Pagi-pagi buta Diky terbangun dari tidurnya. Seketika ia bangkit lalu duduk di atas kasur lantai yang tipis. Ia menggeliat sambil merentangkan kedua tangannya sebelum melirik ke samping kanannya, mendapati Dimas masih terbuai alam mimpi. Diky hanya bisa menghela napas lalu beranjak meninggalkan tenda.
Langit gelap masih menyelimuti perkemahan saat itu, diiringi oleh hembusan angin yang menusuk. Diky pun memeluk dirinya sendiri yang bergetar hebat akibat hawa dingin itu, berpikir tubuhnya akan segera membeku. Ia mendapat ide saat melihat sisa kayu bakar bekas api unggun semalam, baik yang sudah terbakar maupun belum.
Diky pun berdiri setelah menyusun kayu-kayu yang masih belum terbakar itu dan segera mengumpulkan tenaga sihir ke tangan kirinya. Tak lama berselang dia merasakan sesuatu yang hangat, diikuti sinar kuning kemerahan, muncul dalam telapak tangannya. Secara perlahan tapi pasti, hawa panas pun semakin kuat dan menjalar dari telapak tangannya.
Semakin lama Diky merasa seperti terbakar, bak kobaran api menyelimuti telapak dan tangannya. Namun dia tidak mengindahkan, dan terus mengerahkan tenaga sihirnya.
Tiba-tiba sebuah bola api berukuran kecil muncul dan melayang di atas telapak tangannya, seakan-akan sedang menari. Setelah meratapinya sebentar, Diky pun melemparkannya ke arah kayu bakar yang telah ia susun sebelumnya. Dalam hitungan detik, api pun langsung berkorban, melahap tumpukan kayu tersebut hingga menciptakan api unggun.
Diky tersenyum kecil lalu duduk di sekitarnya. Hawa panas pun perlahan menjalar masuk hingga ke dalam pakaiannya, membunuh rasa dingin yang menusuk-nusuk tubuhnya sejak tadi. Setelah beberapa menit berselang, pria itu berdiri lalu berbalik untuk menghangatkan bagian belakang tubuhnya.
Di saat ia sibuk menghangatkan diri, matahari telah perlahan menyembul keluar di ufuk timur. Pemuda tersebut langsung bergegas memasuki tenda untuk membangunkan sahabatnya yang masih tidur.
Diky berjongkok di dekat tubuh Dimas dan menggoyangkannya. "Bangun, Dimas. Sekarang sudah pagi."
Namun Dimas masih memejamkan kedua matanya, seolah terlena oleh buaian mimpi. Diky yang sedikit terpancing langsung mengeluarkan sihir air mancur, yang membasahi tepat di wajah sahabat masa kecilnya itu.
Sontak Dimas terperanjat lalu terduduk di atas kasur. Dengan wajah panik ia menoleh ke kanan dan kirinya, seakan kebingungan mencari apa yang mengganggu tidurnya. "Hah, air dari mana ini? Apa-... Apa tenda kita kebocoran?
Diky langsung jatuh terduduk dan tertawa geli. Dia terus tertawa tanpa henti sambil memegang perutnya. Lelaki itu tak menyangka reaksi sahabatnya yang dirasa sangat konyol itu.
Dimas langsung mengusap wajah dengan lengan bajunya. Merasa dirinya telah dikerjai, ia menatap tajam pada Diky. "Hey, tidak bisakah kamu membangunkan aku dengan cara biasa?"
Diky terus tertawa sampai perutnya terasa sakit. Setelah tawanya terhenti, dia pun mengatur nafasnya. "Habisnya kau tidur lelap sekali. Mau tidak mau aku harus melakukan itu agar kau bisa bangun."
Dimas hanya bisa cemberut dengan kedua matanya menyipit. Ia masih merasa kesal akan apa yang diperbuat oleh temannya itu barusan. Setelah meminta maaf Diky pun berkata, "Bagaimana jika kita pergi berburu sambil berkeliling sekitar pulau setelah sarapan?"
