Sepiring nasi kuning pun sudah selesai disantap oleh Mas Huda.
"Udah Ma, makasih sarapannya hari ini ya. He ... he," kata Mas Huda yang lantas beranjak meninggalkan meja makan. Dia membenarkan kembali kemejanya yang sedikit lusuh setelah duduk sejenak di meja makan.
"Oiya. Tadi Papa pesan, kalau mau mulai kerja lagi. Katanya, disuruh untuk berhati-hati bawa motornya," kata Mama Riri.
"Siap Ma," sahut Mas Huda yang kemudian mencium punggung tangan mamanya.
"Hanifa juga berangkat ya Ma," kata Hanifa yang juga ternyata sudah siap untuk berangkat sekolah.
"Hati-hati!" sahut Mas Huda saat adik perempuannya juga berpamitan dengan dirinya. Hanifa, yang sudah kelas sebelas itu, sekarang sudah dipercayakan untuk membawa kendaraan bermotor sendiri oleh Papa Ridwan. Meskipun belum genap 17 tahun, namun usianya dianggap sudah cukup matang untuk bisa mengendalikan emosinya di jalanan. Lagipula, tinggal sedikit lagi 17 tahunnya Hanifa.
Dengan menggunakan sepeda motor matik keluaran 3 tahunan yang lalu, Hanifa segera meluncur menuju sekolahnya yang jaraknya sekitar 4 kilometer.
Sementara Mas Huda, dia hendak pergi ke toko tokonya dulu guna mengecek barang-barang apa saja yang perlu untuk distok hari itu. Dengan menggunakan sepeda motor matik yang sedikit lebih tua dari yang dipakai Hanifa, Mas Huda pun berangkat menuju tokonya yang ada di pinggir jalan besar sekitaran rumahnya. Tak jauh, hanya dengan 10 menit perjalanan Mas Huda sudah tiba di sana.
"Waduh ... ini gimana sih Dewi. Depan toko sampai kotor begini," gumam Mas Huda sesampainya di depan tokonya. Setelah beberapa hari dia di rumah, namun dia sudah menyuruh Dewi, karyawannya untuk tetap buka toko. Meski tak bisa servise sendiri, tapi minimal kalau ada Dewi yang jaga, jika ada laptop yang sudah selesai diperbaiki oleh Huda bisa tetap diambil di sana. Demikian pula jika ada pelanggan yang hendak memasukkan servisan juga bisa tetap diterima olehnya.
Setelah memarkirkan sepeda motornya, Mas Huda langsung membuka gembok toko yang disewa olehnya sudah sejak 2 tahun belakangan ini. Karena hari masih pagi, memang belum waktunya untuk buka toko.
Masih 1 jam lagi jam buka toko, sehingga Mas Huda hanya membuka sedikit saja pintu toko tersebut. Di dalam, dia pun segera mengecek barang yang nantinya dia butuhkan untuk servise laptop yang sudah masuk. Setelah dirasa semuanya sudah dia catat, Mas Huda segera menutup kembali tokonya.
"Jam 07.30 menit. Kalau ke Anugerah Komputer sekarang, mungkin nggak ya? Ketemu sama Nadia. Lagian, aku juga nggak tahu dia masuk pagi atau siang," pikir Mas Huda.
"Bagaimana aku bisa tahu jadwal kerjanya, nomor wa nya saja aku nggak punya. Kayaknya, aku memang harus bertanya langsung sama dia," kata Mas Huda lagi dalam hati.
Mas Huda pun lantas memantapkan diri untuk berangkat saja ke Anugerah Komputer. Entah nanti bakalan bertemu atau tidak dengan Nadia, yang penting dia sudah mencoba. Dinyalakannya sepeda motor miliknya, dengan mengenakan helm, jaket serta tas laptop berwarna hitam dia pun kemudian melaju menuju pusat kota. Hari yang masih cukup pagi, cuaca yang cerah tanpa awan mendung sama sekali. Kendaraan lalu lalang tiada henti, karena masih merupakan jam masuk kantor.
"Pim Pim! Hey! Lihat jalan Bro!" teriak seorang pengendara sepeda motor besar dengan cukup kasar, hendak mendahului Mas Huda saat berada di lampu merah yang sudah dekat di Toko Anugerah Komputer yang dia tuju. Kebetulan, Mas Huda berjalan perlahan namun tanpa mengalakan lampu sign motornya.
