Chapter 11.
Kaluarga Fon Vamalia, adalah keluarga yang terkenal akan bisnisnya. Ayah Ludra, adalah seorang pengusaha Batubara, Minyak dan perhotelan yang terkenal di dunia.
Di Ignea, siapa yang tidak mengenal Fon Vamalia. Usaha yang mereka bangun sangat besar, dan sudah menciptakan jutaan lapangan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan.
Rata-rata mereka bekerja di hotel, dan penambang batubara. Perusahaan ini bergerak di lima puluh negara terkenal. Itu sebabnya, setiap bulannya perusahaan Fon Vamalia menghasilnya pendapatan sekitar 100 triliun, yang menjadikan perusahaan Fon Vamalia menjadi, perusahaan raksasa terbesar di dunia.
Satu tahun Ludra menetap di Dubai, untuk mengawasi perusahaan batubara yang ada di sana. Selama itu juga Ludra jarang berkomunikasi dengan Alisa, yang membuat gadis itu sering dilanda cemas yang teramat besar.
Dia sering marah dan berdebat ketika Ludra menyempatkan dirinya untuk berbicara melalui telepon. Namun, dalam hatinya, Alisa merasa lega karena keadaan Kakaknya itu baik-baik saja.
Hari ini setelah menanti selama satu tahun, akhirnya Ludra kembali ke Ignea. Betawa bahagianya Alisa saat bisa memeluk kakaknya secara langsung kembali. Sudah sangat lama dirinya ingin memeluk dan memarahi Ludra, dan sekarang dia akan menceramahi Kakaknya itu setiap hari.
Alisa tidak henti-hentinya mengumbar senyum. Terlihat dia sangat bahagia ketika memandang wajahnya di cermin.
Perlu waktu lama baginya untuk memilih gaun yang cocok untuk pergi jalan-jalan dengan Kakaknya. Sudah seperti kekasih, Alisa berusaha berpenampilan cantik, dan tidak ingin mengecewakan Kakaknya.
Setelah hampir tiga puluh menit berdandan, akhirnya Alisa keluar kamar dengan penampilan yang sempurna.
Ludra yang tengah menunggu di sofa pun dibuat terpukau, ketika melihat penampilan adiknya itu, layaknya seorang putri kerajaan.
Alisa menuruni anak-anak tangga dengan langkah yang begitu anggun. Dirinya tidak ingin terlihat seperti wanita murahan di depan Kakaknya.
Ludra meletakkan majalah yang sebelumnya dia baca ke meja. Seketika, pandangnya tidak ingin berpaling dari paras cantik adiknya.
Dia terus berdecak kagum, saat tahu Alisa memiliki aura layaknya seorang Ratu.
Alisa memakai gaun yang panjangnya sampai lutut, berwarna merah muda dengan motif bunga lotus. Tidak lupa dia juga memakai aksesori leher dan perlengkapan lainnya, seperti tas dan pita.
Rambutnya dibiarkan tergerai, dan diberi sentuhan bergelombang di ujung pangkal rambutnya.
Alisa sedikit melirik pada Kakaknya yang saat ini berdiri mematung, sambil memandang dirinya penuh takjub. Alisa merasa tidak enak hati, karena penampilannya ini sudah membuat pria sampai bersikap demikian.
"Kakak."
Seketika lamunan Ludra terpecah, saat Alisa memanggilnya dengan nada suara lembut. Pemuda itu terlihat kikut untuk beberapa saat, sebelum akhirnya dia berkata.
"Kau ... Kita ini hanya pergi untuk berjalan-jalan saja, bukan pergi ke pesta pernikahan. Mengapa penampilanmu sangat mewah? Pakai saja baju yang sederhana, itu akan terlihat lebih baik."
Ludra menggerutu kesal, untuk sesaat dirinya boleh saja terpesona dengan kecantikan Alisa. Namun, dia sadar sebenarnya penampilan Alisa terlalu berlebihan.
Alisa menaikkan satu alisnya, "Kakak ini. Seharusnya Kakak memujiku, dan bukan menggerutu seperti itu. Aku benci Kakak."
Pada kenyataannya, Alisa tetaplah seperti anak kecil, yang akan merasa kesal ketika dikritik, atau ketika suasa harinya sedang tidak baik.
Ludra menelan ludahnya, tentu yang dia katakan tidak salah, tetapi sikap Alisa yang kekanak-kanakan membuat Ludra harus menahan emosinya agar tidak menyinggung perasaan Alisa lebih dalam lagi.
"Baiklah, Adikku yang cantik. Kakak minta maaf. Sesungguhnya aku tidak bermaksud ingin menghina penampilanmu, Sayang. Sudah, lupakan kata-kataku tadi, sebaiknya sekarang kau tersenyum, atau kecantikanmu itu tidak akan terlihat."
