"Gue juga minta maaf sama lo. Karena gue lo jadi benci sama gue,"
"Enggak. Enggak ada yang perlu dijelasin lagi, gue ngerti kok," sambung Rama dan langsung melepas uluran tangannya. "Karena kita udah saling memaafkan, lo tetap jadi sahabat gue kan?"
Gio langsung menimpuk kepala Rama, membuat cowok ini meringis kesakitan dan Gio memeluk sahabatnya ini.
"Ya-iyalah, lo kira gue sanggup enggak bicara sehari sama lo. Rasanya kayak gue nahan kencing berminggu-minggu," terka Gio tersenyum senang sambil memeluk Rama. Keduanya tersenyum, termasuk Alda ikut bahagia sudah menyatukan mereka kembali.
"Lo kira bisa nahan kencing berminggu-minggu?" tukas Rama.
"Ya, kagaklah. Makanya gue enggak bisa nahan kalau lama-lama marahan sama lo. Tapi, gue senang kita udah kayak dulu lagi. Makasih ya, Alda," ucap Gio. Alda mengangguk cepat sambil tersenyum.
Di perkiran, hanya tinggal Alda dan Gio yang masih terdiam menatap Rama yang duluan pulang. Kini, Gio beralih menatap Alda yang tersenyum seketika sebuah proyektor masa lalu kembali menampilkan senyum seorang gadis yang terus melekat di kepalanya. Gio menjadi tak berekspresi, dan hanya tegang yang dia rasakan. Hingga Alda membuyarkan lamunannya.
"Lo kenapa natap Alda kayak gitu? Alda yang salah ya, di wajah gue?" tanya Alda membuat Gio langsung menimpuk kepala gadis ini. Entah sejak kapan, Gio mempunyai kebiasaan memukul orang.
"Ih, kenapa malah nimpuk kepala gue sih,"
"Lo kalau ngomong jangan plin-plan, sekali pake nama sekali pake kata gue segala. Lo itu cewek norak bukan cewek polos, cocoknya ya ngomong kasar ga sopan gitu," ujar Gio berjalan ke arah sepeda milik Alda. Alda hanya bisa mendengus. "Buruan!"
"Terus, siapa yang ngayuh sepeda?" tanya Alda sambil memegangi sepedanya.
"Ya lo, lah,"
"Lah, kenapa Alda? Kan lo cowok, jadi harus bonceng cewek dong,"
"Enak aja, gue kagak bisa naik sepeda!"
"Cih, bohong banget jadi orang,"
"Buruan! Udah siang nih,"
Alda pun dengan cepat mengayuh sepedanya sambil mendengus karena harus membonceng Gio. Gio berpegangan di sweater milik Alda, supaya tidak jatuh tersungkur. Sepeda itu berjalan sangat pelan, karena muatan yang berlebihan.
"Lo bisa ngayuh sepeda enggak, sih!" timpal Gio kesal, karena merasakan kedua kakinya pegal duduk di jok belakang.
"Lo berat tau enggak!" jerit Alda dari depan, tapi Gio sama sekali tidak bisa mendengar apa yang Alda omongin.
"Buruan! Lelet banget jadi orang,"
Lagi-lagi, Alda hanya bisa mendengus kesal terhadap sikap Gio yang tidak pernah baik kepada dirinya. Tetapi, aneh kenapa mereka jadi semakin dekat ya. Dulu aja kayak tikus sama kucing, sekarang walau masih bertengkar mereka terus bersama. Terlebih lagi, Gio tidak bisa melepas Alda dari hadapannya.
Alda berusaha mengayuh sepedanya dengan cepat. Mereka sudah memasuki kompleks rumah masing-masing. Saat Alda mengeratkan pegangan, tanpa sadar kakinya malah menggowes ke arah yang salah, sehingga sepeda Alda terjatuh. Dengan cepat, tangan kekar Gio menarik tubuh kecil Alda dari sepeda. Membuat mereka berdua terjatuh ke aspal, dengan keadaan Gio yang menahan kepala Alda supaya tidak terbentur aspal. Alda merasakan pelukan dari pinggangnya, ternyata itu tangan Gio yang mencoba melindungi Alda supaya tidak merasakan sakit jatuh di aspal.
Alda pun bangkit dan menatap Gio yang meringis ke sakitan. Alda syok saat melihat lengan kiri Gio terluka, dengan segera Alda membantu Gio bangun.
"Maafin, Alda ya. Tadi, tiba-tiba kaki Alda malah salah gowes, jadianya kita malah jatuh. Ayo, sini Alda bantu," ucap Alda menarik lengan Gio ke bahunya.
