Selena masuk kedalam rumahnya dengan membawa paperbag yang sedikit basah. Jalannya masih tertatih karena kejadian tadi, ada sedikit memar di sekitar pergelangan kakinya.
"Astaga." Yuanita turun dari tangga langsung berteriak ke arah Selena.
Dia langsung menyambar paperbag yang ada ditangan Selena, "Baju saya ini kenapa? Ini ke papa bisa kayak begini?" Yuanita menunjuk ujung roknya yang sedikit basah.
"Itu kan cuma sedikit saja basahnya Ma." Jawab Selena.
"Sedikit kamu bilang? Heh asal kamu tahu aja ini baju harganya mahal banget, kalau sampe rusak gimana? Kamu mau tanggung jawab?" Yuanita semakin meninggikan nada bicaranya.
"Maaf Ma, tadi aku jatuh dari motor pas ambil itu."
"Terus hubungannya sama saya apa? Kamu pikir saya peduli kamu jatuh darimana aja? Udah sana pergi! Lama-lama dilihat jadi tambah emosi saya."
Selena pergi ke kamarnya setelah mendapat perintah dari mamanya, atau lebih tepatnya adalah usiran.
Dia menghembuskan nafasnya setelah sampai dikamar, hanya disini dia bisa bernafas lega tanpa ada tekanan dan perintah seperti tadi.
Kakinya yang memar membuatnya sedikit kesulitan berjalan, jadi dia mengompresnya dengan sisa es batu dari minumannya.
Selena meringis saat merasakan dinginnya es yang mengenai kakinya, "Aduh sakit banget."
Entah kenapa tiba-tiba air matanya jadi keluar, apa mungkin saja rasa sakit dikakinya yang sedang dirasakan.
Hujan diluar semakin deras dengan iringan suara guntur, membuat Selena sepontan menutup telinganya rapat-rapat.
Sejak kecil Selena sangat takut dengan suara guntur terlebih lagi petir, tubuhnya akan bergetar saat mendengar suara guntur.
Hal ini dimulai semenjak dia pernah dikurung dalam keadaan hujan. Waktu itu saat berumur delapan tahun, dia pernah dikurung di gudang karena tidak sengaja membuat Mentari terjatuh dari sepedanya.
Sebenarnya yang terjadi saat itu adalah Selena sedang menunggu Mentari untuk bergantian bermain sepeda dengannya, tapi ternyata karena tidak hati-hati Mentari menabrak batu yang menyebabkannya terjatuh.
Melihat hal itu ibu tirinya langsung menuduh Selena sebagai penyebab Mentari jatuh dari sepeda. Mentari mengalami cidera di kepalanya yang semakin membuat Yuanita dan Atma marah besar padanya.
Sebagai hukuman, Atma mengurung Selena di gudang semalaman. Waktu itu hujan sangat deras yang membuat Selena ketakutan karena sendirian didalam gudang. Atap yang berlubang menampilkan beberapa petir yang menyambar dilangit.
Hampir semalaman Selena tidak bisa tidur karena mendengar suara guntur dan petir. Badannya menggigil ketakutan semalaman, sampai paginya saat bibi yang diutus mengeluarkan Selena menemukannya dalam keadaan pingsan dengan demam tinggi.
Sejak itu setiap ada suara guntur badan Selena akan bergetar mengingat kejadian masa lalu.
Seperti saat ini, Selena memeluk badannya sendiri dibalik selimut sambil menutup rapat telinganya.
Hal ini sangat mengganggu kehidupannya, terlebih saat berada diluar rumah. Saat mengalami panic attack Selena akan membuat orang disekitarnya jadi kerepotan.
Tiba-tiba terdengar suara dari ponselnya yang ada diatas meja, namun karena Selena sedang ketakutan dibalik selimut dia menghiraukan panggilan tersebut.
Tertulis nama Kalani diatasnya, perlahan ponsel Selena juga mati karena penelpon sudah memutuskan sambungan.
***
Tanpa disadari hari sudah mulai gelap, Selena juga baru terbangun dari tidurnya yang tidak disengaja. Badannya terasa sakit saat digerakkan, mungkin ini efek dari kecelakaan tadi siang.
Tangannya mencari benda pipih yang ada di nakas samping tempat tidurnya, Selena melihat jam yang ternyata sekarang sudah jam delapan malam.
