Diky menepuk pundak Dimas lalu mengelusnya, dengan harapan agar lelaki itu bisa merasa sedikit lebih tenang. "Bagaimana jika kita memeriksa sekitar perkemahan?"
Dimas hanya menoleh dengan wajah lesu karena batinnya masih terguncang. Dia masih bersedih atas apa yang dialami oleh penghuni perkemahan. Terlebih mereka sempat memberikan makanan untuknya. "Beri aku waktu sedikit lagi. Aku ingin menenangkan pikiran sebentar."
Hela napas panjang keluar dari mulut Diky. Dia tahu persis sahabatnya itu pasti masih merasa berduka. Pria bersurai ikal panjang terus langsung berjalan dan menghampiri sebuah tenda, yang berada sekitar lima meter di dekatnya. Di sana terdapat kasur lipat berukuran besar tergeletak dengan dua bantal di atasnya.
Rasa penasaran seketika menghampiri Diky saat melihat beberapa tenda berjajar di sekelilingnya. Dia langsung memeriksanya ke dalam dan hanya mendapat kasur dan bantal saja, tanpa ada yang lain. Dekat salah satu tenda yang lebih besar di pojok sebelah kiri, pemuda itu melihat dua gerobak beratap terparkir berjejer.
Diky menaiki gerobak di sebelah kiri dan memeriksanya. Peti-peti persegi nampak bertumpuk di sebelah kanan. Dengan bantuan sedikit cahaya dari luar lelaki tersebut memeriksa isi dari peti itu, yang rupanya berisi bahan makanan seperti daging, buah-buahan, roti panjang dan beberapa botol air minum. Di sisi lainnya hanya sebuah bangku panjang dari papan, mungkin untuk mengangkut orang saat berkelana.
Kemudian Diky beranjak turun untuk memeriksa gerobak lain di sebelahnya. Sinar matahari yang sedikit remang menampakkan enam peti kayu panjang bertumpuk, dengan bagian paling atas sedikit terbuka. Karena penasaran pemuda tersebut membukanya lalu mengambil apa yang ada di dalamnya.
Tak disangka benda dalam peti tadi adalah sepucuk senapan laras panjang. Bagian popor, badan dan gagang terbuat dari kayu yang nampak menyatu satu sama lain. Ditambah lagi dengan teropong kecil terletak di dekat gagangnya.
Diky langsung keluar untuk melihat lebih rinci senjata yang ia temukan. Rupanya itu adalah senapan bolt-action jenis Mosin-Nagant M91/30 dengan teropong PU.
Berkat keseringannya bermain permainan first-person shooter dulu, ia memutar 90° tuas kokang dan menariknya ke belakang. Kemudian sebuah peluru utuh terlontar keluar dari kamar peluru, memperlihatkan peluru lainnya yang siap untuk ditembakkan.
Seketika Diky terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak menduga bahwa senjata itu terisi penuh. Dia mengambil peluru yang terlempar, memasukkannya ke dalam ruang peluru lalu menutup tuas kokang.
Dimas yang merasa sedikit lebih tenang berjalan mendekat. Namun wajahnya berubah, dengan kedua mata terbelalak dan mulut yang terbuka. "Senjata itu ... Apakah senjata yang digunakan saat Perang Dunia pertama dan kedua dulu?"
Diky hanya mengangguk pelan lalu melihat senapan yang berada di genggamannya. "Tidak aku sangka, rupanya kau tahu senjata ini juga."
Dimas hanya menggaruk kepala dan tertawa kecil. "Itu karena aku sering membaca sejarah, terlebih saat Perang Dunia."
Diky menunjuk gerobak di belakangnya dengan ibu jari, tempat ia menemukan senjata api tersebut. "Aku melihat masih ada beberapa kotak di dalam sana. Mungkin kita bisa menemukan senjata lainnya."
Dimas hanya mengangguk dan memasuki gerobak. Karena ingin memeriksa dengan lebih jelas lagi, dia meminta bantuan Diky untuk mengeluarkan peti-peti panjang dari dalam sana. Mereka terkejut karena menemukan senjata api lainnya.
Dimas mengambil sebuah senapan bolt-action, mirip dengan yang telah ditemukan sebelumnya. Kali ini adalah jenis Lee-Enfield No. 1 MK III dengan teropong Pattern 1918.
Dimas kagum karena senapan di tangannya adalah senjata yang digunakan Inggris saat Perang Dunia I dan II. Pemuda itu langsung memasang posisi membidik untuk melihat dari teropong. Jari telunjuknya menempel pada tuas pemicu seolah-olah siap untuk menembak.
"Tunggu dulu, Dimas. Siapa tahu senjata ini masih terisi penuh!"
Ujaran Diky barusan membuat Dimas sedikit tercengang. Dia langsung menurunkan senapan. "Ba—bagaimana caranya untuk memeriksa jika senjata ini masih terisi?"
Diky memberitahu agar Dimas memutar tuas di bawah teropong, lebih tepatnya dekat gagang, dan menariknya ke belakang. Benar saja, kejadian yang dialami oleh sahabat kecilnya itu terulang pada dirinya sendiri. Pemuda tersebut hanya berdiri terpaku, dengan mata dan mulut yang terbuka lebar.
Diky menarik napas lega. "Lihat sendiri. Untung saja kau belum menekan pemicunya."
Dimas yang masih terguncang hanya menatap lekat senapan di tangannya. Napasnya memburu seakan batinnya dipenuhi rasa takut. Dia menelan ludah lalu berucap, "Se—sepertinya kita harus mengamankan semua senjata ini."
Diky hanya mengangguk lalu meletakkan Mosin-Nagant ke dalam peti kosong, begitu juga dengan Dimas. Mereka ternyata mendapati dua peti berisi senapan dengan popor yang menyatu dengan badan, sedangkan dua lainnya adalah kotak besi yang mungkin berisi amunisi.
