Hari itu pun berlalu, hari ketiga tanpa kehadiran Mas Huda. Seperti biasanya, Nadia kembali ke kamar kosnya dan mulai dapat beristirahat jam 9 malam.
Pikirannya kembali ke Mas Huda yang tiba-tiba menghilang. Salahnya juga, mengapa selama ini dia tidak pernah bertukar nomor ponsel dengannya.
"Lagian, masak aku yang harus minta nomor ponselnya Mas Huda? Harusnya kan dia yang minta sama aku? Dia kan cowok?" kata Nadia dalam hati kecilnya.
"Mudah-mudahan saja, Mas Huda baik-baik saja. Aamiin," kata Nadia dalam hati kecilnya.
"Lagipula … kalau memang Mas Huda kenapa-napa, aku juga kan bukan siapa-siapanya dia ya? Ngapain juga aku harus kepikiran sampai seperti ini?" kata Nadia lagi dalam hati.
Malam itu tidak seperti malam sebelumnya, entah mengapa terasa lebih dingin hingga Nadia harus mengenakan selimutnya yang biasanya menganggur.
"Brrr … kok tumben dingin gini sih?" gumam Nadia yang kemudian memutuskan untuk membuat susu jahe agar sedikit hangat.
Sekembalinya dari dapur kosan, Nadia kembali lagi ke atas kasur. Waktupun semakin malam dan jarum pendek hampir menunjuk ke angka 10.
"Hahhem …," suara Nadia yang menguap menandakan tubuhnya yang sudah diharuskan untuk mulai diistirahatkan setelah terforsir seharian. Kuliah pagi, habis itu estafet masuk kerja hingga malam hari. Untung saja suasana toko sudah tidak membosankan lagi. Minimal, sudah tidak membuat langkah kaki terasa begitu berat karena suasana yang tidak bersahabat.
Pukul 1 malam, Nadia memang rutin membunyikan alarm ponselnya untuk melaksanakan sholat tahajud. Kecuali di waktu tertentu, saat dirinya sedang masa haid sehingga diapun tidak melaksanakan ibadah sholat.
Selesai sholat, dia juga sudah terbiasa untuk membuka beberapa lembar buku kuliahnya. Sekitar satu atau maksimal 2 jam baru dia tidur kembali hingga waktu subuh tiba. Rutinitas harian Nadia memang membutuhkan stamina tubuh yang kuat. Sehingga selain mengejar waktu untuk beribadah, kerja dan kuliah, Nadia juga sesekali harus menyempatkan dirinya untuk berolahraga meski hanya sekali atau maksimal 2 kali dalam seminggu. Berlari kira-kira setengah jam di dekat taman kota.
Pagi itu, selesai bersiap untuk berangkat ke kampus tiba-tiba saja Kak Rara menelpon,"Halo Nad! Hari ini, kamu kuliah nggak?"
"Halo juga Kak Rara. Iya Kak, ini sudah mau berangkat. Emang ada apa?" tanya Nadia.
"Duh … gimana ya ngomongnya?" sahut Kak Rara.
"Hari ini aku ada acara mendadak nih, nanti tolong sebelum aku sampai di toko tolong kamu handel kerjaan gimana?" tanya Kak Rara.
"Ooh … begitu? Emangnya Kak Rara mau kemana? Terlambat berapa lama kira-kira nanti ya?" tanya Nadia.
"Paling ya … satu atau maksimal 2 jam lah," jawab Kak Rara.
"Oh begitu? Ya sudah nggak masalah Kak, nanti aku usahakan ke toko lebih awal deh," jawab Nadia.
"Oke makasih ya Nad!" kata Kak Rara.
"Sama-sama Kak," sahut Nadia.
Sambungan telpon keduanya pun sudah terputus, Nadia langsung pergi untuk naik bus untuk ke kampus.
Di dalam bus, Nadia mulai berpikir bagaimana caranya agar nanti siang dia bisa ke toko agar lebih awal. Hingga pada akhirnya dia nanti berencana untuk naik ojek saja agar bisa tiba lebih cepat ke toko daripada harus naik bus.
"Halo … tolong dikirim alamat rumahnya Mas Huda sekarang ya!" kata Kak Rara menelpon seseorang.
Setelah mendapatkan alamat rumah Mas Huda, Kak Rara pun kemudian pergi ke toko buah untuk membawakan oleh-oleh saat datang ke sana nantinya. Dengan menggunakan sepeda motor scoopy miliknya, Kak Rara menuju alamat rumah Mas Huda. Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam.
