Sore hari yang mendung, Alda tidak dapat menemukan matahari yang bersinar seperti biasa. Hanya gumpalan awan hitam yang sangat pekat. Alda pun buru-buru mengayuh sepedanya karena takut hujan akan menghantam dirinya. Tetapi, baru saja kaki Alda hendak menggowes, setitik air mengenaik wajahnya. Alda pun segera mencari tempat berteduh saat hujan sudah jatuh merembas deras. Alda berlari kecil sambil menuntun sepedanya ke arah sebuah kaffe yang berada tepat di sampingnya.
"Ah, sial. Alda enggak bawa jas hujan lagi," lirih Alda.
Alda memarkirkan sepedanya dipalang yang tersedia di depan kaffe tersebut. Setelah memarkirkan sepedanya, Alda memeluk dirinya sembari berdiri di depan kaffe tersebut. Sesekali Alda melirik ke arah dalam, yang tampak ramai dengan pengunjung memadati.
"Ternyata ini kaffe ternama itu, pasti menunya mahal banget,"
Saat Alda berdiri diam di sana dan memicingkan matanya lurus melihat seorang gadis berlarian menerobos hujan dan langsung ke kaffe dimana Alda berdiri. Alda melihat gadis itu kebasahan tanpa tak asing baginya.
"Febby?" tegur Alda memastikan. Gadis yang mendapat teguran itu langsung menengadah dan ikut terkejut melihat Alda. Febby merupakan teman sekelas Alda di kampus.
"Loh, ternyata kamu Alda. Kamu kehujanan juga?" tanya Febby mendekat ke arah Alda dan berdiri di sampingnya.
"Iya, pas mau pulang tiba-tiba hujan turun,"
"Habis nganterin orderan cup cake ya?"
"Iya, seperti biasa,"
"Eh, kita masuk aja yuk ke kaffe ini," ajak Febby. Alda langsung kelimpungan dan melirik ke arah papan nama kaffe tersebut.
VIRGIN CAFFE.
"Ta-tapi ini kan, kaffe termahal di kota Bandung. Pasti menunya juga mahal banget,"
"Udah, tenang aja. Masih ada kok harga buat mahasiswa seperti kita,"
Alda pun mengangguk dan langsung mengikuti Febby. Kafe ini ternyata sangat nyaman, saking cozi-nya tempat ini sampai-sampai Alda lupa untuk menutup mulutnya yang menganga. Bangunan itu tampak sangat luas dan sangat modern. Dengan sofa-sofa kecil berwarna merah menambah interior kaffe ini terlihat mewah dan megah. Ada juga beberapa meja kayu dengan kursi minimalis yang tersebar di tengah ruangan. Seorang bartender yang mengenakan t-shirt bertuliskan nama kafe ini tampak tengah melayani seorang pelanggan.
"Mau minum apa, Alda?" tanya Febby membuyarkan tatapan menganganya ke arah penjuru kafe.
"Enggak tau, di sini mahal enggak minumannya?" jawab Alda sedikit berbisik, karena dia hanya membawa uang jajannya sejumlah lima puluh ribu dan selebihnya uang dari orderan cup cake Mamanya.
"Enggak kok. Di sini menunya khusus anak sekolah dan mahasiswa seperti kita. Kaffe ini baru grand opening loh,"
"Iya, sekalipun menu anak sekolahan tapi kan ada anak sekolah yang jetset. Kalau menunya khusus anak kalangan atas sih, mending aku enggak usah pesen deh," tutur Alda dan membuat Febby terkekeh.
"Tuh, choco latte spesial aja cuma lima ribu. Masa segitu aja kemahalan?"
Alda menautkan alisnya menatap daftar menu tersebut dan tersenyum malu ke arah Febby. Akhirnya, Alda pun mengangguk dan menunjuk ke arah tulisan choco latte spesial tersebut.
"Iya deh, aku mau choco latte sama pudding aja," ujar Alda menatap Febby.
"Loh, pesannya jangan ke aku dong. Tuh, ke Mas yang itu," tunjuk Febby ke seorang lelaki yang mengenakan kaus dengan tulisan 'VIRGIN CAFFE' besar-besar di depan dadanya.
Febby pun memanggil bartender tersebut. Setelah memberitahukan apa yang mereka pesan, dengan duduk diam Alda mengedarkan bola matanya ke seluruh penjuru ruangan ini untuk kedua kalinya.
