Chereads / Gio: Disabilitas Boyfriend / Chapter 4 - CHAPTER 4

Chapter 4 - CHAPTER 4

"Dengar. Ketika aku bilang 'aku mencintaimu', aku menyampaikannya dengan sungguh-sungguh. Aku tak suka mengatakan hal yang hanya main-main."

_Nathaniel Gio Alfaro

***

Gio kecil menatap takjub tongkat berbentuk bintang yang anak perempuan itu pegang. Anak perempuan itu tampak bahagia bermain bersama Ayahnya. Dengan menganyun-ayunkan tongkat perinya dia mengucapkan sesuatu, yang terdengar jelas di telinga Gio.

"Ayah, Ayah percaya enggak kalau peri itu tinggalnya di bintang? Kalau Auberta, percaya. Soalnya, bintangkan terang. Begitupun dengan peri, tubuh mereka berkelap-kelip seperti bintang. Auberta pengen pergi ke bintang, Ayah. Apa Ayah mau nganterin Auberta ke sana?" seru anak perempuan yang bernama Auberta.

Laki-laki dewasa itu tertawa kecil mendengar penuturan putrinya dan mendekat.

"Auberta enggak tau kalau bintang itu berada sangat jauh dari kita?"

"Tapi, kalau malam hari Auberta bisa lihat dengan jelas di langit. Bintangnya dekat banget di mata Auberta,"

"Benar, karena bintang itu suka sama Auberta,"

"Hehe ... suatu hari Auberta mau bertemu dengan pangeran yang tinggal di bintang, ah," celutuk Auberta kecil sambil menatap tongkat peri yang dia pegang.

Gio berdiri diam di dekat pohon cemara, melihat aktivitas anak perempuan itu bersama Ayahnya.

***

Alda Bintang Rayna, nama seorang gadis berambut panjang yang selalu dikuncir kuda. Tubuhnya yang kecil selalu membuat Alda gampang untuk mengayuh sepeda. Gadis yang memiliki kepribadian hiperaktif, ceria, dan selalu membuat orang-orang disekitanya menjadi bahagia. Alda selalu berbuat baik di setiap kesempatan, dengan sikap ramahnya seperti itu tak jarang orang selalu bertegur sapa dengannya. Hanya satu kebiasaannya, Alda akan selalu berteriak kencang saat bertemu dengan orang-orang yang dia kenal.

Kali ini, gadis itu sedang berjalan di kompleks rumahnya sambil menolak sepeda. Alda memasang wajah kesal karena sepedanya benar-benar rusak ulah cowok tadi.

"Bener-bener ya, gua harus jalan kaki gara-gara itu cowok. Sumpah! Kalau gue ketemu lagi sama dia gue picik-picik lo, terus gue lempar deh ke kecoa. Biar lo dimakan hidup-hidup," gerutu Alda sembari menghentakkan kedua kakinya.

Alda terus berjalan pelan dengan menenteng tote bagnya. Saat sudah berjalan jauh, langkahnya terhenti. Karena melihat seorang cowok yang begitu dia kenal.

"Kak Rama! Kak Rama, ini aku Alda. Kak Rama!" jerit Alda heboh melambaikan tangannya kepada seorang cowok yang dia panggil Rama. Suaranya yang melengkik, membuat cowok itu menghentikan telponannya. Cowok itu sedang menelpon di pinggir jalan, Alda pun mendekat ke arahnya.

Rama Dhananjaya, teman Alda sewaktu kecil. Mereka selalu satu sekolah, mulai dari TK hingga Kuliah. Hanya beda jurusan doang. Mereka sama-sama tinggal di kompleks mawar dan mereka juga tetanggaaan. Sebenarnya, Alda menyimpan rasa terhadap Rama. Tetapi, Alda tak berani mengatakan yang sejujurnya karena Rama menganggap Alda sebagai adik angkatnya.

"Ah, loh Alda? Dari mana?" tanya Rama setelah habis menelpon seseorang.

"Tadi Alda ke tempat biasa," jawab Alda dengan wajah ceria. Gadis yang aktif dan selalu ceria di setiap saat.

"Masih nongkrong di kafe sambil baca novel? Terus kalau ada adegan lucu lo ketawa keras-keras sambil jerit?" tebak Rama sembari mengacak-acak rambut Alda. Alda tertawa kecil dan selalu pasrah saat Rama memperlakukannya seperti tadi. Baginya, itu merupakan perlakuan yang sangat romantis.

"Iya. Kak Rama sendiri ngapain di sini sendirian?"

"Tadi ponsel gue bunyi, jadi gue berhenti dulu," jawab Rama. Alda mengangguk paham. "Ya udah, kalau gitu gua cabut duluan ya,"

"Iya, Kak. Hati-hati," ucap Alda melambaikan tangannya melihat Rama sudah melaju jauh dengan motor sportnya.

