Menyadari perbedaan yang sangat ketara membuat Selena tidak jadi melangkah maju. Dia juga sayang dengan Mentari, bagaimanapun sebagai kakak dia harus bisa mengalah.
Papanya membawa beberapa paperbag besar yang langsung diberikan pada Yuanita. Jujur saja dihari ulang tahunnya, Selena juga ingin mendapat hadiah dari orang tuanya.
"Hai Pa." Sapanya saat Atma lewat didepannya.
Seperti debu yang tidak terlihat, untuk menengok ke arahnya pun tidak. Hatinya terasa sesak saat mendapat perlakuan seperti ini, tapi Selena mencoba mengembalikan lagi senyumnya.
Dengan berat hati, Selena mengikuti langkah papanya dari belakang. Mentari menengok ke arahnya dan hendak menggandeng tangannya tapi segera dicegah oleh Selena. Dia tidak mau kalau sampai Mentari kena marah mamanya akibat dirinya.
"Kenapa?" ucap Mentari tanpa suara.
Selena hanya menjawab dengan gelengan kepala, dan dia menyuruh Mentari untuk kembali melihat ke arah depan dengan gerakan tangannya.
Mereka akhirnya berada ditengah ruangan besar yang dijadikan sebagai ruang keluarga.
"Mentari kemarin papa lihat ada sweater bagus banget, kayaknya kamu cocok deh pakai itu. Apalagi sekarang kan sedang musim hujan jadi biar nggak kedinginan pas masuk sekolah dipakai ya!" Atma memberikan satu paperbag pada Mentari.
"Bagus Pah, tapi untuk kak Selena mana? Kan kak Selena yang sering naik motor." Mentari menatap Selena yang berdiri tidak jauh darinya.
"Emm ini untuk Mentari dulu, jangan lupa dipakai! Oh iya bagaimana persiapan lomba kamu?" Atma mencoba mengalihkan pertanyaan dari Mentari.
"Persiapan lombanya lancar, cuma aku masih ada kesusahan di mengontrol waktu aja Pah."
Atma mengelus rambut Mentari, "Enggak apa-apa namanya juga baru belajar, kalau udah terbiasa juga kamu pasti jago banget."
"Iya dong mas, anak kita kan memang pinter udah gitu cantik lagi." Sahut Yuanita.
Selena menahan air matanya agar tidak terjatuh sekarang, melihat pemandangan didepannya Selena merasa sedang bermimpi. Antara ada dan tiada, mereka bahkan tidak memperdulikan kehadirannya.
Semakin lama kepalanya bertambah pusing, Selena memutuskan untuk pergi dari sana. Saat membalikan badan satu kotak berbalut koran menimpa punggungnya.
"Itu buat kamu." Terdengar jelas suara papanya.
Selena kembali memutar badannya dan mengambil kotak yang jatuh tadi, "Terima kasih Pah."
"Ya udah sana!"
Karena mendapat perintah dari papanya, Selena kembali melangkah keluar ruangan.
Sedikit terdengar suara mama dan papanya yang bertikai sebelum Selena keluar dari sana.
"Kenapa dikasih sih mas?" Yuanita protes karena Atma memberi hadiah untuk anaknya.
"Kan kak Selena juga anaknya papa, ngapain mama malah marah?" sahut Mentari.
"Bukan begitu sayang, tapi biar aja lah. Lagian itu juga bukan aku yang beli kok, kemarin ada orang ninggalin itu dimeja jadi ya udah dibawa pulang deh." Atma menjelaskan pada Yuanita dengan senyum yang mengembang.
"Papa kenapa sih kayak begitu sama kak Selena?" merasa kesal dengan sikap papanya, Mentari mencoba bertanya.
"Mentari, kamu nggak usah ngurusin yang tidak-tidak! Mending sekarang kamu pergi ke kamar dan selesaikan tugas kamu!" sahut Mamanya.
Mentari juga melangkah keluar dari ruang keluarga dengan perasaan yang marah pada kedua orang tuanya.
Melihat dan mendengar kejadian tadi membuat Selena semakin merasakan pusing. Dia menutup pintu kamarnya dan duduk ditepi kasurnya dengan satu tangan yang terus memegangi kepalanya.
"Kenapa malah makin parah sih?" Selena berbicara dengan bayangannya dicermin.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan terlihat sosok Mentari yang berdiri didepannya. Mentari lalu kembali menutup pintu dan menguncinya.