"Hmm, boleh juga. Aku belum sempat memeriksa seluruh pulau ini."
Diky pun berdiri dan pergi mengambil sebuah golok di salah satu sudut tenda mereka, yang ditemukan saat memeriksa barang-barang peninggalan penghuni perkemahan kemarin. "Kau bantu aku menyiapkan makanan, Dimas. Jangan cuma enak makannya saja."
Dimas kembali cemberut untuk dua kalinya. Dengan perasaan kesal ia berujar, "Iya, iya. Aku tahu."
Setelah keluar dari tenda mereka langsung menuju kereta gerobak, tempat di mana makanan disimpan. Diky mengambil sepotong daging berukuran besar lalu meletakkannya di atas peti lain yang masih tertutup. Dengan golok itu dia memotong daging tadi menjadi beberapa bagian kecil, lalu daging tersebut ia tusuk menggunakan ranting runcing seperti sedang membuat sate. Sementara Dimas diminta untuk membawa sebagian sate karena dirasa cukup banyak.
Setelah selesai Diky bergegas meletakkan sate yang ia buat tersebut mengelilingi api unggun. Dimas langsung mengangkat alis kanan, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihat olehnya. "Ngomong-ngomong, apa kamu sedang membuat sate, Diky?"
Diky hanya menempelkan tangan ke dagu dan berpikir sejenak. "Aku rasa ini hanya daging asap. Kita tidak bisa membuat sate karena tidak ada bumbu."
Dimas hanya menghela mampu napas dan menunduk lesu. Kenangannya saat masih tinggal di Bumi, lebih tepatnya di Indonesia, mendadak mengisi pikirannya. Ia bisa ingat dengan jelas saat-saat dirinya menyantap salah satu makanan khas kesukaannya, sate ayam.
Diky pun melirik ke arah sahabat kecilnya itu. "Kau kenapa tiba-tiba diam, Dimas? Tumben sekali."
Dimas hanya menghela napas panjang dengan ekspresi kecewa. "Entah mengapa aku rindu makanan khas negeri kita, Indonesia."
Diky ikut menghela napas dan menatap api ungun yang tengah menari-nari, diikuti suara gemercik dari tumpukan kayu yang terbakar. "Bukan hanya kau saja, Dimas. Aku juga merasa hal yang sama."
Dimas hanya diam, masih belum merasa terhibur sepenuhnya. Diky mengangkat kedua bahu dan tangannya, karena sangat mengerti perasaan sahabatnya itu. "Mau bagaimana lagi, Dimas. Kita harus memanfaatkan makanan yang ada."
Dimas mengalihkan pandangannya ke arah api unggun. Meski dalam hati masih merasa kecewa, ia mau tidak mau harus menerima keadaannya saat ini. "Yah, kamu benar juga. Sayang jika kita membuang makanan yang ada."
Akhirnya Diky bisa merasa sedikit lega setelah mendengarnya dan meminta Dimas untuk membantunya. Dengan sabar mereka membalikkan daging dan menunggu, agar mereka matang sepenuhnya. Setelah dirasa cukup dua pemuda itu langsung melahap daging asap untuk mengisi perut mereka.
"Oh, iya. Apa kita akan pergi berburu sekarang?"
Tak disangka angin bertiup cukup kencang, membuat poni rambut Diky menutupi matanya. Dengan kesal dia merapikan rambut yang menghalangi pandangannya ke samping. "Sebelum itu, apa kamu bisa mencukur rambutku dulu, Dimas?"
"Ah, benar juga. Rupanya gunting yang kita temukan kemarin ada gunanya juga."
"Kalau begitu cepatlah. Makin lama rambut ini membuatku kesal."
