"Pa, Gio hari ini mau ke tempat biasa ya," ucap Gio menatap Papanya.
"Ke studio musik?"
"Iya, Pa,"
"Ya udah, jangan lama-lama menghabiskan waktu di sana. Libur panjang ini jangan lupa untuk belajar juga," jelas Franz, Gio pun mengangguk cepat.
Franz sekarang akan menuruti semua kemauan Gio. Untuk menebus dosanya di masa lalu.
Walaupun Gio tersiksa akan semuanya, dia sudah lebih terbiasa dengan keadaannya sekarang. Sejak Gio mengetahui dia tidak dapat mendengar apapun lagi, sejak saat itu dia menjadi terpuruk dan tersiksa. Terus mengurung diri di kamar. Tetapi, sejak Filicia mengajarkan cara berkomunikasi antar orang-orang, sejak itulah Gio menjadi lebih baik seperti sekarang.
Filicia mengajarkan Gio jika ingin berbicara dengan orang-orang dengan cara saling tatap-menatap. Jika ada orang yang berbicara dengannya, Gio harus menatap mulut lawan bicaranya dan memahami apa yang lawan bicara katakan. Filicia tak henti-hentinya mengajarkan Gio supaya terbiasa. Mulai dari orang terdekat, yaitu Papanya. Saat mereka menjalani tes ini, Franz akan mencoba berbicara di hadapan Gio. Dan Gio harus dapat memahami apa yang Franz katakan.
Sejak saat itu, Gio sudah bisa menjalani tes yang diberikan oleh Mamanya. Termasuk mencoba berbicara dengan tetangganya. Selama melakukan tes tersebut, Gio mulai merasakan hidup kembali. Bisa berbicara dengan orang-orang lewat tatapan di mulut mereka. Termasuk Ersya, dia kembali datang dan menjumpai Gio. Mereka berdua sudah menjadi adik-kakak yang baik sekarang. Belajar bersama saat Gio ingin berbicara dengan Ersya. Tetapi, Ersya lebih memilih tinggal di rumah Pamannya.
Gio melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menuju studio musik miliknya jika dia sedang bosan. Yang berada tidak jauh dari arah kompleks rumahnya. Walau cowok ini tidak bisa mendengar alunan musik setiap dia bermain gitar, tetapi Gio bisa merasakan dengan hatinya.
Saat sedang asyik menyetir, Gio terus fokus menatap lurus ke depan. Tetapi, saat Gio menghentikan mobilnya secara tiba-tiba, membuat mobil yang berada di belakangnya menabrak mobil Gio. Cowok ini terjedut ke depan, dan hanya memasang wajah datar sembari menatap ke arah belakang dari spion dalam.
Dari arah belakang, seorang cowok memukul setirnya karena kesal. Kenapa mobil Gio berhenti secara tiba-tiba, membuat cowok yang menabrak mobil Gio merasa takut harus mengganti mobilnya.
Gio keluar dan berjalan menuju ke arah belakangnya, mengetuk kaca mobil warna hitam yang menabrak mobilnya.
"Keluar, lo!" ucap Gio mengedorkan kaca mobil dengan keras.
Pengemudi tersebut keluar dan menatap Gio. Tak bisa dipungkiri, cowok itu membulatkan matanya saat menatap Gio.
"Gio? Gio, ini lo. Lo masih hidup?" ucap cowok itu memegang lengan Gio. Gio hanya memasang wajah datar menatap cowok di depannya. "Lo ingat gue kan, Gavino. Gue Gavino,"
"Lo sekarang beda banget, anjir. Penampilan lo keren banget, apalagi rambut lo,"
Gavino tersenyum senang bisa bertemu dengan Gio yang ternyata baik-baik aja sekarang. Gavino langsung memeluk Gio, tetapi Gio menolak tubuh Gavino dan berjalan pergi gitu aja. Kebiasaan si wadin.
"Lo kenapa sih, enggak pernah berubah aja. Masih tetap aja cuek kayak begitu. Dasar wadin!" ucap Gavino sedikit berteriak ke arah Gio sambil menghentikan langkah Gio.
"Wadin apaan, anjir!"
"Wajah dingin,
"Bodo!"
