Alda meneteskan Air matanya, sambil menatap Mamanya penuh kekesalan. Karena tokonya dulu pernah bangkrut dan tidak penah di buka lagi. Tetapi, Morie tidak bisa menahan dirinya tidak bekerja. Maka, Morie meminta bantuan Wira. Kakeknya Alda yang seorang Rektor di universitas ITB. Untuk pertama kalinya toko cup cake mereka berkembang lagi, tapi pada akhirnya setiap usaha pasti akan menuai kegagalan. Toko cup cake Morie sepi kembali.
Dua bulan yang lalu, Morie pergi ke perusaaan Papanya Gio, yang dimana Franz menjadi pemodal bagi Toko Cup cake Morie. Papa Gio merupakan orang terpandang, dan memiliki usaha dimana-mana. Termasuk, restoran dan kaffenya yang sedang berkembang pesat. Maka dari itu, Morie memberanikan pergi ke rumah makan Papa Gio. Morie berutang sejumlah uang, tetapi Franz menolak untuk memberikannya. Karena, Franz ingin bekerja sama dengan toko Cup Cake Star dan supaya keduanya mendapat keuntungan. Maka dari itu, Morie menyetujuinnya. Hasilnya, Cup Cake Stars berkembang pesat. Semua orang selalu memenuhi toko mereka dan juga banyak yang order.
"Mama enggak bisa bertahan seperti ini terus, Alda! Mama ingin kerja dan dengan begitu bisa menghidupi keluarga kita,"
"Tapi, enggak dengan cara Mama berutang sama orang!"
"Mama tidak berutang, Mama cuma bekerja sama dengan mereka. Dengan begitu, usaha Mama dan Usaha Pak Franz berkembang pesat,"
"Sama aja, Ma. Mama berhubungan lagi sama orang, Mama menggantungkan harga diri Mama ke orang lain! Sekarang, katakan apa nama restoran mereka? Alda bakal memutuskan kerja sama ini, supaya kita bisa membangun toko ini dengan usaha sendiri," cekat Alda menggenggam bahu Morie erat.
"Enggak, Alda! Mama enggak setuju apa yang kamu lakukan,"
"Katakan, Ma!" bentak Alda, membuat Morie ikut terhenyuk.
"Nama restoran mereka ... House Happy,"
"Hooh, jadi itu restoran yang berada di tengah kota itu? Yang sedang populer? Oke, Alda akan ke sana sekarang," Alda hendak pergi, tetapi langkahnya terhenti saat suara Mamanya membuat Alda terkejut.
"Kalau kamu memutuskan kerja sama ini, kita harus membayar sebanyak lima milyar rupiah, Alda!" jerit Morie yang sudah tak tahan dengan semuanya, air matanya seketika jatuh. Alda menghentikan langkahnya, dengan bibir yang kelu harus menanggung semua beban Sang Mama. Dengan wajah yang telah sembab, Alda berbalik menatap Morie.
"Alda capek, Ma. Dulu Mama berbohong juga sama Alda saat berutang sama Kakek. Sekarang, Mama bekerja sama dengan orang kaya juga. Ma, Alda tau keluarga kita sederhana tidakkah bisa membuat harga diri kita tinggi. Alda benci, Ma. Malah, Mama bekerja sama dengan cowok yang paling Alda benci," ungkap Alda terseguk.
"Mama minta maaf, Alda,"
"Mama terus saja minta maaf, tanpa tau rasa malu yang Alda pendam. Sampai detik ini Alda udah mempertahankan harga diri keluarga kita supaya tidak diinjak-injak oleh orang yang jauh berada di atas. Nyatanya, Alda harus berurusan lagi sama cowok itu. Alda benci! Alda benci!"
Alda pun segera memasuki kamarnya dengan perasaan marah dan kecewa. Kini, dia harus berurusan kembali dengan Gio. Dari awal pertemuan mereka yang sudah tidak baik, sekarang terus saja masih bersikap buruk. Mereka sudah menjadi saling bermusuhan. Hanya pertengkaran yang mereka lakukan.
***
Awan beralih menjadi cerah, Gio sedang duduk di meja makan dengan memakan sepotong roti yang telah Filicia siapkan. Franz dan Filicia tersenyum ke arah Gio, menatap cowok itu dengan senang. Sedangkan Gio, dia sama sekali tak melihat kedua orangtuanya yang sedang bergembira. Gio hanya menatap ke arah roti yang dia makan.