"Alda, lo harus tau pemilik kafe ini sumpah kaya banget. Terus, dia tampan kayak pemain film. Penampilannya memesona. Apalagi dia juga sekampus sama kita loh, makanya ini kaffe diperuntukan untuk anak sekolah dan mahasiswa. Pemiliknya jadi barista di sini, dia itu Pre -"
Belum sempat Febby menyelesaikan omongannya, Alda udah memotong aja. Coba aja Febby menyelesaikan pembicaaannya, gimana ekpresi Alda kalau tau ini kafe Gio.
"Alah, yang bening-bening aja lo incer. Sekalipun dia mahasiswa sekampus, baguslah kalau mau berbaik hati menurunkan harga menunya. Jadi, gue bisa lebih sering mampir ke sini sambil baca novel," tutur Alda memotong pembicaraan Febby.
"Kamu mah, aneh banget tau g? Sekali-kali ngomong pake aku kamu, sekarang lo, gue,"
"Sesuai mood aja,"
"Moody-an ah,"
Dari arah yang bersamaan terlihat Gio, Gavino, dan Eros sedang melayani para pelanggan sambil bernyanyi ria. Gio yang memainkan gitar dan mereka berdua bernyanyi dengan santai. Membuat semua pengunjung terkagum-kagum dengan tingkah mereka.
Ya, ini kafe milik Papa Gio dan tugas Gio sekarang yang mengurusi kaffe ini sesuai keinginan kedua orang tuanya. Nama kafe ini dia sendiri yang menamain, yaitu Virgin Caffe yang dia ambil dari nama latin bintang Virgo. Gadis yang Gio sukai yang memiliki zodiak Virgo. Tidak dapat dipungkiri, Gio masih belum bisa melupakan Auberta dan masih menunggu gadis itu muncul kembali.
Setelah bernyanyi terlalu lama, Gio menghentikan aksinya karena panggilan dari bartender. Gio berjalan mendekat ke arah lelaki tersebut dan menyerahkan pesanan terbaru para pelanggan. Gio pun memulai aksinya yang sekarang menjadi Barista di kaffenya. Gio menuangkan coklat panas di sebuah pengaduk. Setelah semua bahan siap, Gio pun menuangkan ke cangkir dan melukisnya dengan sangat indah di atas coklat tersebut.
Gio menggambarkan bentuk smile di atas coklat tersebut, dan beralih ke arah cangkir selanjutnya. Yang berisikan cappucino dan Gio menggambarkan sebuah bentuk love.
Gio menengadah dan menatap ke arah para pengunjung, tetapi bola matanya melebar saat menatap Alda yang sedang duduk santai di dekat pintu masuk kaffe.
"What? Ngapain si norak itu ke sini?" tanya Gio kepada diri sendiri.
Sebuah ide jahil muncul di kepala Gio, dia tersenyum dengan memiringkan bibirnya. Setelah semua pesanan meja nomor lima selesai, Gio menaruhnya di atas nampan dan membawanya sendiri. Tetapi, terhalang oleh seorang bartender yang baru muncul di hadapannya.
"Biar gue yang antar pesanan ini ke meja itu," ucap Gio dan lelaki tersebut mengangguk.
Pesanan Alda dan Febby sampai, dengan antusias dan tak menatap kemana pun Alda langsung mengambil choco latte yang dia pesan. Saat Alda mengambil minumannya, alisnya berkerut karena sebuah ukiran yang sangat jelek tergambar di choco lattenya.
"Lho, kok ukiran di minuman aku jelek gini? Sedangkan punya Febby bagus banget," omel Alda menatap minumannya sendiri yang terlukis sebuah garis-garis tak beraturan, serta gambar senyum yang tak jelas. Alda beralih menatap ke minuman Febby yang tergambar ukiran love.
Alda pun bangkit sambil berucap kepada barista tersebut, tanpa melihat terlebih dulu siapa yang mengantar pesanan mereka.
"Mas, kok minuman aku be -" ucapan Alda terpotong saat melihat wajah Gio. Bola matanya terbelalak melihat ekspresi Gio. Cowok ini menampakkan wajah datar tanpa raut wajah sedikitpun. Alda menatap Gio dari bawah hingga kembali lagi ke wajah Gio, cowok ini memakai seragam yang sama seperti bertender yang lain. "Lo?"
