"Ikut Gue!" tutur Gio.
"Enggak! Alda ada janji sama temen, kalau Alda pergi gimana mereka nanti?"
"Lo bisa kasih tau kalau lo lagi sibuk, gampang kan,"
"Enak banget lo ngomong,"
"Ikut gue!"
Gio pun menarik lengan Alda kasar, membawanya keluar dari kaffe. Alda meronta-ronta supaya tangan kekar Gio terlepas. Tetapi, tenaganya tidak cukup kuat.
Dari arah yang sama, Auberta dan Audrey baru saja sampai. Dari arah belakang, mereka melihat Alda sedang ditarik oleh seorang cowok. Mereka berdua saling memandang, dan ingin mengejar Alda.
"Kak Alda!" teriak mereka bersamaan. Alda mendengar teriakan itu, karena mereka hendak menyebrang. Alda tersenyum dan melambaikan tangan. Langkah Auberta dan Audrey terhenti dengan tatapan lesu.
"Siapa sih, itu cowok pake narik tangan Kak Alda? Dia pikir itu enggak sakit?" beo Auberta menatap lurus ke arah cowok itu yang nyatanya itu adalah Gio. Mereka sama sekali tidak bisa melihat wajah Gio, karena berlawanan arah.
"Yah, kita enggak jadi ketemu Kak Alda dong. Padahal, pengen banget review novel terbaru yang kita baca,"
"Bener. Auberta sedikit kecewa," jawab Auberta lesu dan mereka berdua langsung berpelukan. Back Pag Auberta tampak sangat imut sekali, gantungan unik tergantung di sana. Membuat suara berisik setiap Auberta berjalan.
"Ya udah, deh. Mungkin lain kali aja, kita pulang yuk,"
Mereka berdua pun berjalan balik secara bersamaan dan saling berpegangan. Persahabatan mereka dari dulu masih berjalan sangat baik. Ternyata benar, sahabat sejati itu ada. Auberta telah menganggap Audrey sebagai saudaranya sendiri. Mereka tinggal bersama dan selalu kemanapun juga bersama.
***
"Lo kenapa sih, selalu maksa kehendak lo?" hentak Alda menghempas pegangan tangan Gio. "Gue itu butuh waktu sendiri, kenapa lo harus selalu ngatur gue?"
Mereka tiba di depan ruang musik, suara teriakan Alda terdengar sampai ke dalam. Membuat Damar, ketua klub musik menghentikan pembicaraannya kepada semua anggota. Mereka terdiam dan mendengar semua pertengkaran Gio dan Alda.
"Gue enggak ngatur hidup lo, gue cuma mau lo itu konsisten!"
"Konsisten? Lo pikir gue mau masuk klub musik? Lo kan yang maksa!"
"Bisa enggak, lo enggak harus teriak-teriak gini," beo Gio mencoba menenangkan Alda yang sedang marah. Bisa-bisa, ketahuan kalau dia yang memaksa Alda.
"Biarin, biar semua orang tau kalau lo itu maksa gue buat masuk klub musik!"
"Tapi, lo itu anak seni,"
"Terus, kalau gue anak seni gue harus gabung klub kalian? Itu bukan kesukaan gue! Gue keluar mulai sekarang!"
"Enggak!" cekal Gio.
"Lo kenapa sih, Gio?"
"Lo enggak boleh keluar, lo udah daftar,"
"Gue enggak peduli,"
"Gue juga enggak bakal biarin lo keluar dari klub musik!"
"Lo kenapa sih, kekeh banget buat gue masuk klub musik. Lo mau gue belajar dengan cara terpaksa. Lo itu ma -"
"Gue enggak bisa jauh dari lo!" potong Gio sedikit berteriak, membuat Alda menatap Gio lekat-lekat.
Semua mahasiswa yang berada di dalam ruangan musik, ikut terkejut mendengar penuturan Gio terjadi. Seketika, mahasiswa yang ada di ruangan tersebut saling bersorak. Membuat suara layaknya seseorang baru saja menyatakan cinta.
Rama, Gavino, dan Eros saling pandang. Sampai akhirnya, mereka tersenyum kecil.
"Tebakan Eros bener, Gio udah lebih dewasa dan sudah melupakan masalalunya. Bintang baru telah kembali di hidupnya," ucap Gavino kepada mereka berdua. Rama mengangguk paham.
"Lo bener, tebakan eros kemarin ternyata nyata. Gio masih malu-malu untuk mengungkapkan yang sebenarnya," sambung Rama sambil bangkit.
Rama membuka pintu ruang Musik dan menatap Gio dan Alda yang masih saling pandang. Mereka pun tersadar dan menatap Rama datar.
"Sepertinya, kalian sukses membuat mahasiswa klub musik patah hati," seru Rama menatap Gio. Mereka berdua melirik ke arah dalam ruangan, anggota klub tersebut hanya diam menatap Gio dan Alda.
Gio pun pergi meninggalkan semua orang yang berada di sana. Hanya Alda yang sekarang diambang kebingungan.
Gio berjalan pelan di samping jalan raya dengan tatapan teduh. Wajahnya terlihat memerah. Entah apa yang baru saja Gio katakan kepada Alda, membuat Gio mengupat dalam hati.
"Sial!" jeritnya menghentikan langkah saat tiba di depan halte bus. Gio bersender di tiang tersebut sambil meremas rambutnya.
Di tempat yang sama, Auberta sedang duduk di halte bus tersebut sambil menenteng dua bungkus nasi. Dia terlihat sedang mengetik di ponselnya, saat terdengar suara Gio Auberta langsung menatap cowok yang sedang berdiri di tiang halte dengan membelakangi dirinya.
