi dengan mereka. Di London, Shazia bertemu dengan seorang teman yang juga berasa dari Indonesia. Namanya Zayn Henderson, anak dari seorang sutradara terkenal yang kini menetap di Indonesia.
Identitas Zayn juga tidak diketahui oleh Shazia. Karena Shazia juga tidak terlalu peduli dengan hal tersebut. Selama berteman dengan Zayn, Shazia tidak pernah bertanya tentang status keluarga Zayn. Hal tersebut membuat Zayn semakin tertarik dengan Shazia. Hingga, Zayn menyuruh anggotanya untuk mencari status keluarga tentang Shazia.
"Ouh, ternyata dia anak bungsu dari pengusaha batubara yang terkenal itu? Dan pantas saja penampilan sangat berbeda dengan wanita pada umumnya. Hm, semakin membuatku tertarik untuk mendekati dirinya." Zayn masih berbicara di dalam hatinya.
Zayn juga berusaha mendekati Shazia yang sedang membaca buku pelajaran di taman. Shazia langsung tersenyum setelah melihat Zayn.
"Hay, Zayn. Apa kabar?" sapa Shazia setelah melihat Zayn berdiri di hadapannya.
Zayn langsung tersenyum. "Bolehkah aku duduk disebelahmu?" tanya Zayn yang hendak duduk bersama dengan Shazia.
"Tentu saja, duduklah," jawab Shazia dengan senang hati.
"Kabarku baik, bagaimana dengan kabar kamu, Zia?" tanya Zayn dengan kepala yang sudah dimiringkan.
"Seperti yang kamu lihat, Zayn. Eh, kamu selama beberapa minggu ini kemana saja? Kenapa aku baru melihat kamu?" tanya Shazia hanya ingin sekedar basa-basi.
"Oh, ternyata dia selama ini juga diam-diam memperhatikan keberadaanku?" ucap Zayn di dalam hatinya. "Aku, ya seperti biasa, Zia. Aku mengurus studi ku yang akan segera selesai beberapa tahun lagi."
"Hahaha, memangnya kamu selesai berapa tahun lagi?" tanya Shazia yang merasa penasaran.
"Sekitar dua tahun, Maybe."
"Kalau begitu, kita sama. Aku juga akan menyelesaikan studiku dalam dua tahun ke depan. Itu juga kalau aku sanggup," ucap Shazia sembari memiringkan tubuhnya menghadap Zayn.
"Wah, it's amazing! Bukannya kamu mengambil dua jurusan sekaligus?"
"Iya, benar. Aku mengambil dua jurusan. Yah, doakan saja aku juga bisa menyusulmu nanti."
Zayn semakin tertarik dengan Shazia. "Ike, akan aku doakan," jawab Zayn dengan kedua mata yang sudah berbinar-binar melihat wajah rupawan Shazia.
"Ya sudah, kalau begitu. Aku mau masuk ke kelas. Sampai jumpa nanti ya, Zayn," ucap Shazia sebelum pergi dari hadapan Zayn.
"Oke, sampai jumpa nanti." Zayn langsung tersenyum setelah melihat kepergian Shazia. "Hm, sepertinya Shazia juga tertarik denganku. Atau memang aku yang terlalu percaya diri, ya? Hahaha, Shazia. Aku sangat menyukaimu," jelas Zayn.
Shazia masih tidak menyadari perasaan Zayn. Perlahan-lahan, Shazia pun mulai berubah. Kini sifatnya lebih dewasa dan berkepribadian baik. Niatnya untuk merebut Harshad dari tangan Freya juga tidak terlalu dominan seperti dulu. Karena ia sadar, semua yang dilakukan secara tidak baik. Akan mendapatkan hal yang setimpal.
Shazia dan Bryan juga sering bertemu di London. Hal Itu Bryan lakukan hanya ingin mengetahui bagaimana dengan aktivitas Shazia selama jauh dari keluarga. Semuanya tampak normal, itulah yang ada di dalam pikiran Bryan. Bryan juga tidak menyangka bahwa Shazia juga memiliki teman yang sama dengan dirinya. Ternyata, Zayn dan Bryan dulunya pernah sekelas ketika duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Benarkah? Zayn itu teman sekelasmu, Kak?" tanya Shazia merasa sangat terperanjat.
"Ehm, benar sekali. Aku dulu sangat dekat dengan dirinya. Setelah tamat, aku jarang bertemu dengan dirinya. Aku juga tidak tahu bagaimana dengan kabarnya sekarang," jelas Bryan.
"Oh begitu ya, Kak. Kamu mau aku pertemukan dengannya? Aku bisa mengatur waktu untuk itu." Shazia ingin membantu Bryan untuk bertemu dengan teman lamanya.
"Boleh saja, aku akan dengan senang hati menerima tawaranmu ini, Dik." Bryan kembali meneguk minumannya. "Eh, kamu selama disini belum pernah minum minuman beralkohol?" tahya Bryan yang masih merasa penasaran.
Shazia sontak tertawa setelah mendengar pertanyaan Bryan. "Bryan, kamu juga sudah melihat seluruh apartemenku ini. Tidak ada botol atau apapun itu yang berbaur dengan alkohol atau semacamnya. Aku juga membelikan minuman ini karena kamu yang minta, 'kan?" Shazia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.
Bryan langsung tersenyum canggung melihat adik bungsunya itu. "Hahaha, aku pikir kamu sudah melakukannya," ucap Bryan secara refleks.
"Melakukan apa? Ih, Bryan! Otakmu ini sudah tidak beres, ya." Shazia langsung menotok kepala Bryan dengan telunjuknya. "Aku tidak mungkin melakukan sesuatu hal yang membuat diriku merasa rugi, Bryan. Aku juga tidak pernah pergi ke party. Meskipun, teman-temanku selalu mengajakku untuk berparty bersama. Aku selalu menolaknya, aku tahu bagaimana pergaulan yang ada disini. Aku hanya takut jika tidak bisa menjaga diriku sendiri." Shazia langsung menyandarkan kepalanya di bahu Bryan.
Tangan Bryan langsung menyambut kepala Hyuna dengan lembut. "Iya, bagus. Kalau kamu tidak melakukan hal yang membuat kamu merasa rugi. Tapi, usiamu juga sudah cukup untuk pergi ke tempat seperti itu, Zia. Bermainlah tapi ingat batasannya."