"Aw, perih banget," keluh Gio menatap tangan kirinya yang terluka. Padahal Gio memakai kemeja, coba aja kerah lengannya tidak di angkat.
"Kita jalan kaki aja, ya. Lagipun enggak jauh lagi ke arah rumah lo,"
"Terus, gimana sama sepeda lo?"
"Nanti Alda balik, ambil lagi,"
Gio hanya mengangguk merasakan sekujut tubuhnya perih. Setelah tiba di depan rumah Gio, Alda mendudukkan Gio di kursi. Tepat saat itu, Filicia keluar dan terkejut menatap putranya.
"Ya ampun, Gio. Kamu kenapa, Nak?"
"Gio enggak apa-apa kok, Ma. Cuma tadi jatuh doang," jawab Gio menenangkan supaya Filica tidak panik.
"Beneran enggak apa-apa?"
"Iya, Ma,"
"Tante, maafin Alda ya. Karena Alda, Gio jadi terluka gini," ucap Alda merendah, membuat Filicia beralih menatap.
"Lo ngapain salahin diri sendiri coba, ini bukan salah lo," tegur Gio.
"Tapi, tetap aja kan karena Alda,"
"Udah. Kenapa kalian malah ribut. Alda, ayo masuk dulu, Nak,"
"Enggak usah, Tante. Alda buru-buru mau ngambil sepeda, takut nanti dicuri lagi,"
Alda berbalik arah tetapi tertahan saat mendengar panggilan Gio.
"Kalau sepeda lo rusak, kasih tau gue ya," ujar Gio lembut, membuat Alda mengernyitkan dahinya.
"Kenapa?"
"Gue harus ganti, karena ini juga salah gue,"
"Enggak usah,"
"Gue enggak suka penolakan, Alda!"
Alda pun mengangguk cepat dan berlari keluar dari perkarangan rumah Gio. Cowok ini tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalanya.
"Apa dia gadis yang Gio bilang kemarin, terus cari ribut sama Gio?" tanya Filicia yang melihat perubahan wajah Gio.
"Iya, Ma,"
"Lah, kenapa kalian udah baikan?"
"Baikan sih, udah Ma. Tapi, tetap aja enggak bisa akur,"
"Hati-hati loh, bisa jadi nanti kalian saling menaruh hati,"
"Enggak bakal, Ma,"
"Oh ya, Alda anaknya Tante Morie kan?" tanya Filicia yang masih beriri di teras menatap Gio. Gio hanya mengangguk dan langsung masuk ke dalam.
***
"Assalamualaikum. Tante Filicia!" teriak Alda mengucap salam dan mengetuk pintu rumah Gio.
Alda sudah terlihat rapi dengan dress polos putih sepaha itu, dengan tote bag hitam terkait di lengannya.
Setelah pulang dari rumah Gio, Alda pun memberitahukan kejadian tadi kepada Mamanya. Kini, Alda sedang menenteng sebuah kotak kecil yang isisnya cup cake kesukaan keluarga rumah ini. Alda berkali-kali mengetuk pintu, tanpa sadar bel rumah ini bertengger cantik di sana.
"Assalamualaikum. Ada orang engggak! Tante Filicia! Kak Gio! Om Franz!"
Pintu terbuka dan keluarlah asisten rumah tangga. Alda tersenyum ke arah pembantu tersebut dengan sedikit membungkuk.
"Non, kenapa enggak tekan bel aja supaya kedengaran cepat," ujar Bibi tersebut, membuat Alda menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Iya-yah. Kenapa Alda enggak kepikiran, heheh. Maaf, Bi,"
Hal kecil yang membuat Alda jadi malu sendiri.
"Iya enggak apa-apa. Kalau boleh tau mau nyari siapa?"
"Hmm ... Gio ada enggak, Bi?"
"Ada, Non. Mari masuk dulu,"
Alda pun memasuki rumah mewah tersebut, tanpa sadar mulutnya telah menganga lebar. Melirik ke sana kemari, dengan interior yang sangat indah terlihat. Alda duduk di ruang tamu dan menatap pigura besar yang terpajang di tengah-tengah ruangan tersebut. Di dalam piguran tersebut, foto keluarga Alfaro tampak sangat berbahagia. Alda tersenyum menatap pigura tersebut, membayangkan dirinya bisa berkumpul bersama seperti dulu.
