Merasa terusik, belasan anak laba-laba itu pun perlahan merayap mendekati Diky dan Dimas. Diky dengan sigap mengambil tali senapan yang melingkar di pundaknya dan bersiap untuk menembak. "Dimas, berpencar dan bersiaplah! Kita harus menjaga jarak dari makhluk itu!"
Dimas hanya mengangguk dan langsung berlari menjauh lalu menyiapkan senapan yang ia bawa, sementara Diky membidik salah satu laba-laba dengan teropong. Namun, pandangannya sedikit terganggu oleh triangulasi lensa paralaks yang terbentuk dari teropongnya, dikarenakan posisi senapan yang lebih condong ke bawah. Dia hanya melihat bayangan lensa depan berada di bagian bawah dari lensa belakang, dan cekungan seperti bulan sabit berwarna hitam di bagian atasnya.
Sebagian anak laba-laba perlahan mulai menyebar mendekati mereka berdua. Tanpa pikir panjang Diky menarik tuas pelatuknya. Sayangnya, peluru yang ditembakkan hanya mendarat tepat di depan salah satu anak laba-laba.
Dengan begitu geram dan wajah penuh amarah, Diky menurunkan senapan Mosin-Nagant dan menarik tuas kokangnya. "Sial! Gunakan bidikan besi saja, Dimas!"
"Hah, kenapa memangnya?"
Sambil berjalan mundur untuk menjaga jarak, Diky menjelaskan bahwa teleskop optik dapat menimbulkan efek paralaks. Pantulan bayangan lensa depan dan belakang tidak sejajar, sehingga sulit untuk membidik sasaran dengan tepat.
Dimas langsung membidik salah satu anak laba-laba yang mendekati dirinya. Karena posisi pisir (bidikan belakang) dan pejera (bidikan depan) lebih condong ke bawah, lelaki itu pun tidak mampu mengenai sasaran dengan tepat. Peluru yang ditembakkan hanya menembus pasir pantai.
"Bodoh! Sejajarkan dulu bidikanmu, baru mulai menembak!"
Mendengar teriakan sahabatnya itu, emosi Dimas sempat terpancing. Namun, dia berusaha memakluminya dan membidik salah satu dari tiga anak laba-laba yang mendekatinya. Ia juga menutup mata sebelah kiri agar pandangannya lebih fokus. Setelah pisir dan pejera dirasa sejajar, lelaki itu pun menembak binatang yang akan mencelakai dirinya.
Kali ini, peluru yang diluncurkan oleh Dimas berhasil bersarang tepat di tubuh satu dari anak laba-laba tersebut. Ia dengan tenang berjalan mundur untuk menjaga jarak, menurunkan senapan dan mengokang senjatanya.
Diky tersenyum kecil karena merasa lega. Kali ini Dimas berhasil membereskan salah satu laba-laba yang mendekati mereka. Kini kedua lelaki itu terus bergerak ke segala arah agar anak laba-laba tidak mampu mendekati mereka berdua.
Seiring berjalannya waktu, pertempuran pun semakin memanas. Baik Diky maupun Dimas terus bergerak sembari menembak belasan anak laba-laba yang tersisa. Namun, dua pria itu mengeluhkan senjata yang mereka bawa.
Pertama, senapan yang dipakai berjenis bolt-action. Jadi untuk bersiap menembak kembali, mereka diharuskan untuk selalu mengokang senjata terlebih dahulu. Akibatnya, jangka waktu menembak dirasa sangat lambat.
Kedua, sistem magazine-nya berupa magazine tetap. Tidak seperti senjata modern yang bisa dilepas untuk mengisi ulang peluru, magazine-nya seakan menyatu pada badan senapan. Mereka harus mengisi secara manual, yakni dengan cara memasukkan peluru langsung ke dalam ruang peluru.