Hal pertama yang terbesit di pikiran Ludra adalah berkata manis. Biarpun dia sudah tersenyum, dan mengeluarkan semua rayuan gombalnya, tetap saja itu tidak membuat suasa hati Alisa menjadi baik.
"Ayolah tersenyum, Adik manisku. Maafkan, aku yang tidak pandai memuji wanita ini. Kau tahu bukan, aku tidak pernah mendekati wanita, jadi wajar saja tidak bisa bersikap baik di hadapan perempuan," tuturnya lesu, sambil menunjukkan wajah bersalah.
Alisa sudah mengetahui arti dari perkataan Ludra itu. Dia tahu betul bahwa, Kakaknya memang tidak pandai berkata-kata manis pada wanita, yang membuat dirinya susah mendapatkan pacar.
Alisa sedikit menunjukkan senyuman, tetapi dia tetap terlihat kesal, walaupun sudah tidak seperti sebelumnya.
"Baiklah, aku akan memaafkan Kakak, tetapi Kakak jangan ulangi lagi hal seperti itu. Aku berdandan cantik, itu semua aku lakukan agar Kakak tidak merasa kecewa. Akan tetapi, Kakak malah menghinanya."
Ludra sadar betul, kalau kata-katanya sudah menyinggung perasaan Alisa. Bagaimana juga dia merasa bersalah atas hal yang telah diucapkannya.
"Jadi, kau sudah memaafkan Aku?" tanya Ludra untuk memastikan, yang didengarnya tidaklah salah.
Alisa menganggukkan kepalanya, senyuman mulai menghias di bibirnya kembali, "Aku tidak bisa marah kepada Kakak. Sampai kapan pun, aku tetap menyayangi Kakak," tutupnya sambil memeluk Ludra.
Entah ini pelukan yang keberapa, Alisa tidak memedulikannya. Baginya tidak ada kata puas untuk memberikan kasih sayang.
"Cukup pelukannya. Tubuhku terasa sakit karena sejak tadi, kau terus memeluk diriku," gerutu Ludra.
Tidak lama kemudian Alisa melepaskan pelukannya, sambil terkekeh. Alisa kembali menunjukkan senyumannya, tentu membuat Ludra bernapas lega.
Sejak tadi adiknya itu sangat sensitif, ditentang sedikit saja dia langsung marah. Apalah daya Ludra yang harus putar otak untuk membuat suasana hati Alisa kembali ceria.
"Ayo, kita pergi!"
Sesudah itu, Alisa yang paling bersemangat. Tangan Ludra ditarik dan dipaksa untuk berlari mengikutinya.
Ludra hanya bisa pasrah. Selama satu tahun berada di luar negeri, membuat sikap Alisa semakin manja setelah dirinya kembali.
Keduanya berjalan dengan cepat menuju parkiran. Ludra ingin menggerutu, tetapi tidak untuk hal ini, sebab kemungkinan Alisa akan kembali marah andai, keinginannya ditentang.
"Kita akan pakai mobilku saja. Biarkan aku yang menyetirnya," ucap Alisa, dengan antusias.
Sebuah mobil mewah keluaran salau satu perusahaan terkenal itu, nyatanya milik Alisa. Ludra sempat terkejut ketika melihat mobil tersebut dari kejauhan.
Selama ini dia belum pernah melihat mobil dengan model mini itu, terparkir di halaman rumahnya. Nyatanya selama satu tahun menetap di Dubai, sudah banyak perubahan yang terjadi di kediamannya.
"Jadi ini mobil milikmu, tapi kau belum cukup umur untuk mengemudikannya?" tanya Ludra ragu-ragu.
Di kota Ignea, seseorang yang ingin berkendara sendiri, mau itu roda empat atau dua, maka pemilik kendaraan tersebut minimal berusia di atas delapan belas tahun. Sedangkan Alisa masih berusia tujuh belas tahun.
Biarpun dia sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk, tetapi dia belum diperbolehkan mengemudi sendiri.
Alika tertegun sejenak, terlihat pikirannya yang koson seolah sedang mencerna perkataan kakaknya. Namun, dua menit berselang, gadis itu mulai bereaksi.
"Kakak tidak usah memikirkan hal itu. Sebaiknya Kakak masuk saja dan jangan banyak berkomentar. Semakin banyak Kakak berceloteh, maka kita tidak akan pergi jalan-jalan," paksanya sambil mendorong tubuh Ludra masuk ke mobil.
Pada awalnya Ludra sempat khawatir, kalau ucapannya akan menyinggung perasaan Alisa, dan tentu itu tidak akan baik hasilnya. Namun, kecemasan itu seketika sirna dan berganti kebingungan yang mengusik di dalam pikiran.