Chapter 16.
"Ibu!" tegur Lars, sontak saja langsung membuat Fanny tersadar dari lamunannya. dia tersentak kaget ketiga Lars menyentuh bahunya dengan pelan.
"Ya, Sayang." Fanny berusaha meraih kesadarannya kembali setelah diam untuk waktu yang cukup lama, lalu selanjutnya dia menatap manik kesayangannya itu dengan lekat.
Lars mengerutkan keningnya, "Ibu kenapa? Mengapa air wastafel-nya dibiarkan menyala?"
Fanny membuka mulutnya dan membentuk huruf O besar. Hal yang pertama membuat Lars bertanya-tanya, yaitu air wastafel-nya dibiarkan menyala dan membuat airnya sampai membasahi lantai. Lalu, hal lainnya adalah, ketika Lars menunggu di ruang makan dan Fanny tidak kunjung datang membuat Lars pergi untuk memeriksanya.
Fanny terkekeh, mencoba untuk menyusun kalimat yang bisa memuaskan pertanyaan putranya. "Ibu baik-baik, Sayang," akunya sambil mengelus pipi Lars.
"Bohong! Ibu berbohong!" Lars mendekatkan tubuhnya pada Fanny. Namun, langkahnya berbelok dan waktu bersamaan tangannya meraih gagang air yang ada di wastafel, dengan satu kali gerakan air yang semula membanjiri lantai tersebut akhirnya berhenti. Barus setelah itu, Fanny sadar kalau dirinya sudah lalai.
"Apanya yang baik-baik saja, Bu? Lihatlah, airnya sampai keluar dan membuat lantainya menjadi basah," tunjuk Lars dengan penuh penekanan.
Fanny pun menyadari kalau dirinya sudah melakukan suatu kesalahan dan tidak lagi bisa mengelak dari kebenaran sekarang. Lars pun mendekatkan diri pada ibunya, lalu memeluk Fanny dengan penuh kasih sayang.
"Aku ada di sini. Ibu bisa mengatakan semua masalah yang sedang Ibu rasakan padaku. Jangan disimpan sendiri seperti ini," kata Lars berusaha untuk menenangkan ibunya yang tengah kalut itu.
Fanny pun tidak bergeming, bibirnya saja hanya bergetar, tetapi tidak ada satu katapun yang dapat diutarakannya.
Lars ingin mengatakan hal lain dan belum sempat Fanny menjawab, Baron Magnus mendadak datang dan menyapa keduanya.
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
Baron Magnus berdiri dengan ekspresi bertanya-tanya, dia melangkah mendekati keduanya yang berdiri di depan wastafel.
Lars pun melepaskan pelukannya, Fanny tampak menyeka keringatnya yang sebenarnya adalah air mata. Fanny, sudah berusaha dengan keras agar tidak menangis, tetapi air mata itu tetap jatuh juga.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Baron Magnus keheranan, tetapi dia juga cemas saat melihat mata Fanny yang memerah.
"Aku baik-baik saja, Sayang," balas Fanny berbohong. Lars pun menyadari perubahan sikap ibunya yang berbeda saat sedang memasak tadi.
"Ibu pasti habis menangis, Ayah," serga Lars yang membenarkan kalau ibunya itu sedang tidak baik-baik saja.
Mereka sudah bisa menebak kalau ada sesuatu yang coba Fanny tutup-tutupi, tetapi sekeras apa pun Fanny berusaha, usahanya itu tetap saja sia-sia.
Lars dan Baron Magnus, nyatanya sudah menyadari ada hal yang sedang dirahasiakan oleh Fanny. Namun, wanita itu enggan mengatakannya.
Fanny masih terdiam cukup lama, Baron Magnus bisa menebak kalau istrinya itu sedang menata hatinya dan Lars pun merasakan hal serupa.
"Sebaiknya kau tidur, Sayang. Ini sudah larut malam dan besok kamu juga harus pergi ke sekolah," pinta Fanny, setelah berhasil mendapatkan kesadarannya kembali.
Lars mengerutkan keningnya, "Tapi …" tolaknya. Namun, Fanny langsung menjawab. "Kamu harus istirahat, Sayang. Setidaknya pikirkan tentang kesehatanmu karena pastinya kamu akan sulit beristirahat nanti, Sayang."
"Benar yang ibumu katakan, Lars. Kau harus istirahat dan tidak mencemaskan hal lain lagi. Besok, kau harus pergi ke sekolah. Jadi, istirahatlah sekarang!" perintah Baron Magnus menambahkan.
Lars ingin menolaknya, tetapi demi menghormati kedua orang tuanya maka Lars pun menerimanya.
"Baiklah, aku akan istirahat sekarang," balas Lars mencoba untuk menerimanya.
