"Memang, aku akan melakukan apa pun yang aku bisa untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Tapi, aku tak akan menyakiti orang-orang di sekitarku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan."
_Nathaniel Gio Alfaro
***
Gio duduk di lantai kamar, sambil bersender di rak buku yang terpajang di kamar kecil ini. Gio duduk melipat kedua kakinya sambil berpikir keras. Sedangkan Gavino, dia sedang bermain game di ponselnya. Gavino sedang berbaring di kasur empuk milik dirinya sendiri. Gio tidak pulang ke rumah malam ini, Gio ingin menginap bersama Gavino yang sudah sekian lama tak pernah seperti ini.
Malam hari membuat bulu kuduk Gio berdiri, sampai menyeruak ke tulang belulang. Gio menatap ke arah jendela kamar Gavino. Cowok itu tinggal di sebuah apartemen yang tidak jauh dari arah kampus.
"Gav, gimana menurut lo tentang keadaan gue?" tanya Gio secara tiba-tiba, menatap Gavino yang melirik ke arahnya langsung. Gavino bangkit dan mendekat ke arah Gio.
"Lo kenapa tiba-tiba nanyak gitu?" ucap Gavino bertanya balik sambil meletakkan ponselnya di atas meja.
"Gue mau tau aja pendapat lo,"
"Maksud lo, pendapat mengenai lo sebagai penyandang disabilitas?"
Gio mengangguk, tanpa menunjukkan ekspresi sedikitpun.
"Enggak ada yang salah kok, walau lo sekarang punya kekurangan. Semua orang mandang lo lebih dari itu, enggak ada yang mempermasalahkan lo yang tidak bisa mendengar. Gue salut sama lo, walau lo sekarang penyandang disabilitas lo tetap populer dari dulu. Saat masih SMP, dan Universitas. Semua mandang kelebihan lo yang emang pinter," ungkap Gavino menepuk pundak Gio. Cowok ini tampak diam dan menatap Gavino dalam-dalam.
"Kalau itu pendapat lo, gue harus apa? Harus bagaimana gue menghadapi semua mahasasiswi yang terus berteriak ke arah gue. Menjadikan gue sebagai idola mereka, sedangkan gue enggak pernah suka akan hal itu,"
Gavino menopang tangan kanannya di dagu sambil berpikir.
"Hmm ... lo harus bersikap Justice,"
"Maksud lo?"
"Just itu artinya hanya. Ice artinya es. Kalau digabung bakal jadi Justice. Artinya, tetaplah jadi dingin," timbrung Gavino tersenyum tipis. Gio diam mendengar usulan dari Gavino.
"Lo emang udah dingin ya, dari dulu. Kenapa gue malah ngomong gitu. Ah, enggak apalah. Itu buat lo tambah dingin aja. Bersikap seperti itu aja, asal jangan ke gadis yang lo suka," timpal Gavino. "Ngomong-ngomong soal gadis, gue kemarin sempat lihat postingan Audrey,"
"Maksud lo?" tanya Gio cepat.
"Iya. Kemarin, di intagram Audrey mereka berfoto bersama, sepertinya Auberta baik-baik aja. Gue udah sempat hubungi Audrey, tapi akun mereka berdua off sampai sekarang."
"Kenapa lo baru ngatain sekarang!"
"Gimana gue mau kasih tau lo, lonya sibuk sama urusan organisasi. Udahlah, jika emang kalian berdua masih saling cinta waktu akan menjawab semuanya."
"Jadi, maksud lo gue harus nunggu keajaiban datang? Gue tau betapa hancurnya Auberta saat tau kabar mengenai Gue yang udah tiada. Anak-anak yang lain udah pada tau, dan kenapa sampai sekarang cuma dia yang enggak bisa dihubungi. Bantu gue buat temuin dia," ungkap Gio dengan tatapan sendu, membuat Gavino seketika terhenyuk dan langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"Gue udah berusaha kok, gue juga minta bantuan anak-anak alumni. Termasuk Berlin dan Astrea. Tapi, jawaban mereka tetap sama. Auberta udah ganti nomor ponsel dan akun media sosialnya enggak pernah aktif lagi. Terakhir, saat kabar lo muncul dimana-mana. Setelah itu, semua lenyap. Auberta tidak pernah tampak lagi. Gue tau perasaan lo, ini lebih menyakitkan ketimbang lo yang tidak bisa mendengar apapun,"
Gio diam dan langsung bangkit dari tempatnya menuju kamar mandi. Di sana, Gio menatap dirinya di depan cermin. Titik bening sudah jatuh mengenai wajahnya. Gio meremas erat wastafel yang sekarang menjadi penyangga tangannya.
