Shazia spontan melebarkan senyuman di bibirnya. "Iya, Kak. Aku akan melanjutkan studi di luar negeri. Aku juga sudah membicarakan hal ini kepada papa dan mama. Mereka juga sudah mempersiapkannya, Kak."
"Kenapa kamu tidak memberitahu kepada diriku terlebih dahulu? Ke–kenapa kamu baru mengatakannya sekarang, Dik?" Bryan masih tidak percaya dengan keputusan yang sudah Shazia tetapkan.
"Aku hanya ingin membuat sebuah kejutan untuk dirimu, Bryan." senyuman lembut yang ditorehkan Shazia membuat Bryan merasa tersentuh. "Hei, kamu kenapa bersedih seperti itu, Kak?"
"Tentu saja aku akan sedih. Kamu sebentar lagi akan meninggalkan aku sendiri disini," tangkas Bryan dengan mata sudah berkaca-kaca.
"Masih ada mama dan papa di rumah ini. Jangan terlalu berlebihan, Kak. Bella juga masih berada di samping kamu, 'kan?" Shazia langsung memegang kedua tangan Bryan dengan lembut.
"Iya, itu beda lagi ceritanya, Zia. Jadi, kamu di sana akan mengambil jurusan apa?"
"Aku akan mengambil jurusan teater dan drama. Aku juga ingin mengambil satu jurusan lagi. Jika aku sanggup," ujar Shazia sembari membusungkan dadanya dan kemudian ia kosongkan kembali. "Aku juga akan mengambil jurusan bisnis management, Kak."
"Itu dua jurusan yang sangat jauh berbeda. Tapi, aku yakin kamu bisa menuntaskannya nanti. Tapi, aku tidak sanggup untuk berada jauh darimu selama lima tahun!"
"Hm, lama sekali. Aku tidak akan selama itu disana. Akan aku kerjakan tiga tahun untuk menyelesaikan studiku di sana. Bryan, don't cry. Aku hanya pergi sebentar, tidak pergi untuk selama-lamanya." Shazia langsung memeluk Bryan.
Tangisan dari kedua mata Bryan tidak dapat terelakkan. Ia juga memberikan beberapa nasehat kepada Shazia. Entah mengapa, Bryan menjadi terlihat sangat cengeng setelah mendengar semua keputusan Shazia.
Esok adalah hari terakhir mereka pergi ke sekolah menengah atas. Shazia juga mendapat nilai terbaik pertama di seluruh negeri. Shazia juga mendapatkan beasiswa mahasiswa berprestasi. Ia juga secara terang-terangan mengatakan kepada pihak sekolah untuk melanjutkan studinya ke luar negeri. Tampaknya, berita tersebut juga sudah menyebar ke seluruh penjuru negeri.
Harshad yang mendengar pemberitaan itu pun berusaha untuk menemui Shazia untuk yang terakhir kalinya. Meskipun, hari itu Shazia pergi ke sekolah. Tetapi, ia tidak mempunyai nyali untuk masuk ke dalam ruangan kelas. Shazia pun lebih memilih untuk duduk di taman sekolah seraya memandangi setiap sudut sekolahnya itu. Ia juga secara tidak sadar bahwa sejak tadi Harshad sudah berdiri di belakangnya.
"Sepertinya kamu sangat menikmati cuaca mendung di pagi ini, ya?" Harshad langsung duduk di sebelah Shazia.
Wajah ceria Shazia spontan meredup. Shazia kembali meluruskan padangannya. Harshad kembali berkata kepada Shazia. Namun, Shazia masih tetap diam dan seolah tak menggubris setiap pertanyaan yang Harshad berikan. Dan Shazia juga lebih memilih untuk pergi dari sana.
"Kamu masih marah kepadaku, Zia?" tanya Harshad sekaligus membuat langkah kaki Shazia terhenti.
Meskipun langkahnya sudah terhenti. Shazia masih tidak mau mengalihkan pandangannya kepada Harshad. "Aku tidak marah kepadamu, Shad. Aku hanya kecewa dengan semua perlakuanmu kepada diriku. Kalau tidak ada hal yang penting untuk dibicarakan lagi. Aku akan—"
Perkataan Shazia langsung dipotong oleh lelaki yang ada di belakangnya."Kenapa kamu harus lari dariku, Zia?" Harshad kembali mendekati Shazia.
Kedua sorot mata Shazia langsung menajam setelah mendengar perkataan Harshad. "Aku lari bagaimana? Aku tidak mengerti apa maksudmu itu, Shad!" Shazia langsung tersenyum sinis melihat wajah Harshad.