Sebelum Lars meninggalkan tempat itu, dia lebih dulu memeluk Fanny dan mencium kening ibunya itu, "Selamat malam Ibu … Ayah." Tidak lama kemudian Lars pun melakukan hal sama pada Baron, tetapi dia tidak mencium kening ayahnya itu.
"Selamat malam, Sayang. Mimpi indah. Ingat, langsung tidur dan jangan bergadang," pesan Fanny. Lars pun mengangguk pelan.
"Selamat malam, Jagoan. Dengarkan kata-kata ibumu itu, jangan berdagang dan langsung tidur. Mengerti!"
Baron Magnus ikut berpesan dan menekankan pada Lars agar tidak memikirkan tentang Fanny karena itu akan menjadi urusannya, nanti.
Lars pun mengangguk dan tidak ingin membantah apa perkataan dari orang tuanya. Dia segera melangkah pergi dari mereka, berjalan menaiki anak-anak dan menuju kamarnya.
Setelah Lars tidak lagi terlihat oleh pandangan mereka, barulah Fanny memeluk Baron Magnus begitu erat.
Seketika tangisan Fanny pecah dalam pelukan tersebut, sebelumya Fanny tidak ingin menunjukkan air matanya di hadapan Lars karena akan menimbulkan pertanyaan besar di benak putranya itu.
Baron Magnus mengelus bahu Fanny agar istrinya itu lebih tenang. Setelah beberapa menit dan Fanny mulai mendapatkan ketenangannya kembali, barulah dia mulai bercerita.
Baron Magnus langsung mengerutkan keningnya. Fanny menyadari perubahan ekpresi wajah dari suaminya itu. Baron Magnus membuka mulutnya lebar-lebar, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
****
Pagi harinya. Baron Magnus langsung menemui Nicu di suatu tempat dan hanya mereka yang mengetahuinya.
Baron Magnus menceritakan semua yang diceritakan Fanny pada Nicu dan saat itu juga Nicu langsung membenarkan hal tersebut.
"Apa? Jadi benar, semalam beberapa orang dari bangsa Vampire hendak menyerang Pangeran?"
Nicu mengangguk dan membenarkan hal tersebut dan dia juga menambahkan, kalau saat orang-orang menutupi aura keberadaan mereka dengan sangat baik, sehingga siapa pun tidak akan menyadari kedatangan mereka.
Baron Magnus semakin terkejut, pantas saja dia tidak mengetahui kalau rumahnya sudah didatangi oleh tamu tak diundang.
"Ternyata, mereka sudah menemukan cara untuk menutupi aura keberadaan mereka dariku. Bagus sekali cara mereka ini," pikir Baron Magnus, sambil mengelus dagunya.
Nicu pun memikirkan hal yang sama, sebab saat kejadian dirinya berada di sana. Nicu selalu ada di kediaman Baron Magnus setiap saat, hampir dua puluh empat jam dia berada di sana hanya untuk melindungi Lars dari kejauhan, tentunya itu semua tanpa Lars sadari.
Baron Magnus berputar-putar di ruangan tersebut, mondar-mandir seperti setrikaan. Dia sedang berpikir bagaimana cara untuk menghalau para bangsa Vampire agar tidak mendekati Lars.
"Mereka sebenarnya sudah sejak lama mengetahui keberadaan pangeran Lars di sini," celetuk Nicu, sontak menyadarkan Baron Magnus dari lamunannya.
Tubuhnya berbalik, langkah cepat segera diambilnya dan mendekatkan diri pada Nicu, "Sejak kapan kau mengetahui hal ini? Mengapa aku tidak menyadari sebelumnya?"
Baron Magnus tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, Nicu mengelah napas panjang dan tersenyum pahit. Dia pun sulit untuk menjelaskannya dari mana dan bagaimana caranya dia memulai cerita ini.
Baron Magnus masih menunggu jawaban dari Nicu, sementara itu Nicu mencoba meraih kesadarannya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia mulai bercerita.
"Mereka sudah mengetahui mengetahui keberadaan Pangeran di Alam Manusia, sejak Tuan Baron keluar dari hutan Keabadiaan."
Sedikit demi sedikit, Nicu mulai bercerita. Baron Magnus semakin tidak bisa mengendalikan emosinya.
"Mereka menempatkan seseorang yang ada di Kerajaan Cloud Armor untuk memata-matai di sana. Ketika Cloud Armor hancur dan Yang Mulia Raja Claudio mati, saat itulah Luciano memerintahkan mata-matanya untuk mengejar Tuan."
Nicu pun menutup penjelasannya. Baron Magnus tidak lagi bisa menahan kemarahannya. Dia geram, marah dan kesal. Lalu, tanpa terkendali Baron Magnus memecahkan sebuah vas bunga yang ada di sana.
BRAK …
Seketika vas tersebut hancur berkeping-keping, Nicu tersentak dan memilih untuk tidak melanjutkan ceritanya.