***

Gio menatap dirinya di cermin, dengan tampang datar. Di sudah berdiri tiga puluh menit di depan cermin dan hanya diam menatap dirinya. Entah apa yang merasukinya kini. Tetapi, kali ini dia beralih menatap pigura seorang gadis yang dia pajang tepat di tengah-tengah dinding meja belajarnya. Pigura itu dibingkai sangat indah oleh Gio sendiri dan berukuran besar, akan tampak sangat indah jika di pandangi. Seorang gadis berkerudung yang ada di dalam pigura tersebut, gadis itu tersenyum sangat indah.

Tetapi, sama sekali tak membuat Gio bisa tersenyum lagi. Tak ada kebahagiaan, hanya rasa kehilangan yang sedang Gio rasakan. Setengah dari jiwanya hilang sejak Gio belum bisa menghubungi gadis itu.

Gio masih setia berdiri di sana, menatap pigura tersebut. Tanpa sadar, bulir bening menitik di ujung matanya. Gio segera menghapusnya saat Papanya masuk ke dalam kamar.

"Gio," panggil Franz, tetapi langkah Franz terhenti saat  melihat Gio menghapus air matanya dan beralih menatap pigura gadis itu.

"Kamu belum tau dia berada dimana?" tanya Franz mendekat ke arah Gio.

"Belum, Pa. Bahkan, akun media sosialnya sama sekali enggak aktif. Gio udah berusaha cari dan udah coba nelpon dia, tapi nomornya juga ga aktif sama sekali. Gio enggak tau apa yang udah terjadi, sehingga dia pergi gitu aja," ungkap Gio sembari duduk di kasur.

"Mungkin, ini salah Papa. Enggak seharusnya dulu Papa mengabarkan berita bohong kepada teman-teman kamu, dan mungkin mereka menganggap itu serius. Maafin Papa, Gio. Papa ngelakuin hal bodoh lagi,"

"Enggak. Papa enggak salah kok, Papa ngelakuin ini karena demi kebaikan Gio kan? Papa takut kehilangan Gio, Papa enggak mau Gio terluka lagi. Walau pada akhirnya, Gio terluka juga. Mulai sekarang, Gio akan lebih nurut dan peduli sama Papa," tutur Gio menatap Franz. Franz mendekat dan menepuk pundak putra kandungnya, tersenyum bisa melihat Gio sudah lebih dewasa.

"Katakan jika kamu butuh sesuatu, Papa akan memberikan semuanya untuk putra Papa satu-satunya. Papa akan ngelakuin apa aja supaya Gio bahagia, walaupun harus bertaruh nyawa,"

"Enggak, Pa. Gio cuma minta satu, jangan biarkan Gio berpikir buruk terhadap Papa. Gio butuh kasih sayang Papa seperti dulu lagi,"

"Papa akan melakukan yang terbaik. Mulai sekarang, hanya Gio putra Papa satu-satunya,"

"Papa lupa kalau Ersya adik Gio? Jangan melebihkan kasih sayang cuma ke Gio doang, Ersya juga butuh,"

"Papa akan berbuat adil kepada kalian berdua. Setelah Ersya menyelesaikan sekolahnya di tempat Pamanmu, Papa akan sangat bahagia kalau keluarga Papa kembali berkumpul," jelas Franz dan langsung memeluk Gio. Kali ini, Gio tersenyum senang bisa kembali mendapatkan pelukan hangat dari seorang Ayah.

Tanpa sadar mereka, Filicia ikut tersenyum melihat anak dan ayahnya kembali rukun seperti dulu. Tak ada pertengkaran yang akan Filicia dengar lagi.

"Pa," panggil Gio, Franz pun melepas pelukannya. "Papa enggak lupa sama Ibu kan?"

Gio akan memanggil panggilan 'Ibu' kepada Mama kandungnya. Dan sebutan 'Mama' kepada Filicia.

Franz terdiam sesaat, dan menggenggam tangan Gio. "Papa enggak akan lupa atas kebaikan Ibu kamu terhadap Papa. Walau dulu, Papa selalu berbohong kepada kalian. Sampai berani berbuat hal bodoh dibelakang kalian. Maafin Papa yang dulu, Gio,"

"Papa enggak perlu minta maaf, Gio punya sifat seperti Ibu. Jadi, Gio akan selalu berbaik hati terhadap orang yang udah melakukan hal bodoh. Gio sebenarnya belum bisa melupakan semuanya, apalagi saat Ibu sakit Papa sama sekali enggak peduli. Hingga akhirnya, Ibu pergi untuk selamanya."

Keduanya diam, hanya terdengar tangis Franz yang menyesali semua perbuatannya. Berani selingkuh di belakang mereka, membuat Gio yang sudah menginjak umur 11 tahun terluka karena orang tuanya.

***