"Kapan saat itu akan muncul, gue udah janji pada diri gue sendiri. Aku akan menjagamu, menemukanmu, bertemu denganmu, mencintaimu, dan melindungimu," ucap Gio dengan lembut, menatap dirinya ke arah cermin.
Gio mengambil ponselnya dari saku celana, dan mencoba mencari akun media sosial Auberta. Gio menemukannya, tetapi tak ada postingan terbaru yang gadis itu posting. Terakhir, hanya foto mereka berdua saat di rooftop.
Saat Auberta mendapat kabar mengenai Gio yang udah tiada, gadis ini tidak pernah lagi membuka media sosialnya. Terlebih lagi, menelpon teman-teman seangkatannya. Gadis ini seperti di telan bumi, lenyap tanpa jejak.
Gio pun keluar dari kamar mandi dan mengambil gitarnya yang diletakkan di atas meja belajar Gavino. Cowok ini berjalan ke luar beranda apartemen dan memainkan gitarnya. Gavino yang merasakan perbedaan suasana, ikut terharu jika melihat Gio menjadi galau seperti ini. Sebuah alunan gitar mengalun dari senar tersebut. Gio bernyanyi pelan, dengan air matanya ikut luruh. Semua sirna jika dia terus mengingat bintangnya.
***
Suara nyanyian burung di pagi hari membuat seorang gadis tampak ceria. Sambil mengayuh sepedanya, dia terlihat bersenandung ria. Senyumnya merekah indah, dengan tatapan sayu milik Alda. Gadis periang, ceria, dan aktif ini selalu membawa dampak positif di sekitarnya. Termasuk seperti sekarang, dia tak lelah menyapa para tetangganya di setiap pagi. Saat tiba di depan rumah Gio, Alda menghentikan sepedanya dan turun dengan mendongakkan kepala menyembul ke dalam rumah lewat pagar besi ini.
Bola matanya mengitari ke seluruh penjuru rumah, dan Alda tidak menemukan tanda orang akan keluar dari rumah megah ini. Kini, matanya beralih menatap ke bagasi rumah tersebut. Tidak ada mobil sport milik Gio. Pikir Alda.
Akhirnya, Alda pun melanjutkan menaiki sepedanya. Entah kenapa, gadis ini sekarang terlihat peduli kepada Gio walau sering bertengkar. Saat Alda tiba di kampus, dan langsung memakirkan sepedanya. Alda memakai kaos hitam dan rok mini jeans. Tote bag, tergantung di bahu kirinya. Alda pun melangkahkan kakinya, tapi langkahnya terhenti saat melihat Rama dengan seorang cewek. Alda memicingkan matanya dan berjalan mendekat dan bersembunyi di balik pohon yang berada di depan gedung utama kampus.
Tatapan tak suka terlihat terpancar dari manik mata Alda. Dia menggerutu pelan di tempatnya, sambil menginjak-injak tanaman kecil yang tumbuh di pohon cemara.
"Ih, itu cewek siapa si? Kok, dekat banget sama Kak Rama. Yang harusnya deket itu Alda, bukan dia," beo Alda memukul pohon cemara.
Alda melihat Rama sedang mengobrol dengan seorang cewek berambut pendek. Tatapan serius terpancar jelas dari manik mata Rama. Membuat Alda menggerutu kesal. Tanpa sadar, dari arah belakang Gio baru saja memakirkan mobilnya. Saat berjalan ke depan, langkahnya terhenti saat melihat Alda sedang bersembunyi di balik pohon. Gio mengernyitkan dahinya, dan ide jahil tiba-tiba muncul dipikiran Gio. Cowok ini tersenyum kecut dan langsung mendekat ke arah Alda.
"Kok, belum selesai juga sih mereka ngobrol. Mereka ngobrol apaan ya? Apa jangan-jangan, tentang masa depan mereka? Ah, enggak! Itu enggak boleh terjadi. Kak Rama itu milik Alda, enggak boleh siapapun ngerebut pujaan hati Alda," gumam Alda, terus fokus menatap mereka.
Tanpa sadar, Gio sudah berdiri di samping Alda dan melihat pergerakan mulut gadis ini. Memahami setiap kalimat yang keluar.
Gio tersenyum kecil sambil berdiri dengan kedua tangan melipat di dada. Kenapa bisa Alda tidak sadar kalau seseorang sedang berdiri di sampingnya. Karena terlalu fokus, Alda sama sekali tidak bisa melihat ke arah sekitarnya.