Gio masuk ke mobil dan melaju cepat. Gavino tidak mau ketinggalan, mengikuti mobil Gio yang baru saja pergi. Begitulah sifat umum zodiak Cancer, orangnya sangat sensitif, terkadang lembut dan penuh perhatian. Mereka sangat menyukai kebersihan, kerapian, dan hal-hal unik dan langka. Umumnya tipe zodiak Cancer orang yang penyanyang dan penyendiri.
Mereka tiba di sebuah studio musik milik Gio. Yang bertuliskan di sana 'Studio Gio' tempat nongkrong dirinya sendiri. Dan terkadang, Gio juga mengajak teman-temannya untuk bergabung, sembari bermain dan mengerjakan tugas kuliah.
Gio masuk melangkahkan masuk membuka studio tersebut. Gavino mengikuti Gio yang terlihat sibuk membereskan barang-barang dan alat musik yang berserakan di sana.
"Gio, gue belum percaya kalau lo masih hidup," ucap Gavino dari arah belakang, membuat Gio sama sekali tak mendengarnya. Gavino menatap punggung Gio, yang sepertinya sama sekali tidak menggubris omongan dirinya.
"Gio! Lo dengar enggak gue ngomong. Woi!" teriak Gavino dari belakang.
Percuma, Gio tidak dapat mendengar suara-suara yang ada di sekitarnya. Ketulian yang membuat Gio tidak dapat mendengar lagi untuk selama-lamanya.
"Woi! Lo budek atau apa sih. Gue ngomong malah lo kacangin," tutur Gavino menimpuk kepala Gio. Cowok ini meringis kesakitan sembari menatap Gavino yang telah berdiri di depannya.
"Lo boleh masang wajah dingin ke semua orang. Tapi, jangan cuekin gue kayak gini juga dong. Lo enggak tau seberapa cemasnya gue saat lihat lo kecelakaan. Lo malah gini sama gue," ungkap Gavino kesal. Gio menatap mulut Gavino yang sedang berkomat-kamit di arahnya. "Lo bener-bener enggak berubah sama sekali. Makin tampan aja lo," sambung Gavino mengacak-acak rambut Gio. Membuat cowok ini memukul tangannya.
"Enggak usah ngomongin hal bodoh. Gue udah telpon lo kemaren kan, dan gue baik-baik aja sekarang. Gue sama sekali enggak dengar lo ngomong apa tadi," jawab Gio menatap Gavino yang berdiri di depannya dengan kedua tangan melipat di dada.
"Lah, kenapa lo enggak bisa dengar apa yang gue omongin?"
Gio merogoh saku celananya, menjulurkan KTP-nya ke hadapan Gavino. Gavino mengambil dan mengernyitkan dahinya. Gavino membaca identitas milik Gio, saat matanya beralih ke barisan ke dua membuat kening Gavino mengerut.
"Apa! Lo tuli?" teriak Gavino syok.
"Lo jerit pun gue enggak bisa dengar lo sama sekali,"
"Terus, gimana lo bisa ngomong sama gue?"
"Gue bisa ngomong sama lo sambil ngelihat mulut lo. Intinya, kalau mau bicara sama gue lo harus berhadapan langsung di hadapan gue. Jangan ngebelakangin atau gimana. Kayak begini aja, kita saling berhadapan," jelas Gio mengambil kembali KTP-nya.
"Kenapa lo bisa jadi penyandang disabilitas?"
"Karena kecelakaan itu, Papa gue bilang keadaan gue sewaktu di Singapura kritis. Setelah tersadar, ada satu kesalahan yang terjadi saat kepala gue terbentur trotoar aspal. Kepala terbentur bersamaan telinga gue ikut terbentur juga," ungkap Gio dengan kepala menunduk dan menatap gitar kesayangannya.
"Anjir, gue enggak percaya apa yang terjadi. Sekarang lo punya kekurangan, lo penyandang disabilitas. Tapi, kenapa lo santai-santai aja karena keadaan lo. Apa enggak bisa disembuhin?"
"Tuli permanen. Gue enggak bakal bisa dengar lagi selama hidup gue. Sekarang gue udah terbiasa karena keadaan ini. Sudah tiga tahun berlalu" ucap Gio mencoba tersenyum tipis.
"Tapi, kan lo bisa gunain alat bantu,"
"Papa gue juga nyuruh gitu, tapi gue enggak mau,"
"Lah, kenapa?"