Diky langsung memeriksa senjata dalam salah satu peti yang lain. Kali ini adalah jenis M1 Garand sebanyak dua buah.
Kedua mata Dimas seolah bersinar saat melihat senjata itu. "Wah, kali ini ada senapan legendaris dari Amerika Serikat," ucapnya tanpa melepaskan pandangan dari dalam peti.
Diky langsung melipat lengan ke dada, lalu menempelkan tangan kanan pada dagunya. Sekilas beberapa pertanyaan mengisi pikirannya: Kenapa bisa ada senjata peninggalan sejarah Perang Dunia di sini? Apa mungkin dia dan Dimas dihidupkan kembali ke Bumi? Jika dunia ini bukan Bumi, bagaimana caranya senjata tersebut bisa muncul di depannya?
Tiba-tiba perut Dimas berbunyi keroncongan bak menjerit karena lapar. Diky hanya menepuk kening sambil tertawa kecil. "Ayo kita ambil beberapa makanan. Aku juga sedikit lapar."
Diky dan Dimas merapikan peti berisi senjata api dengan menumpukkannya dan menaiki gerobak berisi makanan. Mereka sepakat untuk memakan roti panjang untuk mengganjal perut. Setelah rasa laparnya terpuaskan, dua pemuda tersebut turun dan memeriksa sekitar perkemahan.
"Hei, Diky. Bagaimana jika kita tinggal di sini saja?" tanya Dimas memulai pembicaraan.
Diky langsung melihat tenda-tenda yang berjejer. "Aku rasa itu bukan ide yang buruk. Tapi ...."
"Hah, tapi apa?"
Diky hanya menghela napas panjang dan menepuk kening. "Apa kau tidak merasa kalau tenda-tenda ini terlalu banyak untuk kita berdua?"
Dimas hanya mengangguk kepala. "Ehehehe. Kamu benar juga."
Mereka akhirnya mengeluarkan peti dalam tenda-tenda kecil lalu menurunkannya, dan menyisakan tenda berukuran besar untuk mereka tidur. Perhatian Diky seketika teralihkan pada peti-peti lalu memeriksa apa yang ada di sana. Ia menemukan sebuah seragam militer berwarna coklat, dengan bendera merah di kerah dan bahunya.
Tidak hanya itu saja, sepasang sepatu bot setinggi lutut dan tiga tas kotak kecil, yang biasa digunakan untuk menyimpan peluru, ada di dalam peti tersebut.
Diky langsung mengambil baju seragam coklat itu dan melihatnya. Ia beranggapan jika pakaian tersebut memiliki perlindungan yang lebih baik daripada kaus oblong biasa.
"Waw, seragam yang bagus. Tapi ...."
Ucapan bernada ambigu dari Dimas barusan membuat Diky mengangkat alis kanan. "Apa ada yang salah, Dimas?"
"Kalau tidak salah, seragam ini mirip dengan pasukan Soviet."
Diky seketika terkejut, seolah jantungnya hampir saja copot. "Hah, yang benar saja? Mana mungkin seragam Soviet bisa ada di dunia ini! "
Dimas memeriksa secara rinci seragam yang ditemukannya, lalu menggaruk kepala sambil tertawa kecil. "Hmm, aku rasa hanya mirip di bagian dekorasi bahu dan kerahnya saja."
"Kau benar-benar membuatku kaget saja," gumam Diky dengan tatapan tajam. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam benaknya. "Tapi menurutku seragam ini lebih baik daripada kaus oblong saja."
"Yah, benar juga. Ayo sekarang kita pakai saja."
Diky langsung memakai seragam coklat itu dengan kaus sebagai pakaian dalamnya. Pemuda itu sedikit kebingungan saat memakai celana karena tidak ada penahan untuk ikat pinggang. Yang ada hanya tali seperti celana pendek, untuk mengikatnya agar tidak longgar.
Dimas hanya menepuk kening. "Ikat pinggang dipakai di bagian bajunya, Diky."
"Eh, kau benar juga. Aku tidak tahu."
Dimas hanya menggeleng lalu menghela napas. Setelah Diky mengenakan baju seragam yang menutupi sampai pangkal pahanya, ia langsung memasang ikat pinggang dan mengaturnya agar tidak terlalu sempit. Lelaki itu tidak lupa untuk memakai sepatu bot dan tas peluru.
Setelah persiapan selesai Diky seketika berkacak pinggang dengan senyum puas. "Bagaimana, apa aku sekarang terlihat gagah?"
Dimas hanya menutup mulut dan tertawa kecil. "Kamu ini ada-ada saja. Memangnya mengenakan seragam militer bisa membuat seseorang menjadi lebih gagah?"
Diky hanya bisa menggaruk kepala, meski raut wajahnya terlihat sedikit kesal. "Yah, setidaknya aku terlihat seperti seorang tentara."
"Ahahah, sudahlah. Aku jadi ingin mengenakannya juga."
Dimas langsung memakai pakaian yang serupa, sedangkan Diky hanya menunggu di luar tenda. Setelah berdiskusi sebentar, dua lelaki tersebut akhirnya sepakat untuk tinggal di perkemahan. Mereka juga akan berburu bersama-sama untuk menambah variasi makanan.
Tampak di balik pepohonan yang berada sekitar belasan meter dari perkemahan, datanglah seekor laba-laba setinggi pinggang lelaki dewasa. Matanya yang besar dan berwarna merah darah tak lepas dari Dimas dan Diky, seolah mengawasi pergerakan mereka. Beberapa menit berselang serangga raksasa berkaki delapan itu akhirnya pergi, tanpa sepengetahuan dua lelaki tersebut.