Bara mengernyitkan dahinya saat Melihat sosok yang begitu tidak asing sekali di mata nya.
"Mama." Ucap Bara, setelah itu ia bergerak dengan cepat untuk bergabung bersama mama dan papanya yang tumben sekali datang ke rumahnya pagi-pagi seperti ini.
Bara memeluk dan mencium pipi mamanya itu dengan penuh sayang, mungkin karena ia adalah anak satu-satunya jadi ia begitu manja.
"Kangen." Ucap Bara dalam pelukan sang mama.
Sedangkan papanya dan juga Kara hanya menggeleng kan kepalanya saja melihat Bara itu.
"Nggak usah kayak anak kecil Ih, nggak malu apa sama Kara?"
Bara melepaskan pelukan nya itu dan kemudian menatap Kara yang sedang menatapnya itu.
"Kenapa harus malu dengan Kara? Kara aja nggak malu sama Bara manja-manja sama mamanya."
Mama Bara, Lidia tersenyum mendengarnya jawaban yang dilontarkan oleh Bara itu.
"Sayang, wanita itu wajar kalau manja dengan orang tuanya karena memang ia itu diciptakan sebagai manusia yang lembut dan sangat manja."
"Bara juga wajar dong kalau manja sama mama, kan mama adalah mama Bara."
"Kalau kamu manja sama mama itu memang wajar, tapi itu berlaku saat kamu belum memiliki pasangan. Kalau kamu udah nikah gini masa iya mau manja lagi? Kalau kamu manja sama mama terus Kara manja nya sama siapa?"
Bara terdiam mendengar jawaban yang dilontarkan oleh namanya itu. Ia menatap wajah Kara yang sedang mengembangkan senyum.
"Bara nggak pernah manjain Kara Ma, malah Kara yang sering manjain Bara. Memang Bara itu manja nya pakai banget ya Ma."
"Astaga Bar, kamu kok bikin malu Papa sih. Laki-laki itu nggak boleh dong kayak gitu, laki-laki harus kuat dalam segala hal."
"Lah papa, orang lagi bahas apa malah pala bahas apa."
Setelah ucapan yang dilontarkan oleh Bara semua orang langsung tertawa. Benar-benar sangat indah sekali lagi ini.
Kara tersenyum, ia bahagia bisa berada di antara keluarga yang hangat dan penuh cinta seperti keluarga Bara
Terima Kasih kepada Tuhan yang telah membuat ia dan Bara bersatu tak pernah lepas ia ucapkan setiap harinya. Ia adalah manusia yang paling beruntung karena memiliki Bara.
Bara kembali di tempat duduknya, tepat di samping Kara yang sedang mengembangkan senyumnya. Wanita itu sama sekali tak melunturkan senyumnya sajak tadi.
"Oh iya, tumben mama dan papa kesini?" Tanya Bara.
"Iya, Mama kamu kangen Kara katanya." Jawab sang papa.
Mata Kara berbinar saat mendengar itu. "Benarkah?"
"Iya sayang, entah kenapa beberapa hari ini tiba-tiba sering ingat kamu dan mimpikan kamu. Jadi ya udah minta papa anterin deh. Sekalian juga kan emang kita nggak pernah ketemu." Jawab mamanya.
"Iya, terakhir ketemu kemarin itu kapan sih? Kalau nggak salah liburan tahun lalu deh." Timpal sang papa mencoba untuk ikut larut dalam obrolan.
"Nah iya benar, liburan tahun lalu. Nggak nyangka ya, udah satu tahun aja nggak ketemu nya. Padahal masih hidup juga."
Jawaban yang dilontarkan oleh mamanya itu sontak membuat semua mata menatap ke arahnya.
"Mama ngomong apaan sih," terdengar suara Bara yang tidak suka saat mamanya mengatakan hal seperti itu.
"Nggak apa-apa kok Bar, benar kan apa yang mama katakan. Padahal masih hidup tapi ketemuan aja satu tahun sekali kayak ziarah kuburan aja sih setiap idul Fitri."