Ketiga, pada umumnya senapan dengan magazine tetap dapat menggunakan klip berisi lima peluru yang berjajar untuk pengisian ulang. Namun, karena bertipe senapan runduk, baik Diky maupun Dimas tidak bisa memakainya karena terhalang oleh teropong. Mau tidak mau mereka harus memasukkan peluru satu demi satu. Bahkan dalam satu kesempatan peluru malah tidak terisi penuh, karena musuh yang terlebih dulu mendekat.
Kesulitan Diky semakin diperparah dengan senjata Mosin-Nagant yang digunakannya. Selain hanya memuat maksimal lima peluru, mekanisme pengokangannya dirasa sangat keras dan tuasnya pun berada tepat di bawah teropong. Mau tidak mau ia harus menurunkan senapannya saat akan mengokang, membuat dirinya menjadi lebih lambat saat menembak.
Dimas sedikit lebih diuntungkan karena sistem pengokangan Lee-Enfield yang dia pakai lebih halus, ditambah lagi dengan ruang peluru yang mampu memuat hingga sepuluh peluru. Selain itu tuasnya berada di dekat tangannya, membuat pengokangan tidak perlu menurunkan senapannya.
Lama-lama Diky semakin tidak tahan dengan senjata yang ia gunakan. "Ini tidak bagus. Kita harus mundur sekarang juga!"
"Baiklah. Kita juga harus menghemat amunisi kita."
Dimas berjalan mundur untuk menjauhi kerumunan anak laba-laba yang mendekati dirinya. Diky dengan sigap menghampiri sahabatnya itu dan mengumpulkan tenaga sihir di tangan kirinya. Dalam sepersekian detik saja, ia merasa telapak tangannya seperti terbakar. Ia langsung membuat kobaran api yang berjajar, membentuk dinding untuk melindunginya.
Benar saja, tak ada satu pun anak laba-laba berani menembus dinding api dari sihir itu. Diky langsung berbalik dan berlari menyusul Dimas yang terlebih dahulu pergi. Mereka akhirnya meninggalkan bibir pantai secepat mungkin, dan memasuki hutan yang berada di dekatnya.
Setelah memasuki hutan cukup dalam, dua pemuda tersebut berhenti untuk beristirahat sejenak. Dengan wajah yang tampak pucat, Diky langsung duduk bersandar ke sebuah pohon. Napasnya terdengar berat seakan mengalami kelelahan yang teramat sangat.
Dimas berjongkok di samping sahabatnya itu dan memeriksa keadaannya. "Diky, apa kamu tidak apa-apa?"
Diky hanya menggeleng pelan. Nafas yang berat membuat dadanya sesak, sehingga tidak mampu untuk berbicara. Ia terus menarik dan membuang napasnya yang tersengal-sengal. Selain karena berlari secepat mungkin, lelaki itu rupanya telah menghabiskan tenaga sihirnya dengan jumlah yang sangat besar.
Dimas langsung menepuk bahu sahabatnya itu, karena merasa simpati dengan keadaannya saat ini. "Sekarang, tenangkan dirimu dulu. Kita akan kembali ke perkemahan, jika kamu sudah merasa lebih baik."
Diky hanya tersenyum kecil dan mengangguk pelan. Ia langsung melemparkan pandangannya ke arah langit biru, yang tertutup oleh lebatnya dedaunan pohon. Namun, napasnya masih terdengar berat diikuti dadanya yang sesak, karena efek kelelahan setelah pertempuran beberapa saat lalu.
Meski begitu dalam hati Diky merasa lega. Ia dan sahabatnya tersebut dapat lolos dari situasi, yang mungkin saja, mencelakakan mereka berdua.
***
Malam pun akhirnya tiba. Diky dan Dimas duduk di sekitar api unggun sembari menyantap irisan daging panggang yang ditusuk seperti sate. Semilir angin malam diiringi suara percikan api yang menghangatkan membuat keduanya bisa sedikit melupakan pertempuran siang tadi.