"Kenapa?"
"Lo kenapa bisa di sini. Sumpah! Sekarang lo ngikutin gue sampai ke sini?" cela Alda menunjuk ke arah Gio. Febby berusaha menahan Alda supaya tidak meributkan hal ini. "Apaan sih, Febby?"
"Itu hukuman buat lo," ucap Gio sambil berdiri dengan kedua tangannya melipat di dada.
"Hooh, lo kerja di sini? Oke, gue bakal ngadu ke manajer lo supaya lo dipecat. Biar tau rasa udah ngerjain gue,"
"Silahkan, kalau berani," tantang Gio melebarkan bibirnya. Febby terus menarik lengan Alda, tetapi Alda menghempasnya cepat.
Saat Alda hendak melangkah, dari arah mereka Gavino dan Eros mendekat.
"Loh, kalian ke sini juga Alda?"
"Kak Gavino, tolong panggil manajer kafe ini dong. Si oplas udah keterlaluan ngerjain gue, lihat nih minuman yang gue pesan dia ukir dengan asal," tunjuk Alda ke arah minumannya. Gavino dan Eros jadi bertingkah aneh, Alda pun ikut sebal melihat mereka. Mereka semua tampak gugup dan salah tingkah, berbeda dengan Gio yang hanya berdiri dengan tenang.
"Eng, anu. Anu ...." ucap Eros terbata-bata, menambah emosi Alda meningkat.
"Anu apaan sih, Kak. Kalau ngomong yang jelas dong. Alda mau ketemu manajer kafe ini supaya si oplas dipecat," Gavino dan Eros malah tersenyum kecil dan menatap Gio yang berdiri diam di samping mereka.
"Apa lagi sih?" tanya Alda kesal.
"Gio manajer kafe ini, Alda," ujar Gavino menunjuk ke arah Gio. Seketika membuat Alda terkejut dan ya, dia skatmat untuk beberapa kali. Dikalahkan oleh Gio yang lebih memadai dari segalanya.
"Makdsud Kak Gavino apa?"
"Ya-iya, gue manajer kafe ini. Kenapa? Lo mau ketemu gue dan nyuruh manajernya mecat gue. Yang ada, gue mau ngusir lo dari sini," sahut Gio sambil melipat tangan di depan dada.
"Jangan ngaku-ngaku, deh!" seru Alda tak mau kalah.
"Iya, Alda. Gio pemilik kafe ini, lo masa enggak percaya sama kita sih?" sambung Eros menatap Alda yang tersipu malu.
"Iya, Alda. Gio pemilik kafe ini," lanjut Febby yang berada di sampingnya.
"Lo ko enggak ngasih tau gue. Kalau gue tau ini kafe si oplas, enggak bakal gue kemari,"
"Gue udah kasih tau lo, tapi lo memotong terus pembicaraan gue,"
"Ya ... ya, itu kare -"
"Udah? Udah ribut-ributnya?" potong Gio.
"Udahlah, Alda. Kita pulang aja," ajak Febby menarik lengan Alda. Alda pun mengambil tote bagnya dan langsung melangkahkan kakinya.
"Eh, lo mau kemana?" cegah Gio menarik lengan Alda.
"Pulang! Daripada harus ngelihat wajah oplas lo," jawab Alda dengan sengit.
"Di luar masih hujan, santai aja dulu di sini,"
"Si oplas ngelarang gue?" batin Alda tertegun.
"Jangan sok baik deh! Lo udah bikin selera makan gue hilang,"
"Ya terserah, daripada lo sakit hujan-hujanan,"
"Lebih baik kehujanan daripada harus ketemu lo lagi. Gue enggak bakal kembali lagi ke kafe ini. Titik!" seru Alda menatap Gio kesal. Untuk kesekian kalinya dia harus bertemu dan bertengkar lagi. Gio terkekeh kecil melihat Alda semarah itu dan langsung kembali ke dalam. Membuat Gavino dan Eros bingung.
"Huh, baru aja tadi kita baikan. Kenapa malah Alda jadi marah-marah ya? Padahal, si oplas datar aja gitu? Terus ... si oplas perhatian gitu," ucap Alda setiba di rumah dan langsung mengurung diri di kamar.
SUKSES!