Bara, Kara dan juga papa nya saling pandang satu sama lainnya saya mendengar mamanya itu mengatakan hal seperti itu.
"Nggak usah ngomong yang aneh-aneh deh Ma, nggak usah bikin kami semua takut gitu." Kini Kara pula yang berbicara dengan nada yang begitu lembut sekali.
Mamanya itu mengembang kan senyuman ke arah semua orang yang ada di meja makan itu.
"Bagaimana kalau kita liburan lagi."
"Wah ide bagus itu, udah lama ya kita nggak liburan."
"Bener Banget, udah lupa gimana rasanya liburan itu." Ucap Kara.
Sedangkan Bara ia hanya diam, otaknya terus saja mencari alasan untuk menolak liburan ini. Ia tak mungkin meninggal Anna seseorang diri disini. Dan pastinya Anna akan marah karena lagi dan lagi ia dan Kara pergi bersama.
Ia tahu dan sungguh tahu bagaimana cintanya Anna kepada dirinya ini. Mereka adalah pasangan kekasih yang memang harus terpisah karena perjodohan antar keluarga ini.
Ia pikir Anna tak akan pernah lagi mau melihat dirinya tapi ia salah, satu tahun yang lalu wanita itu datang dan mengatakan siap menjadi madu. Tapi beberapa bulan yang lalu ia malah mengatakan bahwa ingin menjadi yang pertama.
Jujur saja keadaan ini benar-benar belum bisa untuk Bara tangani dengan baik. Ia tak mungkin melepas kan Kara, karena melepaskan kata sama saja membuat ia kehilangan segalanya. Wanita yang berada disampingnya itu tak bisa untuk ia anggap remeh dengan segala kepolosannya itu. Ia adalah wanita yang memiliki IQ di atas rata-rata. Bisa dibilang bahwa Kara ini yang membawa perusahaan nya kembali ke puncak kejayaan setelah hampir bangkrut waktu itu.
Tapi di lain sisi ia juga tak bisa untuk meninggalkan Anna yang merupakan orang yang sangat ia cintai. Meskipun sebenarnya ia juga sudah mulai menerima Kara sebagai istrinya yang sah. Tetap saja saat ini rasa nya lebih besar kepada Anna.
Kedua wanita ini memiliki tempat yang berbeda dan spesial di Hatinya yang tak mungkin untuk ia geserkan kedudukannya Dan digantikan dengan yang lain.
"Bara." Panggil sang papa saat sejak tadi melihat Bara yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
"Iya Pa." Jawab Bara, ia mengembangkan senyumnya ke arah semua orang yang ada di meja makan itu. Sebisa mungkin ia mengendalikan dirinya sendiri.
"Kamu dengar nggak sih apa yang kita bertiga ini bahas sejak tadi."
Bara terdiam, ia tak tahu apa yang dibahas oleh mereka sejak tadi karena tiba-tiba saja pikiran nya malah terusik untuk memikirkan Anna.
"Coba ulangi lagi apa yang kita bahas tadi." Titah papanya yang langsung dibalas dengan gelengan kepala oleh Bara.
Ia memang tak tahu dan tidak mendengar apapun yang mereka bahas.
"Maaf Pa, Bara tadi melamun." Ucap Bara.
Kara yang berada disampingnya itu menaikkan alisnya, tak biasa-biasa nya suaminya seperti ini. Apakah ada yang terjadi yang tak ia ketahui?
"Ada apa mas?" Tanya Kara, ia menyentuh lengan Bara yang berada disampingnya itu.
"Bukan apa-apa kok," jawab Bara.
"Apa kita tunda saja liburan kita?" Tanya Kara.
Mendengar itu, terlihat wajah mamanya yang sedikit Kecewa tapi apa boleh buat. Ia menganggukkan kepalanya dengan enggan.
"Iya, nggak apa-apa kok. Lain kali juga bisa pergi liburan nya." Jawab mamaya itu.