"Bodoh! Gue bener-bener bodoh!" jerit Gio lagi, membuat Auberta menatap lagi cowok itu.
Hati Auberta seketika terhenyuk jika melihat orang sedang terpuruk. Gadis ini pun bangkit dan hendak menegur Gio. Tetapi, langkahnya terhenti saat notif pesan dari Audrey menyuruhnya cepat pulang. Auberta pun membalas iya dan menatap cowok itu lagi, tapi dia sudah berjalan ke arah depan.
Auberta pun mengurungkan niatnya dan menggerakkan langkahnya ke pinggir jalan raya, sambil menunggu taksinya. Taksinya tiba dan Auberta terkejut saat ponselnya berbunyi lagi. Kini, Audrey menelponnya. Sebuah alunan musik yang tak asing bagi Auberta dan Gio.
"Iya, Audrey. Auberta mau pulang kok, tunggu ya,"
Auberta pun mematikan ponselnya. Saat Auberta hendak masuk, langkahnya terhenti saat alunan musik yang sama dengan nada dering di ponselnya juga berbunyi dari arah cowok yang tadi. Gio masih berdiri di sana sambil menunggu supirnya menjemput. Gio sama sekali tidak bisa mendengar jika ponselnya sedang berbunyi. Auberta sedikit terkejut dan hendak mendekat ke arah cowok itu. Tetapi, Auberta kalah cepat. Gio sudah duluan masuk ke dalam mobil dan tidak bisa melihat dengan jelas wajah cowok tersebut.
"Tunggu!" beo Auberta. Tapi, nihil. Gio sudah pergi.
***
Auberta tiba di sebuah rumah yang mereka sewa, sambil membuka pintu dari arah depan Audrey langsung menyambar bungkus nasi yang dibeli Auberta. Tetapi, Auberta sama sekali tak bergeming melihat Audrey yang sudah marah-marah karena dia telat pulang. Sambil berjalan mengikuti Audrey ke dapur, tatapan Auberta tidak bisa di jelaskan. Dia seperti memikirkan sesuatu. Audrey pun merasakan sikap Auberta yang aneh dan langsung menimpuk kepala Auberta supaya sadar. Auberta menatap Audrey dan langsung duduk di meja makan.
"Kamu kenapa sih, Auberta?" tanya Audrey sambil memasukkkan sesuap nasi.
"Auberta lagi mikir," jawab Auberta pelan sambil menatap Audrey.
"Mikir apa?"
"Tadi, pas Auberta mau pulang enggak sengaja ngelihat cowok. Kayaknya dia mahasiswa, terus nada dering ponselnya itu sama kayak Auberta,"
"Maksud lo? Nada dering suara Gio pas lagi nyanyi?" tanya Audrey sedikit terkejut. Auberta langsung mengangguk. "Kok, bisa?"
"Makanya, Auberta juga bigung. Padahalkan, Kak Gio cuma ngirim Audio itu ke Auberta aja. Masa iya, ke orang lain,"
"Kegeeran kamu, Ber. Mana tau Kak Gio juga ngeposting di akun media sosialnya, terus ada orang yang suka sama suara dia pasti langsung didowload lah,"
"Emang iya?"
"Ya, iyalah. Kamu tau sendiri Kak Gio itu populer,"
"Iya juga, sih. Tapi, Auberta enggak lihat postingan terbaru Kak Gio,"
"Ya karena kamu, udah enggak pernah aktif lagi di sosmed,"
"Hehe, iya ya. Auberta sibuk review novel sih," tutur Auberta tertawa kecil.
"Ya udah, buruan makan,"
"Iya. Eh, Audrey. Dua hari lagi kan, penerimaan mahasiswa baru di ITB. Kita harus jadi orang yang pertama daftar di hari pertama juga. Heheh,"
"Iya-iya. Audrey tau,"
Kedua gadis ini pun, menghabiskan waktunya di meja makan sambil mengisi kekosongan perutnya. Tampak sangat bahagia, walau sebenarnya hati terluka.
***
The rainy days won't seem to pass
Drowning the roses everytime
Promise to love you more despite all the fights
Miss the gentleness of you missing everything you do, my heart
The love i want, i only found it in you
No other one, could ever make me laugh and cry like you do
Thought it's not easy to be with you
I don't mind
-Love Exists
Sebuah suara lembut mengalun di dalam kamar yang terlihat gelap, hanya terdapat penerang dari bintang yang memancarkan sinarnya menembus jendela. Terlihat Gio sedang duduk di bangku belajarnya sambil bernyanyi dan memainkan gitar coklatnya. Hatinya tak karuan menahan semua gelisah yang baru saja terjadi. Ingin sekali mengupat, tapi dia hanya bisa membalasnya lewat bernyanyi seperti ini.
Suaranya terus mengalun. Sejak saat ini, Gio menjadi seseorang yang lebih memahami lingkungannya. Walau mempunyai kekurangan karena ketulian, tapi tak pernah membuat dia untuk mundur dalam menjalani hidup. Bahkan, karena kekurangannya dia mampu menutupinya dengan kelebihan yang dia miliki.
Kebiasaan demi kebiasaan, dia sanggup melewati. Walau sebagian orang tak suka terhadap dirinya. Tapi, tetap saja itu membuat Gio sedikit risih jika ada orang yang terus memujinya. Dia ingin hidup normal. Normal layaknya seperti orang lain, tanpa popularitas tapi penyandang disabilitas.