"Sabar! Pagi-pagi sudah marah-marah saja itu orang. Habis sarapan cabe rawit sekilo sendiri kali dia ya?" gumam Mas Huda sesampainya di tempat parkir toko dan dia pun mematikan mesin sepeda motornya serta melepas helm dan menaruhnya di atas spion. Dilihatnya toko masih sepi, wajar sajalah karena masih pagi. Namun demikian, seluruh pintu regol sudah dibuka dan seharusnya sudah bisa mulai melayani pelanggan. Mas Huda pun segera masuk ke dalam pintu kaca dan dilihatnya di dalam beberapa karyawan masih membersihkan beberapa bagian toko dengan lap atau pun kemoceng. Matanya berkeliling mencari keberadaan Nadia, namun sayangnya Mas Huda sama sekali tidak menemukannya.
"Duh ... benar kayaknya dia masuk siang," batin Mas Huda.
Namun saat Mas Huda hendak mendekat ke etalase, tiba-tiba saja dari arah belakangnya terdengar suara lembut menyapa.
"Lho ... Mas Huda bukan ya?" tanya Nadia.
Mas Huda yang sempat berpikir kalau Nadia masuk siang pun kemudian langsung meresponnga tanpa disengaja,"Eh ... Nadia. Aku pikir kamu masuk siang."
Kata-kata itu sontak membuat Nadia mengernyitkan kedua matanya dan bertanya,"Hah? Maksudnya gimana Mas? Emang Mas Huda nyariin saya?"
Mendengar pertanyaan tersebut, membuat Mas Huda menjadi gugup, sekaligus ada rasa deg deg an di dadanya. Tertambah, dia juga baru pertama kalinya berbicara langsung dengan Nadia diluar obrolan tentang seluruh orderan seputaran laptop dan teman-temannya.
"Oh ... iya. Eh, enggak. Ini, saya mau cari ini Nad. Bisa bantu saya?" tanya Mas Huda yang kemudian mengambil secarik kertas dari saku bajunya. Itu merupakan catatan barang-barang yang hendak dia beli di toko tempat Nadia bekerja. Sekaligus, Mas Huda hendak mengalihkan pembicaraannya dadi topik semula.
"Ooh ... jelas bisa Mas Huda. Mari silahkan ditunggu dulu sebentar ya Mas," jawab Nadia.
"Oke," sahut Mas Huda sambil menganggukkan kepalanya. Tanpa terasa, keringat pun mulai mengalir dari keningnya. Ya, bisa jadi karena grogi. Kalau panas sih sepertinya tidak. Karena kondisi Anugerah Komputer kan sudah menggunakan AC demi kenyamanan pelanggan. Mas Huda pun duduk sambil menungggu Nadia menyiapkan pesanan-pesanannya, sambil menggerakkan kaki dan ujung jarinya.
"Mas Huda? Pagi-pagi udah ngapel Kak Rara aja?" tanya Mesya dengan PDnya.
"Eh ... Mesya," sahut Mas Huda sambil tersenyum. Meski tak bisa dipungkiri, senyuman pria itu sangatlah manis. Apalagi kalau sedang grogi seperti sekarang ini.
"Kak Rara belum kelihatan Mas Huda. Emang nggak kasih kabar sama Mas Huda?" tanya Mesya.
"Ha? Kenapa emangnya dia?" tanya Mas Huda.
"Nggak tahu Mas, kirain Mas Huda malahan yang dah tahu. Kan dekat sama dia kan? He ... he," jawab Mesya.
"Dekat ... biasa saja kok. Tapi nggak sakit kan dia?" tanya Mas Huda.
Mesya pun yang sama sekali tidak tahu, hanya mengangkat bahunya. Namun setelah ada pelanggan lain yang datang, Mesya pun meninggalkan Mas Huda yang sudah dilayani oleh Nadia.
Percakapannya dengan Mesya, cukup membantu mengurangi rasa grogi Mas Huda. Namun Mas Huda juga jadi bertanya, apa yang terjadi dengan Rara.
"Mas, jadi barang pesanan Mas Huda ada beberapa yang lagi kosong nih. Ini Mas, mau ganti dengan merk lain atau dicancel aja dulu ya?" tanya Nadia sembari menunjukkan secarik kertas di tangannya.
*****
Bersambung di chapter selanjutnya ya Kak ...
Semoga pada suka dengan tulisan aku ya.