"Lebih baik begini menjadi normal, tanpa alat bantu gue tetap bisa tau lo ngomong apa,"
"Terserah dah,"
"Gimana sama lo sendiri? Jadi pindah kuliah ke ITB?" tanya Gio.
"Iya, setelah liburan semester ini habis gue bakal ikut gabung sama lo,"
"Ngomong aja kalau lo enggak bisa jauh sama gue," cela Gio memukul pundak Gavino. "Terus, Rava jadi pindah ke Amerika?"
"Iya, dia ke sana atas kemauannya sendiri,"
"Baguslah,"
***
Setelah tiga jam menghabiskan waktunya di studio musik, Gio sampai ketiduran di sofa. Dengan kepala bersender di dekat kepala sofa. Gio terbangun, dan menatap sekelilingnya sepi. Tidak ada lagi Gavino. Sembari mengucek mata, Gio beralih mengambil ponsel di dekatnya.
"Gue pulang duluan, lo malah keenakan tidur. Padahal gue mau habisin waktu sama lo, sudah tiga tahun gue enggak ngeliat lo. Tapi, ya udahlah. Masih ada besok,"
Pesan dari Gavino membuat Gio tertawa kecil. Cowok ini langsung bergerak keluar menuju kembali ke tempat kediamannya. Pukul pun sudah menunjukkan sore hari.
Saat mengendarai mobil sportnya, Gio melihat di pinggir jalan kompleks rumahnya ada yang jualan kopi. Gio melajukan mobilnya mendekat ke pinggiran jalan, tetapi mobilnya terhalang karena ada sepeda yang berdiri tepat di depan orang yang jualan kopi tersebut.
Gio merasa kesal, kenapa sepeda itu harus terparkir di situ. Banyak kendaraan lain yang terparkir, tetapi tidak di depan penjual tersebut. Bikin terhalang jalan aja.
TIIIIN!
Gio mengklakson keras, membuat orang yang sedang berkerumun membeli kopi tersebut beralih menatap ke arah mobil Gio. Tak ada yang menggubris, Gio akhirnya memajukan mobilnya. Alhasih, sepeda di depannya di tabrak oleh Gio. Sepeda itu terjatuh ke pinggiran, karena mobil Gio.
Seorang gadis terlihat terkejut karena sepedanya di tabrak begitu aja. Dengan cepat, gadis yang memakai pakaian kaos putih dengan rambut yang dikuncir, mendekat ke arah Gio. Menggedor-gedor kaca mobil Gio. Gadis ini terlihat marah dan akan meledakkan emosinya sekarang.
"Woi! Buka. Apa maksud lo nabrak sepeda gue, hah!" jerit gadis ini, membuat semua orang memandang ke arah mereka.
Dengan sigap, Gio membuka pintu mobilnya. Cowok ini keluar sembari menyibakkan rambutnya, membuat gadis yang berdiri di depannya menganga seketika.
"Ha! Ganteng banget, anjir. Apa ini mimpi, kenapa tokoh novel yang aku baca berada di sini. Rambutnya ... ya ampun!" batin gadis pemilik sepeda yang ditabrak oleh Gio.
Gio keluar dengan menyibakkan rambutnya dan memasang tampang seperti biasa. Kebiasaannya yang tidak akan bisa dirubah. Wajah dingin selalu terpampang di wajahnya. Kali ini, Gio menatap gadis yang ada di depannya yang masih terpaku, dengan kedua tangan melipat di dada. Gio masih diam melihat gadis ini, sampai akhirnya Gio menjitak kepalanya. Gadis ini pun tersadar, dan menatap Gio kesal.
"Maksud lo apa, Hah! Kenapa lo nabrak sepeda gue!"
"Salah lo sendiri ngapain parkir di situ. Mobil gue kehalangkan,"
"Eh, duluan gue ya sampai di sini. Kenapa lo serobot aja, lo pikir ini jalan bapak lo, ha!" timpal gadis ini sambil mendorong tubuh Gio.
"Terserah lo mau ngomong apa, gue enggak peduli. Minggir!" sambung Gio masih berucap lembut, dia menyuruh gadis ini minggir di depannya.
"Enggak bisa gitu dong! Lo harus tanggung jawab!"
Kali ini, gadis ini merentangkan tangannnya ke samping, menghalangkan supaya Gio tidak berjalan dulu.