"Jauh juga ternyata!" kata Kak Rara dalam hati kecilnya saat baru sampai di depan rumah bercat putih dengan warna genteng merah bata sesuai ciri-ciri yang diberikan.
"Ting tong!" suara bel rumah yang dipencet oleh Kak Rara.
"Ting tong!" Kak Rara mencoba untuk memencet bel sekali lagi karena tidak mendengar sahutan sama sekali dari dalam rumah.
Hingga setelah bunyi bel yang kedua tersebut, seseorang akhirnya membukakan pintu,"Krek."
"Rara!" sahut pria yang membukakan pintu tersebut yang tidak lain adalah Mas Huda, dengan kepala yang diperban. Saat berjalan juga terlihat kesulitan.
"Astaga Mas Huda! Kamu ini kenapa sih?" sahut Kak Rara yang kemudian berusaha membantu Mas Huda untuk berjalan. Namun justru membuat Mas Huda berteriak,"Adduh."
"Ups … maaf maaf!" kata Kak Rara.
"Udah nggak apa-apa, sini Masuk Rara!" suruh Mas Huda.
"Oke," sahut Kak Rara dan keduanya kemudian ngobrol di ruang tamu berdua.
"Kok kamu bisa sampai sini? Gimana ceritanya?" tanya Mas Huda seraya menahan rasa sakitnya.
"Ah … sudahlah nggak usah menanyakan ceritanya aku bisa sampai sini. Justru aku yang harusnya bertanya, kok kamu bisa seperti ini? Pantas saja, sudah 3 hari nggak kelihatan ke toko sama sekali. Ternyata benar kan feelingku kamu pasti ada sesuatu," kata Kak Rara yang berbicara nerocos terus tanpa titik koma.
Mas Huda hanya tersenyum mendengarnya, meski sebenarnya senyum saja juga ada perih yang dia rasa akibat benturan saat kecelakaan yang menimpanya.
"Nadia nggak kamu ajak to?" tanya Mas Huda.
Mendengar pertanyaan Mas Huda tersebut, raut wajah Kak Rara seketika berubah. Namun dia segera menutupinya dan menjawab,"Oh … kamu kan tahu sendiri? Nadia itu orangnya kan sangat sibuk. Sebenarnya juga sudah aku ajak, tapi ya aku kan nggak bisa maksa. Iya nggak?"
"Oh … begitu? Kamu benar juga. Nadia itu orangnya begitu bersemangat, hebat!" kata Mas Huda.
Hal itu tentu saja membuat Kak Rara kembali tidak senang membahas tentang Nadia. Bukannya mencela atau kecewa, Mas Huda justru memuji Nadia di depan Kak Rara.
"Apaan sih? Cewek kayak gitu aja dipuji setengah mati?" kata Kak Rara dalam hatinya dengan muka yang terlihat yang begitu kesal.
"Hey ... awas tuh makananku pada jatuh semua!" tegur Mas Huda saat melihat Rara makan camilan tanpa memperhatikan karena hatinya yang sedang dongkol.
"He ... he. Sorry Hud. Maklum ... efek kecapekan akibat perjalanan jauh, mana panas lagi di jalan. Tuh lihat, kulitku yang putih jadi merah-merah kayak gini," sahut Kak Rara.
"Halah-halah ... bilang aja kamu kalau lagi kesel aku muji Nadia dari tadi. Ibu Rara Ibu Rara," kata Mas Huda sambil tertawa.
"Eeh ... enak aja. Sekarang ... atas alasan apa coba aku harus kesel sama Nadia. Ih ... nggak level," kata Kak Rara dengan PD nya.
"Asal kamu tahu ya Hud, Nadia itu memang kelihatannya aja polos ... lurus tanpa dosa tak tahu apa-apa. Tapi kita kan nggak tahu sebenarnya dia anaknya seperti apa," kata Kak Rara yang dengan sengaja menjelek-jelekkan Nadia di depan Mas Huda.
Mendengar kata-kata Rara, yang notabene merupakan teman kerja Nadia bisa-bisanya berkata semacam itu kepadanya. Mas Huda hanya bisa mengernyitkan dahinya.
"Wah wah wah ... sepertinya memang ini ada sesuatu yang nggak beres nih. Ada udang kayaknya di balik rempeyek," kata Mas Huda dalam hatinya.
*****
Bersambung di chapter selanjutnya ...