"Diky, sadarlah...."
"Wahai Jawara Dunia Lain, bukalah matamu."
Seketika Diky membuka kedua matanya. Langit mendung membumbung tinggi seakan memperlihatkan cuaca yang tidak bersahabat. Tidak hanya itu, punggungnya merasa sakit setelah tertidur di bebatuan untuk waktu yang lama.
Diky langsung beranjak bangkit dan melihat keadaan sekitar. Ia mendapati dirinya hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong saja. Desir ombak yang menerjang tebing diikuti dengan tiupan angin laut yang cukup kencang tiba-tiba menerpa dirinya. Dia merapikan rambutnya panjang yang menutupi pandangan.
Hamparan samudera luas disertai langit abu-abu membentang di hadapan Diky. Laki-laki itu mendapati sebuah hutan dengan banyak pepohonan yang berjejer di belakangnya. Ia menarik kesimpulan bahwa dirinya sedang berada di sebuah pulau terpencil.
Sekejap Diky teringat masa lalunya. Ia ingat bahwa dirinya sudah meninggal puluhan tahun silam. Sebuah pertanyaan melintas dalam benaknya: Apakah sekarang dia dihidupkan kembali? Untuk memastikannya pemuda itu menarik pipinya, lalu meringis kesakitan.
Diky seketika terperangah. Apa yang dia alami bukanlah mimpi, terlebih sekarang dia memiliki tubuh yang asli. Batinnya seketika berkecamuk. Kemudian lelaki itu meninju telapak tangan kirinya karena merasa ada seseorang yang sedang mempermainkan jiwanya.
Tak berselang lama cahaya kilat disertai gemuruh terdengar cukup kencang. Keadaan diperparah dengan suhu yang dirasa semakin dingin lalu ombak pun semakin keras menghantam tebing. Diky merasa hujan akan segera turun. Dia bergegas memasuki hutan lebat untuk mencari tempat berteduh.
Diky langsung berlari karena suara gemuruh yang keras kembali terdengar. Deretan pohon ia lalui secepat mungkin. Dalam pikiran lelaki itu hanya satu, menemukan tempat untuk berlindung dari hujan yang akan turun.
Beberapa saat kemudian Diky melihat sebuah gua. Tanpa pikir panjang dia berlari secepatnya dan masuk ke dalam. Lelaki tersebut langsung duduk di atas tanah dan menghela napas yang terengah-engah. Ia bersyukur karena menemukan tempat berteduh sebelum turun hujan.
Tak jauh dari tempat ia duduk, terdapat tumpukan ranting pohon yang tertata rapi. Tidak hanya itu saja, aneka buah-buahan berjejer di atas daun pisang, ditambah dengan beberapa potong daging dan juga roti. Segera pikiran Diky menarik kesimpulan, bahwa ada orang yang menempati gua tersebut.
Rintik air hujan perlahan mulai turun dan semakin deras seiring waktu. Kemudian Diky mengambil beberapa ranting pepohonan lalu menatanya, seolah persiapan untuk membuat api unggun. Setelah menarik napas panjang dia mengerahkan tenaga sihir di tangan kiri, lalu mengeluarkan api yang membakar ranting tersebut.
Diky langsung duduk di dekat api unggun, membelakangi pintu masuk gua. Ia merasakan hantaran panas ke sekujur tubuh, membuatnya semakin hangat. Pria itu melihat ke seluruh gua yang nampak gelap. Ada satu pertanyaan dalam pikirannya, apakah orang yang tinggal di dalam tempat ini mempersilakan dirinya untuk tinggal?
Di luar, seorang lelaki bersurai hitam berlari di tengah hujan deras. Ia mengatur napasnya yang terengah karena kelelahan. Sembari mengatur napasnya yang terengah dia memeriksa seseorang tengah duduk santai di dekat api unggun, yang dikenalinya sebagai Diky.
"Apa kamu Diky?"
Pertanyaan barusan membuat Diky sedikit terkejut. Ia menoleh ke arah sumber suara dan menatap seseorang yang bertanya padanya. "Hah, Dimas? Kau terdampar di pulau ini juga?"
Dimas hanya mengangguk pelan lalu duduk di seberang sahabat masa kecilnya itu. Ia bersyukur karena tidak hanya dirinya sendiri yang tiba-tiba datang ke pulau antah berantah ini. "Oh iya, apa kamu sudah lama ada di sini?"
Diky hanya menggeleng. "Aku baru saja tersadar. Kalau kau sendiri?"
"Sebenarnya aku tersadar malam sebelumnya. Kebetulan aku melihat gua ini kosong, jadi aku menggunakannya untuk tempat
Diky menghela napas lega. "Untung saja tempat ini tidak dihuni oleh bandit atau sebangsanya. Jika tidak, aku mau tidak mau harus melawannya."
Dimas hanya tertawa kecil lalu beranjak berdiri. Rupanya ia mengambil satu apel yang cukup besar lalu menawarkannya pada Diky. "Apa kamu lapar? Ini, ambil saja."
Diky ikut beranjak untuk mengambil buah tersebut. "Terima kasih. Aku tidak sempat makan apa-apa," katanya lalu memakan apel dengan lahap.
Dimas mengambil apel lain lalu memakannya. "Oh iya, saat berkeliling aku sempat bertemu beberapa orang di perkemahan tidak jauh dari sini." Setelah menggigit apel ia menambahkan, "Mereka juga memberi aku makanan."
Tiba-tiba Diky berhenti melahap apel itu. Dia menatap tajam Dimas dan berkata dengan nada serius. "Apa kau percaya mereka begitu saja? Bagaimana jika mereka hanya memperdaya kita?"