"Tanggung jawab apaan, sih. Emang gue punya salah sama lo?"
"Lo udah ngerusakin sepeda gue dan lo harus ganti rugi!"
"Cih! Ogah banget gue harus ganti rugi. Lo pikir ini kesalahan gue? Lo sendiri parkir dan ngehalang jalan orang!"
"Kan bisa lo parkir di tempat lain, lo enggak bisa lihat, noh! Orang lain juga parkir di sana,
"Terus, lo ngapain parkir di sini. Jadi, suka-suka gue dong. Ini jalan umum juga,"
"Lah, kenapa lo yang malah sewot. Duluan gue yang datang ke sini dan duluan gue juga yang parkir di sini. Ini jalan umum, gue juga punya hak dong buat parkir dimana aja. Sekarang lo harus tanggung jawab karena udah ngerusakan sepeda gue, lo pikir gue belinya pake daun apa? Mahal tau enggak, gue enggak punya uang. Pokoknya lo harus tanggung jawab, kalau enggak gue laporin lo ke polisi,"
"Udah? Udah ngomongnya?" cetus Gio.
Gio terlihat kesal menatap gadis yang ada di depannya, apalagi penampilannya. Rambut yang di kuncir kuda serta kaos putih yang dia kenakan. Gio hendak masuk ke mobil, tetapi gadis ini menarik lengannya.
"Eh, tunggu. Lo mau kemana?"
"Muak gue lama-lama di sini. Bisa lepasin tangannya? Bisa-bisa gue ketularan tukang rusuh kayak lo,"
"Dasar cowok aneh! Dasar pembawa sial!" jarit gadis ini. Gadis ini tidak bisa menahan emosi, karena sepedanya rusak. Gio diam dan berdiri kembali menatap gadis ini.
"Lo ngomong apa tadi? Gue pembawa sial? Gue kasih tau ya sama lo, bertahun-tahun gue berteman sama orang. Gue belum pernah ngelihat makhluk norak kayak lo," ucap Gio menunjuk ke arah gadis ini.
"Apa maksud lo gue norak?"
"Ya, lo norak tau enggak. Udah rambut di kuncir kuda, kayak anak kecil,"
"Biarin. Daripada lo sok ganteng,"
"Hooh, lebih bagus gue ketimbang makhluk norak kayak lo,"
"Bodo amat! Pokoknya lo harus bayar, mana dompet lo!" jerit gadis ini mencari dompet Gio di saku celananya. Mengacak-acak rambut Gio dan membuat Gio tidak bisa berpikir.
Gadis ini benar-benar gila, dia berani-beraninya berbuat seperti itu. Kali ini, gadis ini kesal karena tidak menemukan dompet Gio. Dengan cepat, gadis ini bergelantungan di punggung Gio. Membuat Gio merasa risih dan menarik kasar tubuh gadis ini. Gio langsung menolak tubuh gadis ini menjauh.
"Lo enggak diajarin sopan santun ya, main serobot aja. Sial gue ketemu sama lo! Jangan pernah nampakin muka norak lo di hadapan gue lagi. Sekalipun itu tidak di sengaja, gue enggak segan-segan buat hidup lo sengsara. Lo akan masuk ke daftar Cancer gue! Ingat itu!" tutur Gio menekankan kata-katanya, sembari mengambil uang seratus ribuan lima lembar dan melemparnya ke hadapan gadis ini. Gio pun pergi dengan rasa kesal. Bersumpah tidak ingin berjumpa dengan gadis berisik itu. Suaranya yang bikin telinga memekak dan penampilannya yang sangat norak. Bukan tipe cewek bagi Gio.
"Gue juga sial ketemu sama lo! Enggak bakal gue akan ketemu lo lagi, dasar cowok aneh. Kalaupun gue ketemu sama lo, gue bakal nelan lo hidup-hidup. Lihat aja nanti!" jerit gadis ini ke mobil Gio yang sudah melaju jauh.
"Arghh! Bisa-bisanya di tahun baru akan berakhir gue malah ketemu gadis norak kayak begitu. Awas aja, kalau gue ngelihat lo lagi. Lo akan gue jadiin santapan hewan peliharaan gue!" pungkas Gio memukul setir mobilnya.
SUKSES!