Seketika sesuatu melintas dalam pikiran Dimas, hingga membuatnya merasa khawatir. Ia menurunkan makanan yang ia santap dan bertanya untuk memecah keheningan sekitarnya. "Diky, apa kita akan baik-baik saja?"
Diky langsung menoleh dengan sebelah alis yang terangkat. "Hah, kenapa kau bertanya seperti itu?"
Dimas menjelaskan bahwa dirinya masih mengingat suasana penghuni perkemahan sebelumnya. Lelaki itu khawatir bahwa induk laba-laba akan datang dan membalas dendam suatu hari nanti, mengingat mereka telah membunuh sebagian anaknya.
Diky yang tengah menyantap makan malamnya berhenti sekejap. Dia pun merasakan kekhawatiran yang sama dengan sahabatnya itu. Setelah menarik nafas panjang untuk memenangkan diri, ia berkata, "Benar juga. Mungkin saja induk laba-laba itu masih berkeliaran di sekitar kita."
Keheningan seketika menyeruak. Saat kembali menyantap makanannya, baik Diky maupun Dimas hanya saling diam. Satu-satunya suara yang terdengar hanya percikan dari kobaran api yang menari-nari karena tiupan angin malam.
Seusai menyantap makan malam, Diky mengambil sebungkus rokok dari kantong baju. Ia tidak sengaja menemukannya saat hendak mengambil bahan makanan untuk dimasak beberapa saat sebelumnya.
Setelah mengambil satu batang dan menaruhnya ke mulut, Diky langsung menawarkannya pada Dimas. Ia hanya menggeleng pelan untuk menolaknya, dengan alasan tidak pernah merokok. Tidak ingin memaksa, Diky mengambil kayu bakar berukuran kecil dari api unggun untuk menyalakan rokok.
Dimas melemparkan pandangan ke atas. Hanya hamparan daun pohon yang menutupi gelapnya langit tersaji di hadapannya. Namun, dia masih merasa khawatir dengan situasi ke depannya nanti. Sempat terlintas sebuah pertanyaan di dalam hatinya, "Apakah nanti mereka siap untuk bertemu induk laba-laba, yang mungkin saja akan membunuh keduanya?"
Diky menghisap dalam rokok di bibirnya lalu menikmati rasa pahit di bagian dalam mulutnya. Beberapa detik berselang, ia membuang asap yang memenuhi rongga mulutnya. "Apa kau masih khawatir jika induk laba-laba itu akan menyerang kita, Dimas"
Lamunan Dimas seketika tersentak. Ia langsung menoleh pada sahabatnya itu. "Hah, bagaimana kamu bisa tahu?"
"Dari ekspresimu itu sudah jelas kelihatan." Diky tersenyum menyungging lalu kembali menghisap rokok di tangannya. "Kau ini mudah sekali untuk dibaca, seperti buku yang terbuka lebar," tambahnya.
Dimas langsung menunduk lesu lalu menghela nafas panjang. "Yah, kamu benar sekali. Aku masih ingat keadaan penghuni perkemahan ini sebelumnya."
Diky menoleh ke atas dan menempelkan ibu jari ke bibir, lalu menghisap lagi rokok di tangannya. Setelah membuang asap di mulutnya ia berkata, "Sepertinya tidak ada pilihan lain. Kita harus saling membantu satu sama lain, dengan persenjataan yang ada."
Dimas tiba-tiba mengangkat wajahnya. Ia tersenyum dan menarik napas lega. "Terima kasih, Diky. Aku senang karena tidak sendiri."
Diky hanya tersenyum kecil. "Tidak masalah. Kau juga yang membantuku lepas dari Farus, sewaktu di Eoggavar dulu."
Diky dan Dimas akhirnya tertawa lepas, seolah beban di pundak mereka menghilang begitu saja. Namun, seekor laba-laba dewasa mengintai keduanya dari semak di kejauhan. Serangga besar itu mengeluarkan suara desisan panjang, yang terdengar penuh aura kebencian. Ia pun langsung pergi tanpa sepengetahuan kedua pemuda itu.