"Pa, Gio sekarang udah dewasa. Mama enggak nyangka, secepat ini Gio tumbuh menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Sejak dulu, Gio memang mempunyai daya tarik yang bagus bagi semua orang. Mulai sejak SMP, sampai sekarang. Selalu mendapat prestasi yang membanggakan. Pasti, Gitta akan senang melihat Gio sekarang," ucap Filicia menatap Franz yang tersenyum ke arahnya.
"Iya, Ma. Papa juga ikut senang jika Gio bisa menjalani hari-harinya dengan indah. Walau sekarang dia menjadi penyandang disabilitas dan tidak bisa mendengar apa yang kita bicarakan," sambung Franz menatap Gio yang sedang asyik menikmati rotinya.
"Pa," panggil Gio, membuat keduanya beralih menatap. "Papa lagi ngomongin apa? Bicara sama Gio kah?"
"Bukan, Nak. Cuma masalah usaha Papa aja," jawab Franz mengalihkan.
"Jadi, Pa gimana soal kaffe Papa sekarang? Tambah populer aja,"
"Iya, Alhamdulillah. Tapi, Papa punya rencana supaya kamu mau mengelola kaffe itu,"
"Gio, Pa? Tapi, bagaimana sama kuliah Gio,"
"Sepulang dari kampus kamu bisa langsung ngurusin kaffe itu, supaya Papa tidak harus mempekerjakan orang lain. Kamu mau kan, Gio?"
"Harus mau, Nak. Hitung-hitung supaya kamu bisa belajar mandiri ketika Papa kamu pensiun dan tugas kamu yang harus mengelola," kilah Filicia tersenyum menatap Gio.
"Gio mau sih, Pa. Tapi ... beneran nih, Gio bisa ngurusinnya?"
"Papa yakin bisa. Nanti pulang dari kampus kamu bisa langsung ke kaffenya aja, supaya Papa menjelaskan apa yang harus kamu lakukan,"
"Oke deh, Pa. Gio terima,"
Mereka bertiga tersenyum senang menatap Gio yang sudah lebih menjadi seorang cowok dewasa dan mempunyai insting yang kuat.
"Kalu gitu, Gio berangkat dulu ya," Gio bangkit dan langsung menyalami kedua orang tuanya.
Tiba di kampus, Gio langsung berjalan memasuki gedung pengurus organisasi. Saat berjalan di koridor tadi, Gio bertemu dengan Alda dan seketika mood cowok ini menjadi pudar dan tidak akan memperdulikan siapapun jika ada yang menegur. Gio langsung duduk di kursi kerjanya, sambil mengetuk tangannya ke meja dan menggoyangkan kursinya.
Gio terus berpikir keras supaya tidak akan bertemu dengan gadis itu lagi. Berjalan ke sana kemari sambil memukul kepalanya. Gavino dan Eros yang baru sampai masuk ikut bingung menatap tingkah Gio. Mereka saling menatap dan mengernyitkan dahi.
"Gio, lo kenapa?" tanya Gavino menyentuk pundak Gio. Gio mengentikan langkahnya dan menatap mereka berdua.
"Gue lagi mikir gimana caranya supaya gue enggak ketemu lagi sama cewek norak itu,"
"Maksud lo, Alda cucunya Pak Rektor?" tanya Eros untuk menyakinkan.
"Jangan sebut nama itu dihadapan gue," potong Gio cepat.
"Hooh, ayolah lo harus cerita sama kita apa yang sebenarnya terjadi. Sampai lo segitu bencinya sama dia," tutur Gavino memukul bahu Gio.
"Jadi, gini itu cewek nyari ribut mulu sama gue. Pertama, dia udah berani nyolot sama gue. Kedua, dia terus aja cari masalah sama gue. Ketiga, kejadian kemaren karena dia sok-soan buat Rama jadi pahlawan dia. Sampai buat hubungan gue sama Rama berantakan. Keempat, gue malah ketemu lagi sama itu cewek, dan sialnya gue ke toko cup cakenya. Di situ gue marah besar sama dia, dan gue be -" ucapan Gio terpotong saat Gavino menertawakan Gio sangat keras, membuat cowok ini mengernyitkan dahinya.
"Lo kenapa ketawain gue?"
"Sumpah, Gio. Baru kali ini lo bisa peduli hanya karena masalah itu? Lo jadi sensitif banget sekarang. Lo benar-benar berubah ya, tampang lo emang kagak berubah sama sekali. Masih memasang wajah dingin. Tapi, gue agak aneh sih sama sikap lo yang sebenci itu sama seorang cewek," ungkap Gavino sambil tertawa, membuat Eros yang mendengar pernyataan itu ikut menertawakan Gio. Membuat Gio terpaku atas tingkah mereka berdua dan dia langsung berbalik duduk di kursinya.