Dia terperanjat dan segera bangun dari kasurnya, Selena lupa kalau malam ini papanya baru pulang dari Vietnam untuk urusan bisnis.
Selena segera turun ke lantai bawah untuk ikut menyambut kedatangan Papanya yang sudah pergi hampir lima hari.
"Mau kemana kamu?" tepat saat Selena baru turun dari tangga mamanya sudah lebih dulu menanyainya.
"Mau ketemu papa." Jawabnya dengan antusias.
"Papa? Papa kamu tuh nggak bakal mau ketemu sama kamu, lagian buat apa juga?"
Selena melanjutkan langkahnya mendekati mamanya, "Dia papa aku."
Bukan jawaban yang keluar dari mulut mama tirinya, melainkan suara tawa yang mengisi ruangan.
"Hahaha papa kamu? Sejak kapan? Atma Wijaya itu papanya Mentari bukan Selena." Dengan bangga Yuanita menunjuk foto anak kesayangannya yang terpajang di dinding dekatnya.
Sebenarnya Selena ingin sekali membalas ucapan dari mama tirinya, tapi dia tidak bisa. Hal yang buruk mungkin akan menimpanya jika Selena terus membantah ucapan Yuanita.
"Mentari, Mentari." Yuanita memanggil nama anaknya yang sepertinya sedang berada dikamar.
"Mentari kayaknya ketiduran Ma." Sahut Selena.
"Kamu pikir dia kayak kamu yang kerjaannya cuma tidur? Dia itu lagi belajar buat mempersiapkan lomba matematika."
"Hah lima matematika?" Selena antusias mendengar Mentari mendapat kesempatan itu.
"Kamu iri?"
Selena menggeleng kuat, "Enggak kok aku seneng banget Mentari bis ikut lomba."
"Cih dasar bermuka dua." Yuanita lalu pergi meninggalkan Selena, dan kembali menaiki tangga untuk memanggil Mentari.
Selena yang ditinggal sendiri memutuskan untuk kembali melanjutkan langkahnya keluar dari rumah.
Dengan senyum lebar dia berdiri di depan teras rumahnya menunggu kedatangan Papanya.
"Mbak Selena kenapa senyum-senyum?" Bi Lastri yang sedang mengelap meja depan menanyai Selena.
"Hehehe lagi nunggu papa Bi."
"Oh pantes aja senyum-senyum." Bi Lastri ikut tersenyum padanya.
"Iya Bi."
"Ngapain kamu masih disini?" Yuanita kembali menemui Selena bersama dengan Mentari.
"Jangan marah-marah sama kak Selena lah Ma! Kan papa juga papanya kakak." Sahut Mentari.
"Ya beda lah sayang, udah yuk kita kedepan aja!" Yuanita menarik tangan Mentari dengan paksa.
Sedangkan Selena hanya tersenyum membalas ajakan Mentari.
"Dasar bermuka dua." Bi Lastri menggelengkan kepalanya melihat kejadian tadi.
"Eh nggak boleh gitu bi!" sahut Selena.
"Mbak Selena, ibu itu udah keterlaluan sekali sama mbak. Bibi kadang suka heran sama mbak Selena yang baik banget, apalagi meladeni ibu tiri kayak begitu." Bi Lastri menepuk bahu Selena.
"Bagaimanapun dia juga mama aku Bi, siapa tahu kan Mama bisa berubah karena terus melihat kebaikan Selena. Kata pepatah kan batu yang keras pun bisa berlubang kalau setiap saat ditetesi air."
"Entah terbuat dari apa hati kamu, andai saja bibi yang jadi orang tuamu pasti bakal bangga sekali."
Selena jadi sedikit tertawa mendengar ucapan Bi Lastri, "Sekarang juga kalau mau Selena jadi anak bibi bisa kok."
"Wah ya nggak cocok lah, masa anaknya cantik begini ibunya begini." Ucap Bi Lastri sambil menunjuk dirinya sendiri dan Selena.
"Hahaha ya nggak apa-apa kan Bi Lastri juga cantik."
"Huss nggak boleh bohong!" Bi lastri kembali menepuk bahu Selena dan masuk kedalam rumah.
Selena ikut berjalan menuju keluar rumah menuju ke halaman depan untuk ikut menyambut kedatangan Papanya.
Sayang sekali saat sampai di sana, dia melihat papanya tengah tersenyum bahagia bersama dengan mama dan adik tirinya.