Dimas langsung bangkit untuk mengambil gunting yang ia maksud dan sebuah cermin, yang dia simpan di dalam tenda. Setelah itu dia langsung kembali dan sedikit berjongkok di belakang Diky. "Mau dipotong seperti apa? Kalau mau dengan gaya khusus, aku tidak bisa."
"Potong pendek saja."
Tanpa menunggu lama Dimas mulai memotong. Gunting yang ia pegang terus menggunting rambut Diky yang panjang itu, dan.-Hanya butuh beberapa menit saja penampilannya pun kini berubah.
"Bagaimana, apa kamu suka, Diky?"
Saat melihat bayangan wajahnya di cermin, Diky seketika teringat masa kecilnya. Rupanya gaya rambutnya saat ini sama persis ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. "Yah, lumayan juga."
Dimas hanya tertawa geli lalu membersihkan gunting yang dia pakai barusan. "Aku ingat waktu kita kecil, gaya rambutmu selalu seperti itu."
Diky tersenyum kecil dan tertawa pelan. "Aku terkesan kau masih ingat saat itu. Sudahlah, kita harus bersiap sekarang."
Dua pemuda itu bergegas mengambil senapan di dalam tenda, yang tidak lain adalah Mosin-Nagant beserta Lee-Enfield dengan teropong yang masih terpasang. Tidak lupa masing-masing dari mereka mengenakan tas pinggang kecil sebagai tempat untuk menyimpan amunisi, walau hanya sebanyak dua puluh butir peluru saja.
Untuk berjaga-jaga Diky turut membawa golok, yang digunakannya saat menyiapkan makanan sebelumnya. Dimas mengangkat sebelah alisnya saat melihat golok di pinggang Diky. "Hah, buat apa kamu membawa itu?"
"Untuk jaga-jaga saja. Siapa tahu ada rerumputan atau sesuatu yang menghalangi jalan kita."
Dimas hanya menggaruk kepalanya lalu tertawa canggung. "Benar juga. Sepertinya hutan di sini masih belum terjamah sama sekali."
"Sudahlah. Ayo kita pergi sekarang."
Diky dan Dimas pun meninggalkan perkemahan mereka. Dalam perjalanan, dua lelaki itu harus melewati deretan pepohonan yang menjulang tinggi hingga menutupi langit, dan terkadang rerumputan liar menutupi jalan keduanya. Beruntung, sebilah golok yang dibawa oleh Diky berhasil mengatasinya.
Beberapa saat kemudian mereka akhirnya keluar dari hutan dan tiba di sebuah pantai. Setelah berjalan cukup lama, Dimas menemukan sesuatu di depannya. "Lihat di sana. Ada reruntuhan kapal."
Mereka langsung bergegas menghampiri reruntuhan tersebut. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, Diky meminta agar memeriksa dari luar saja.
Mereka mendapati bangkai kapal kayu karam dengan posisi sedikit miring. Kerusakannya pun terbilang cukup parah. Bagian lambungnya berlubang di sana-sini, seakan dihantam oleh bola-bola meriam. Tidak hanya itu, tiang utama patah disertai kain layarnya sebagian besar robek. Hanya bagian geladak saja yang nampak utuh.
Diky menempelkan tangan ke dagunya lalu memeriksa ke sekitar kapal. "Hmm, apa mungkin kapal ini milik penghuni perkemahan?"
"Aku rasa begitu," jawab Dimas seraya melihat kondisi kapal. "Apa kita periksa ke dalam? Mungkin ada harta karun di sana."
"Lebih baik biarkan saja. Aku takut lantainya juga ikut hancur, sehingga membahayakan kita."
"Benar juga. Sepertinya kapal ini sudah karam cukup lama."
Diky dan Dimas akhirnya memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanan. Tiba-tiba sekitar belasan laba-laba keluar dari lubang-lubang di sekitar lambung kapal. Merasa terancam, dua pemuda tersebut mengambil senapan yang menggantung di bahu mereka dan bersiap untuk menembak.