"Gio, biasanya dari pertengkaran dan benci bisa membuahkan cinta loh. Hati-hati, jangan sampai lo kesambet sama dia," ucap Eros berdiri di depan Gio.
"Enggak akan, cewek norak kayak dia bakal jadi idaman gue,"
"Uluh-uluh, ngomong aja bisa nanti kita lihat aja. Iya kan Eros," sambung Gavino dan langsung berjalan duduk di meja mereka masing-masing.
"Gue punya Auberta dan gue enggak akan jatuh cinta sama gadis lain. Gue masih setia sama bintang gue," gumam Gio duduk bersender dan melipat kedua tangannya.
"Kak Gio! Kak Gavino! Kak Eros! Kak Rama! Tolong keluar, kami ingin mewawancari tugas nih!" teriak salah satu mahasiswa yang berdiri di gedung organisasi.
Mereka berdua dapat mendengar teriakan tersebut, tetapi berbeda dengan Gio yang sama sekali tidak bisa mendnegar. Dia sedang asyik mengobrak-abrik mejanya.
"Gio, ada suara di luar tuh. Kayaknya mahasiswa lagi butuh sesuatu, ayo kita keluar aja dulu,"
Mereka bertiga pun keluar dan menatap sekumpulan mahasiswa dengan membawa ponsel, kamera dan satu buku tugas.
"Kalian mahasiswa seni rupa kan? Ada apa?" tanya Eros melihat Almameter mereka dan dia selalu ketua himpunan mahasiswa jurusan.
"Iya, Kak. Kami dapat tugas untuk mewawancarai anggota pengurus organisasi mahasiswa tentang seni rupa di kalangan masyarakat," jawab salah satu mahasiswi tersebut.
"Kalian sebanyak ini? Gimana kita bisa masuk kelas kalau seharian," tukas Gavino selaku senat mahasiswa. Gio yang berdiri bersama mereka sedang memahami apa yang mereka katakan. Manik mata cowok ini terus menatap mulut ke mulut yang sedang berbicara.
"Ya udah, gini aja. Untuk hari ini lima orang dulu, dan besoknya lanjut lagi," saran Gio.
"Tapi, Kak. Kami semua kan berjumlah tiga puluh orang, sedangkan waktu tugas yang dikasih cuma tiga hari dari sekarang,"
"Ya udah, lima orang dulu nanti kalau wawancaranya cepat ditambah lagi. Gimana?" sambung Eros dan semua mahasiswa seni rupa mengangguk paham.
Mahasiswa seni rupa sedang berkompromi siapa dahulu yang masuk dan mereka yang telah setuju pun langsung mengikuti ketiga cowok itu ke dalam.
Alda berjalan bersama Rama di koridor kampus, sambil memeluk buku tugas yang Alda bawa, jantungnya terus berdetak sangat cepat.
"Alda, lo kenapa? Tegang amat," tanya Rama yang sudah melihat jelas raut wajah Alda yang cemas.
"Enggak, Kak,"
"Gue anterin lo ke mereka dan lo bisa langsung wawancara tugas seni yang diberikan guru Tina. Lo enggak perlu takut, lo bisa wawancara mereka dengan mudah kok. Kan, ada gue yang selalu siap membantu,"
Alda hanya membalas dengan senyumnya, jika saja tidak ada Rama yang salah satu anggota pengurus organisasi, mungkin dia tidak akan berani menemui mereka. Bahkan, mahasiswa seni rupa yang lain juga sedang huru-hara memulai wawancara dengan pengurus organisasi siswa.
Tiba di gedung organisasi itu, Alda melihat sekumpulan mahasiswa yang sedang duduk diam di sana. Alda bertanya ke salah satu temannya.
"Febby, kenapa masih di luar?" tanya Alda.
"Kami sedang menunggu giliran, Alda. Di dalam udah masuk lima mahasiswa, dan kata Kak Eros kalau wawancaranya cepat bisa lanjut," jawab Febby teman Alda. Alda beralih menatap Rama.
"Udah. Lo akan jadi mahasiswa spesial di sini, ayo kita langsung masuk aja," sahut Rama, membuat Alda ketakutan harus terus berurusan dengan Gio.
"Tapi, Kak. Gimana nanti mereka marah?"