Alda melihat Filicia dengan dress merah terlihat sangat megah dan Franz memakai jas hitam tampak gagah perkasa. Manik mata Alda kini beralih menatap Gio yang sama sekali tidak menampakkan ekspersi bahagia, hanya kebiasaan buruknya. Yaitu, berfoto dengan wajah datar. Alda tertawa terkekeh melihat wajah Gio.
"Dasar oplas! Senyum kek, jangan kayak manekin," ejek Alda.
Kini, Alda beralih menatap seorang cowok yang tampak seumuran dengan Alda. Dia berdiri di samping Filicia, menampakkan wajahnya yang sangat tampan sambil tersenyum. Alda tidak tau cowok itu siapa, yang nyatanya dia Ersya adik tiri Gio.
"Apa dia adik Gio? Aneh deh, cowok ini senyum kenapa malah Gio datar gitu ya. Kayak kutub, Mama sama Papanya aja senyum. Cuma Gio yang kelihatan aneh," gumam Alda sendiri di situ, tanpa sadar Gio telah berdiri diam di balakang Alda. Tanpa tau apa yang sedang gadis ini bicarakan.
"Lo lagi ngatain siapa? Sampe katawa kayak begitu,"
Saat suara Gio terdengar, Alda memutar kepalanya dan langsung diam. Alda melihat Gio memakai kaos putih dan celana panjang berwarna hitam, dilengkapi jaket coklat juga. Alda sedikit menggeser tubuhnya saat Gio ikut duduk di sampingnya. Bibi tadi yang membukakan pintu Alda, membawa dua minuman segar yang sudah di letakkan di atas meja.
"Alda ketawain lo, kenapa lo enggak senyum di foto itu? Papa sama Mama lo aja senyum, terus cowok itu juga. Cuma lo datar," tunjuk Alda ke arah pigura tersebut.
"Dasar wadin," ucap Alda melanjutkan ucapannya sambil sumringah menatap Gio yang juga dengan tanpa datar.
"Apa hubungannya datar sama wadin,"
"Emang lo tau wadin?"
"Taulah,"
"Apa?"
"Wajah dingin,"
"Bagus, kalau gitu lo pahami aja sendiri," tukas Alda tersenyum simpul. Lalu Alda mengambil cup cake yang dia bawa tadi. "Nih, Mama aku buatin cup cake kesukaan keluarga Alfaro,"
"Lo ternyata udah tau banyak tentang keluar gue," ujar Gio mengambil cup cake kopi kesukaannya.
"Enggak, kok. Cuma dengar Mama ngomong aja. Eh, itu cowok adik lo?" tanya Alda menunjuk kembali ke arah pigura tersebut.
"Iya," jawab Gio singkat.
"Tante Filicia sama Om Franz, kemana?"
"Lagi keluar,"
Tanpa sadar, mereka sudah sedekat ini. Alda tertawa terbahak-bahak saat melihat tingkah Gio yang membuat dirinya tidak bisa menahan perutnya yang sakit. Cup Cake yang Gio makan tiba-tiba menyentuh hidungnya, membuat Alda menertawakan Gio.
Gio tanpa sigap, menempelkan Cup cake krim itu ke wajah Alda juga, membuat Gadis ini menimpuk kepala Gio. Selanjutnya apa yang terjadi? Mereka sedang bertengkar satu sama lain.
Alda menghentikan aksinya dan langsung diam karena kelelahan, begitupun dengan Gio. Kini, Alda menatap Gio lekat-lekat.
"Wadin, gue boleh nanyak enggak?" tanya Alda menggigit bibirnya.
"Enggak! Kalau lo manggil gue kayak begitu,"
"Idih, emang kenyataannya lo wadin kan,"
"Terserah,"
"Jadi gimana? Boleh gue nanyak?" Gio hanya mengangguk pasrah.
"Kok lo bisa nyasar ke SMA Katolik sih?" tanya Alda membuat Gio memicingkan mata sambil mengunyah cup cakenya.
"Lo tau dari mana? Hooh, jadi lo kepion gue. Gini amat lo ya, suka sama gua malah pura-pura ngelak lagi,"
"Alda dengar dari junior yang lain, kemaren pas mau pulang, enggak sengaja nguping deh, heheh,"
"Sama aja,"
"Jadi?" tanya Alda
"Apanya?"
"Pertanyaan Alda tadi!"
"Lo emang mau tau apa!"
"Jawabannya, lah!"
"Kagak perlu cewek norak kayak lo tau,"
"Serius, oplas!
"Diem norak!"
Alda pun menjitak kepala Gio berkali-kali. Alhasih, di antara keduanya terjadi lagi pertengkaran fisik.
SUKSES!