"Ada apa Tar?" Selena berhenti memegangi kepalanya dan berusaha bersikap biasa.
"Ini buat kakak." Mentari menyerahkan satu kotak besar pada Selena.
"Apa ini?" Selena menerimanya dengan senang hati.
"Selamat ulang tahun kakak tersayang." Mentari memeluk Selena yang masih duduk ditepi kasur.
Selena juga membalas pelukan Mentari dengan tulus, "Terima kasih adikku."
Cukup lama mereka berpelukan sampai Mentari melepas pelukannya karena bersin.
"Haciim." Mentari menutup mulutnya yang baru saja bersin.
"Kamu kenapa? Kena pilek?" Selena mengecek keadaan Mentari.
"Bukan, ini gara-gara tadi pas pulang dari akademi malah main hujan."
"Ya ampun udah gede begini masih main hujan?" Selena melotot kearah Mentari.
"Hehehe soalnya kan dari kecil nggak dibolehin main hujan."
"Tapi kan jadinya kamu malah bersin kayak tadi."
"Udah nggak apa-apa, ini hal biasa kok. Oh iya aku mau tanya, kenapa tadi kakak diem aja?" Mentari mendekatkan wajahnya pada Selena.
"Jangan deket-deket! Tadi kan habis bersih." Selena mendorong kepala Mentari agar menjauh darinya.
"Ih kan tadi aku udah bilang, aku tuh nggak pilek. Tinggal jawab pertanyaan gimana susahnya? Jangan suka mengalihkan pembicaraan deh!"
Selena menghembuskan nafasnya cukup panjang, "Emm apa ya? Aku juga nggak tahu, tapi aku merasa tadi kayaknya papa bahagia banget bisa ketemu kamu sama mama jadi aku nggak mau ngeganggu momen itu."
"Kan kak Selena juga anaknya papa, anak kandung loh. Kalau dipikir kenapa papa bisa berbuat seperti itu rasanya agak aneh deh."
Selena memiringkan kepalanya, "Aneh apanya?"
"Enggak ada alasan apapun untuk membenci anaknya sendiri. Lagian kakak kalau diperlakukan begitu kenapa diam aja sih?"
Selena terdiam, kenapa harus diam? Itu adalah pertanyaan dari Mentari. Karena diam membuat Selena bisa merasa lebih baik daripada beradu mulut yang ujung-ujungnya dia akan kalah juga.
"Kenapa diam? Ya karena semua permasalah itu nggak perlu tindakan. Coba kamu pikir, gimana jadinya kalau aku ngebantah atau ngejawab? Pasti masalahnya akan bertambah rumit, mama sama papa juga akan semakin sama aku."
Mentari menatap Selena dengan tatapan sendu, walaupun menjadi anak kesayangan di keluarga tapi Mentari tetap ingat kalau Selena adalah kakaknya. Mungkin di keluarga ini satu-satunya orang yang menyayangi Selena hanya Mentari.
"Sabar ya kak! Aku yakin nanti papa bakal Sadat kok, aku juga berusaha buat papa bisa sayang lagi sama kakak. Pokonya jangan sampai kak Selena benci sama aku gara-gara papa lebih sayang sama aku!"
Selena tersenyum melihat wajah Mentari yang menatapnya, "Enggak akan Tar. Kamu itu adik kesayangan aku, mungkin kadang memang aku iri karena papa lebih sering bareng kamu."
"Jujur kak aku nggak ada niatan kayak begitu."
"Iya aku tahu kok, lagian juga kan cuma iri bukan benci. Udah kamu mending balik ke kamar terus istirahat aja deh, udah malem soalnya. Besok kalau kesiangan kan nggak lucu."
"Iya kak, kak Selena juga harus cepet tidur ya!"
"Iya-iya."
Mentari menunjukan jari kelingkingnya, "Janji?"
"Hahaha ada-ada aja kamu."
"Janji?" Mentari tetap menunjukan kelingkingnya.
"Iya-iya janji." Selena menautkan kelingkingnya.
Satu hal kecil yang terjadi malam ini sedikit menghibur hati Selena, walaupun tidak sepenuhnya. Setelah Mentari keluar dari kamarnya Selena memandangi dua kotak yang ada di kasurnya.