"Udah, lo enggak perlu takut,"
Saat mereka masuk dan mereka melihat mahasiswa yang sedang mewawancarai Gio. Saat mereka semua merasakan kehadiran Rama dan Alda, wawancara mereka terhenti.
"Loh, Rama? Kita masih belum selesai wawancara, kenapa lo malah bawa mahasiswi lagi," tanya Gavino. Alda menatap Gio yang sedang menatapnya dengan tajam, dengan cepat langsung beralih membuat muka.
"Tambah satu mahasiswi enggak masalah kan? Enggak bakal lama juga wawancara ini," jawab Rama cepat dan langsung menyuruh Alda untuk duduk. Rama pun keluar dari gedung, karena tidak mau berhadapan dengan Gio.
Setelah menghabiskan waktu selama tiga jam, kini giliran Alda yang harus mewawancarai salah satu dari mereka. Alda menatap ketiganya yang juga menatap Alda.
"Gue panggil mahasiswa yang lain dulu ya," ucap Eros bangkit.
"Gue juga ikut, Lo wawancara Gio aja," sambung Gavino.
Dan kini hanya tinggal Gio yang duduk diam menatap ke arah lain. Alda menjadi canggung harus berhadapan lagi dengan Gio. Alda pun memberanikan diri untuk mewawancarai Gio.
"Hmm ... A-aku mau mewawancarai Kak Gio, sesuai tugas yang Guru Tina kasih mengenai seni rupa dikalangan masyarat. Jadi, menurut Kak Gio pendapatnya seperti apa?" ucap Alda dengan sopan dan lembut sambil menjulurkan ponselnya yang sudah direkam ke hadapan Gio.
Gio berdecih sambil melipat kedua tangan menatap Alda dengan ujung matanya. Bibirnya kini miring terlihat, membuat Alda menjadi takut. Tanpa berpikir apapun, Gio bangkit tanpa mengucapkan apapun, membuat Alda terkejut.
"Kak Gio, tunggu! Alda cuma mau wawancara doang kok, enggak lebih," panggil Alda. Tetapi, Gio sudah menjauh dari gedung osis.
Gavino dan Eros yang melihat itu ikut kasihan menatap Alda.
"Lo wawancara Gio aja ya," ucap Eros.
"Lah, Kak. Kak Gio enggak mau, jadi aku wawancara kalian berdua aja,"
"Enggak bisa, kita udah dapat mahasiswa yang lain. Jadi, lo usaha aja supaya Gio mau berbaik hati sama lo," kata Gavino. Membuat Alda parno.
Alda menghela napas kasar dan berlari mengejar Gio. Gio menemukan Gio sedang berdiri di depan papan pengumuman, saat Alda tiba di dekatnya Gio pun bergerak lagi. Membuat Alda menjadi lelah harus terus berlarian. Napasnya memburu dan Alda berhenti sejenak di koridor kampusnya untuk menyeimbangkan oksigen. Alda pun tak mau kalah, terus berusaha supaya Gio mau berbaik hati padanya.
"Cowok oplas tunggu! Eh, maksudnya Kak Gio,"
"Ah, percuma di panggil, dia enggak akan bisa dengar," tutur Alda.
Kali ini, Alda mengalahkan egonya dahulu demi tugas semester. Gio bergerak sangat cepat, tepat saat itu juga Alda menarik lengan Gio, membuat cowok ini tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Alhasih, dia terjatuh tersungkur karena Alda. Alda membelalakkan mata sembari melihat Gio yang sedang bangun dan menatapnya penuh emosi.
"Benarkan gue bilang, kalau gue ketemu lo gue bakal sial. Dan kenapa lo harus kejar gue terus?" tanya Gio dengan nada pelan, menahan emosinya.
"Gue cuma mau wawancara doang, kok enggak lebih. Setelah itu, gue enggak akan ganggu lo lagi. Gue janji,"
"Jadi, lo bakal keluar dari kampus ini?"
"Hah? Bukan, maksud gue, gue bakal jaga jarak,"
"Enggak perlu!" timpal Gio dan berbalik, tetapi langkahnya terhenti saat Alda menarik lengannya.
"Gue lagi enggak mood bertengkar sama lo, jadi jangan ganggu gue,"
"Apa yang harus gue lakukan supaya lo mau wawancarai gue?" tanya Alda cepat, seketika terlintas sebuah ide di kepala Gio. Cowok ini tersenyum kecut dan mendekat ke arah Alda.