"Apanya namanya kalau tidak melarikan diri? Kamu bahkan melanjutkan studimu ke luar negeri! Kenapa kamu harus pergi ke sana untuk melanjutkan studimu? Kenapa tidak di sini saja?" Harshad merasa keberatan dengan keputusan yang sudah Shazia pilih.
"Kenapa kamu merasa keberatan dengan pilihanku itu? Memangnya kamu siapa berani mengatur hidupku?" perkataan Shazia langsung menusuk ke relung hati Hashad. "Aku juga tidak pernah mengatur hidupmu, 'kan? Tidak pernah, tuh. Aku mengatakan ke kamu untuk menjauhi Freya. Lalu, kenapa sekarang mau mengatur kehidupanku? Seolah-olah kamu itu teman terdekatku!" Shazia kembali membuang pandangannya ke samping.
"Zia, kenapa kamu bersikap seperti itu? Dan kenapa kamu mengatakan itu kepadaku? Aku ini sahabatmu, Zia. Sudah banyak hari-hari yang kita lalui bersama. Tapi, sekarang kamu melupakan segalanya begitu saja?"
Shazia langsung menyilangkan tangannya di depan dada. "Apa? Sahabat ku? Kamu bahkan masih fasih mengatakan bahwa kamu sahabatku?! Aku tidak pernah mempunyai sahabat pendrama seperti dirimu, Shad! Karena Harshad yang dulu tidak pernah sedikitpun membuatku merasa sedih. Harshad yang aku kenal sudah lama mati. Huft, sudah ya. Aku tidak mau membuang waktuku hanya untuk menjelaskan hal ini kepada dirimu." Shazia langsung pergi dari hadapan Harshad.
Air mata Shazia terus terurai ketika ia berjalan meninggalkan Harshad. Bukan hal itu yang sebenarnya ingin Shazia katakan. Tetapi, setiap kali Shazia melihat wajah Harshad. Shazia langsung kembali mengingat semua pengkhianatan yang pernah Harshad lakukan kepada dirinya.
"Maafkan aku, Shad. Aku hanya tidak mau terlihat lemah di depanmu. Semua pengkhianatan yang kamu lakukan bersama dengan Freya sudah cukup untuk membuat hatiku hancur dan aku juga sudah sangat kesulitan untuk memperbaikinya lagi. Aku hanya tidak mau terus-menerus menjadi seorang penjahat. Aku lelah jika terus bersandiwara agar terlihat baik di depan semua orang. Aku ingin mengubah segalanya. Aku ingin orang melihatku sebagai Shazia Connor. Bukan Shazia yang selalu bersandiwara untuk menyembunyikan semua sikap brutalnya. Aku akan merehatkan pikiranku. Aku akan belajar menjadi orang baik. Itu sebabnya aku memilih untuk melanjutkan studiku di luar negeri." Shazia masih menggerutu di dalam hatinya.
Shazia masih menikmati perpisahan itu dari atas gedung sekolah. Tak sengaja, kedua mata Shazia langsung terfokus kepada Harshad dan Freya yang sedang riang gembira melepaskan dasi sekolah mereka ke atas permukaan bumi. Angin utara yang berhembus diatas sana berhasil membuat Shazia merasa kedinginan. Shazia pun akhirnya memutuskan untuk segera turun dari atas gedung.
Setelahnya sampai di tangga terakhir. Ia sudah melihat kedua sahabat pengkhianatnya sedang menyatukan kedua bibir mereka dengan sangat mesra. Shazia juga tidak menggubris hal tersebut. Meskipun, keempat mata yang ada di bawah tangga sedang terperangah melihat kehadirannya. Shazia sama sekali tidak peduli dan kembali melanjutkan perjalanannya. Senyuman sinis pun langsung tergores di bibir Freya.
"Menyedihkan sekali menjadi dirimu ini, Zia! Pada akhirnya kamu akan selalu sendiri." Shazia langsung masuk ke dalam mobil pribadinya yang sudah terparkir rapi di parkiran mobil. "Pak, ayo kita pulang," titah Shazia setelah masuk ke dalam mobil.
Kedua mata Shazia pun kembali terpusat kepada gerbang sekolah. Setelah kedua mata Shazia sudah beralih. Harshad langsung berlari mengejar mobil pribadi Shazia. Tetapi, Shazia sudah tidak melihat hal tersebut. ia pun kembali melihat hasil pencapaiannya selama tiga tahun ia bersekolah. Shazia langsung tersenyum ceria selepas melihat seluruh tulisan yang tergores di atas kertas putih itu.