Seketika Dimas tercengang lalu menatap sahabat kecilnya. "Kenapa kau berkata seperti itu?"
Diky melempar buah apel ke tanah. Dia mengangkat kedua bahu dan tangannya. "Kita baru saja terdampar di dunia aneh ini. Siapa tahu orang yang baru kita temui memiliki niat yang buruk!"
"Dengar. Jika mereka memiliki niat buruk padaku, mungkin sekarang ini aku sudah terbunuh!"
Diky menghela napas lalu menggeleng. "Aku harap kau benar, Dimas. Semoga saja mereka tidak macam-macam dengan kita"
"Bagaimana jika kita menemui mereka besok pagi? " tanya Dimas lalu melahap apel.
Diky hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Semoga saja besok tidak hujan. Jika tidak, kita hanya terperangkap di sini sepanjang hari."
***
Matahari menyeruak naik di ufuk timur sehingga menerangi sekitar hutan. Diky yang terjaga dua jam sebelumnya beranjak membangunkan sahabat kecilnya, yang masih terlena buaian mimpi. "Bangun, Dimas. Sekarang sudah pagi."
Namun Dimas hanya bergeming. Kedua matanya pun masih tertutup erat, seolah menempel dengan erat.
Diky hanya bisa mendengus kesal sambil geleng-geleng. Seketika dia mengumpulkan tenaga sihir di tangan kirinya. Rupanya pria tersebut mengeluarkan sihir air untuk menyiram wajah Dimas.
Sontak pria itu langsung terbangun dan duduk di atas tanah, kemudian mengusap mukanya yang basah kuyup. "Eh, apa terjadi sesuatu, Diky?"
"Akhirnya bangun juga kau, Dimas. Apa kau sedang mimpi indah, sehingga susah untuk dibangunkan?" ujar Diky lalu tersenyum sinis.
"Eh, umm, ti—tidak. Bukan seperti itu," dalih Dimas. Ia menggaruk kepala karena merasa canggung. "Aku hanya tidak tahu kalau sekarang sudah pagi."
Diky menunjuk pintu masuk gua yang berada di belakangnya dengan ibu jari. "Ayo kita temui mereka sekarang juga."
"Hey, bukannya sekarang masih terlalu pagi?"
Diky hanya membalikkan badan dan menatap pintu gua dengan tatapan serius. "Aku masih penasaran apakah mereka benar-benar orang baik?"
"Bagaimana jika tidak?" tanya Dimas serius.
Diky langsung mengangkat tangan kiri dengan posisi menengadah. Tak disangka bola api berukuran kecil melayang di atas telapak tangan lelaki tersebut. "Mau tidak mau kita harus menghadapi mereka dengan sihir."
Dimas hanya menghela napas panjang lalu menepuk kening. "Terserah kamu saja."
Akhirnya kedua pemuda itu meninggalkan gua. Dimas yang tahu persis lokasi perkemahan berjalan terlebih dahulu, sedang Diky mengikutinya dari belakang. Mereka harus melewati lebatnya pepohonan yang berjejer di sekitarnya.
Setelah cukup lama berjalan Dimas melihat perkemahan tepat dua puluh meter di depannya. "Ah, itu dia. Akhirnya kita sudah dekat."
Diky menghela napas lega lalu tersenyum kecil. "Syukurlah. Setidaknya tidak lama lagi kita akan sampai."
Diky dan Dimas langsung bergegas menuju perkemahan. Namun setibanya di sana, mereka tercengang dengan situasi yang ada. Hampir sepuluh orang, baik pria maupun wanita, tergeletak di tanah tak bernyawa. Terlebih lagi sekujur tubuh mereka berwarna biru lebam, seakan terkena racun yang sangat mematikan.
"A—apa yang terjadi? Ke—kemarin siang mereka semua masih hidup," ucap Dimas penuh ketakutan.
Diky memeriksa keadaan di sekitar. Namun dia tak mampu menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tegang, penuh dengan rasa takut dan was-was. "Aku rasa mereka diserang saat tadi malam."
Dimas berjalan sedikit dan ikut memeriksa keadaan. Dia melihat lima buah pupa berukuran besar. Setelah diteliti rupanya itu adalah sosok manusia yang terbungkus benang putih yang pekat. "Ya Tuhan! Ini benar-benar gila!"
Diky langsung menghampiri sahabat kecilnya itu. Dia berjongkok dan memeriksa apa yang baru saja ditemukan. "Tidak salah lagi, mereka diserang oleh laba-laba besar."
Dimas seketika berbalik badan untuk mengalihkan perhatiannya. Napasnya tersengal diikuti keringat dingin yang membasahi wajah. Batinnya masih merasa terguncang setelah melihat orang-orang tewas secara mengenaskan.
Diky langsung berdiri dan menghampiri Dimas. "Sekarang kita kuburkan mereka dengan layak. Tidak baik membiarkan mayat tergeletak begitu saja di dunia terbuka."
Dimas hanya mengangguk pelan tanpa mengatakan apapun. Diky langsung mengerahkan tenaga sihir lalu membuat belasan lubang kubur. Mereka saling bahu-membahu untuk menguburkan mereka yang telah tiada.
Setelah prosesi pemakaman usai Diky dan Dimas berdoa, berharap agar arwah penghuni perkemahan dapat beristirahat dengan tenang. Namun Dimas masih tidak berhenti memikirkan kejadian yang dialami olehnya.
Seketika Diky mengangkat wajahnya menatap langit yang kini mendung. Dalam pikirannya hanya satu, ia dan Dimas harus bertahan hidup di pulau berbahaya ini.