"Lo niat banget wawancarai gue,"
"Gue juga enggak mau wawancarai lo, tapi Kak Eros sama Kak Gavino nyuruh Alda buat wawancarai lo. Mereka enggak mau diwawancarai sama gue!" jawab Alda mendongakkan kepalanya menatap tubuh Gio yang lebih tinggi darinya.
Keringat bercucuran di kening Alda, membuat rambutnya yang terurai kebasahan.
"Itu hukuman buat lo. Oke, gue bakal wawancarai lo dengan syarat," ucap Gio berdiri dengan gaya khasnya, memasukkan kedua tangan ke saku celana.
"Lah, kenapa harus bersyarat?"
"Ya udah kalau enggak mau, biar lo dapat nilai jelek," Alda membelalakkan matanya karena ancaman Gio.
"Iya-iya. Apa syaratnya?"
"Minta maaf sama gue!" timbrung Gio cepat, membuat Alda mengernyitkan dahinya.
"Kenapa harus minta maaf?"
"Lo banyak salah sama gue, mulai dari pertama sampai sekarang. Sebenarnya gue enggak mau punya musuh, jadi lo harus nurutin semua apa yang gue mau. Kalau lo enggak mau minta maaf, gue bikin lo sengsara. Dan gue dapat info dari Papa gue kalau Toko Cap Cake lo itu bekerja sama dengan usaha Papa gue. Dengan begitu, gue mudah banget hancurin lo. Lo enggak kasihan sama Mama lo? Bahkan, kemarin dia rela ingin berlutut di hadapan gue," jelas Gio, membuat Alda terdiam memikirkan sesuatu.
"Kamu harus minta maaf sama Gio, Alda. Supaya hidup kita itu tenang, enggak ada beban apapun. Kamu tega lihat Mama seperti ini," ucapan Morie tadi pagi membuat Alda tidak bisa melakukan apapun. Dia haru rela mengorbankan harga dirinya.
"Alda kasihan sih, sama Mama. Gimana pun cuma Mama yang Alda punya. Alda harus menurutin permintaan si oplas," batin Alda.
"Gimana? Lo enggak mau?"
"Oke! Gue minta maaf!" hentak Alda kesal.
"Minta maaf sama orang dengan nada seperti itu? Gue enggak terima, lo harus bicara sopan dong,"
"Bawel banget sih, lo,"
"Cepetan!"
"Iya, gue minta maaf Kak Gio," ucap Alda lembut membuat Gio tersenyum tipis.
"Oke, karena lo udah minta maaf semua masalah yang lo perbuat gue maafin. Tapi, semua belum berakhir,"
"Lah, gue kan udah minta maaf,"
"Hubungan gue sama Rama masih berantakan dan tugas lo harus memperbaiki semuanya. Dan satu lagi, selama sebulan ini lo harus jadi asisten gue," Alda membelalakkan matanya mendengar penuturan Gio.
"Lo bener-bener ya, gue enggak mau jadi babu lo!"
"Ya udah sih, terserah. Gue bakal ngomong sama Papa untuk menarik kembali modal yang udah Mama lo minta. Dengan begitu, tugas lo membayar lima milyar rupiah ke Papa gue," tukas Gio menunjuk ke arah Alda. Alda diam tak berkutik.
"Oke, gue bakal nurutin semua kemauan lo," ucap Alda pasrah. Kini, dia udah mengalahkan egonya sendiri demi keluarga.
"Nah, gitu dong gini kan enak. Gue enggak perlu koar-koar ngomong sama lo,"
"Lo kan enggak bisa dengar, lo kan tuli," Gio memicingkan matanya ke arah Alda, membuat gadis ini beralih pembicaraan. "Enggak. Maksud gue bukan itu," Alda tertawa kecil.
"Oke, terserah lo mau ngomong apa. Jadi, sebutin tugas dari gue tadi,"
"Pertama, gue harus perbaiki persahabatan lo dengan Kak Rama. kedua, gue harus jadi asisten lo selama sebulan dan nurutin semua kemauan lo,"
"Bagus, kalau gini hati gue kan adem," beo Gio sambil mengacak-acak rambut Alda, dan langsung melangkahkan kakinya pergi.
Alda terkejut bukan main saat ini, jantungnya tiba-tiba berpacu sangat kencang saat Gio mengacak-acak rambutnya. Persis seperti yang Rama lakukan, tetapi kali ini berbeda. Alda seperti mendapat sengatan yang luar biasa di sekujur tubuhnya, hingga masih berdiri kaku di sana.
SUKSES!