chapter 13
Mendengar kalau Ludra belum memiliki kekasih apa lagi istri, membuat para penjaga kasir pun tampak sibuk. Di antar mereka, ada yang merapikan rambut, pakaian serta merias wajah, agar terlihat lebih cantik dari sebelumnya.
Hal tersebut mereka lakukan, guna menarik perhatian Ludra dari keluarga Vamalia itu. Alisa yang menyaksikan hal itu, hanya bisa tersenyum mengejek pada kakaknya. Senyuman mulai memudar dari wajah Ludra, seiring dengan dirinya yang merasa situasi ini sangatlah tidak baik. Jika boleh, memilih dia ingin cepat-cepat membayar semua belanjaannya dan pergi dari sana. Namun, sepertinya ini akan memakan waktu yang cukup lama lagi.
"Lihatlah, Kak. Mereka sedang berusaha menarik perhatianmu. Jadi, tunggu apa lagi, cepat pilih salah satu dari mereka, Kak," bisik Alisa, dengan senyuman mengejek.
Ludra yang sedari tadi tidak tahu menahu itu, merasa jengkel dengan sikap adiknya, yang selalu melibatkannya dalam suatu masalah.
Ludra tersenyum pahit, ketika melirik ketiga penjaga kasir itu. Jika diminta memilih, lebih baik Ludra memilih anak kucing saja, dibandingkan para wanita yang berlagak seolah-olah mereka itu cantik.
Mereka memang cantik. Ludra juga tidak menyangkal kalau ketiga pelayan itu memiliki paras yang cantik, tetapi tetap saja bagi Ludra, tidak ada wanita secantik Alisa. Setidaknya itu yang Ludra katakan kepada mereka.
"Maaf Nona-nona, aku menghargai sikap kalian terhadap diriku, tetapi bagiku tidak ada wanita yang lebih cantik, selain adikku ini," tolak Ludra secara lembut dengan suara baritonnya itu.
Lundra meletakkan satu tangannya di bahu Alisa, menarik tubuh adiknya itu agar lebih dekat. Senyuman tersungging indah di bibir Ludra, ketika pandangannya dan Alisa saling bertemu.
"Tidak ada yang bisa menandingi kecantikanmu, Alisa. Jadi, tolong jangan pernah membuat para wanita lain, merasa iri dengan pesonamu itu. Paham!"
Kening Alisa menurut, alisnya sampai naik turun mendengar penuturan dari Ludra. Sedangkan ketiga wanita yang berada di meja kasir itu, membulatkan mata mereka.
Mulut mereka sampai terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang terlontar dari mereka. Perkataan Ludra, seolah mematahkan harapan mereka, untuk bersanding dengannya.
Sebelum ini, mereka merasa akan bisa mendapatkan perhatian Ludra, tetapi semua anggan itu hancur saat itu juga. Terbang begitu tinggi, dan akhirnya dijatuhkan kembali dengan kenyataan yang ada.
"Apa kalian sudah selesai menghitung harganya? Berapa jumlah semuanya?" Ludra bertanya dan memecah keheningan di antara mereka.
Lamunan setiap pelayan pun, menghilang berubah tatapan pilu ketika memandang sosok pria, yang selama ini telah didambakan.
Salah satu pelayan bergumam. Dia masih bingung harus melakukan apa? Tatapan Ludra yang hangat dan penuh kasih sayang itu, tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Tangannya berusaha bekerja, seperti biasanya, tetapi matanya tidak bisa diajak kerja sama. Dia buru-buru menata hatinya kembali, agar tidak timbul perasaan di dalam dirinya dikemudian hari.
Pandangannya selalu jatuh pada wajah Ludra yang penuh pesona itu, dan juga bidang dada Ludra yang dibalut kemeja itu. Bukan hanya pelayan itu saja, tetapi dua rekannya yang lain pun merasakan hal sama.
Kedua sibuk memasukkan pakaian yang sudah Alisa beli itu ke dalam tas, yang tentu akan mempermudah Alisa membawanya nanti.
"Kalian ini kenapa? Mengapa gugup seperti itu? Apa kalian belum pernah melihat pria tampan, seperti kakakku ini? Dia ini memang tampan, tetapi dia milikku. Jadi, jaga pandangan kalian. Mengerti!"
Sebelumnya Alisa sendiri yang mengatakan kalau Ludra belum memiliki kekasih, dan saat ini dia sedang mencari pendamping. Setiap wanita berhak untuk mendapatkan cintanya, tetapi mengapa sekarang? Seolah-olah Alisa tidak ingin wanita manapun memiliki kakaknya.
Ludra mengelah napas. Sedangkan ketiga pelayan itu, semakin tidak bisa tenang. Jantung mereka seperti dipacu, melaju cepat seperti rollercoaster dengan kecepatan tinggi.
Beberapa menit kemudian, akhirnya semua barang siap untuk bawa pulang. Ludra menyelesaikan pembayarannya, sementara Alisa membawa semua barang belanjaannya.
"Ayo, Kak!" ajak Alisa, yang langsung menggandeng tangan Ludra, menunjukkan sikap seolah-olah tidak ada yang boleh menyentuh kakaknya itu.
Keduanya berjalan menuju pintu keluar toko, sambil tersenyum nakal. Alisa merasa puas, ketika melihat ekspresi setiap pelayan, yang menurutnya sangat lucu dan sayang untuk dilewatkan.
Ketika Ludra dan Alisa mulai menghilang dari pandangan, barulah ketiga pelayan itu bernapas lega. Hanya karena tatapan tajam Ludra, membuat dunia mereka teralihkan. Mereka tidak bisa menolak pesona seorang Ludra Fon Vamalia, tetapi ucapan Alisa sendirilah, yang membuat nyali mereka menjadi hilang tanpa arah.
Di saat para pelayan, masih berusaha menata hati mereka, Alisa dan Ludra sudah berada di parkiran, tepat di depan mobil milik Alisa itu.
"Lain kali, kau jangan bersikap seperti itu lagi. Kau melihatnya bukan, karena sikap kekanak-kanakanmu itu, membuat para penjaga kasir itu menjadi tidak nyaman. Jadi, jangan mengulanginya lagi di lain waktu," tegur Ludra mengingatkan.
Alisa menyipitkan matanya, merasa ada yang aneh saat ini. "Apa aku ini tidak salah dengar? Bukankah, kakak sendiri yang mengatatakan tadi, kalau aku ini wanita paling cantik dan tidak ada yang bisa menandingi kecantikanku. Lalu, kenapa sekarang kakak mengatakan, kalau sikapku itu kekanak-kanakan?"
Ludra menarik daun pintu mobil, tetapi dia mengurungkan niatnya tersebut. "Kau ini memang banyak bicara, Ya. Sangat suka menyangkal. Sejak awal, siapa yang memulainya? Kau yang lebih dulu mengatakan pada mereka, bahwa saat ini aku sedang mencari kekasih."
Ludra mengelah napas panjang. Senyuman perlahan memudar dari wajah tampannya, "Pokoknya, Kakak minta agar kamu tidak mengulangi sikap seperti tadi. Kamu tahu apa akibatnya?"
Ludra sengaja menggantungkan kata-katanya, agar Alisa bisa memahami perkataannya. Namun, Alisa malah seperti orang yang tidak bersalah.
Raut wajahnya menunjukkan, kalau dia seolah tidak mendengar perkataan Ludra. Sebaliknya, tanpa berkata dia malah masuk ke mobil, lalu membunyikan klakson.
"Sampai kapan kau akan berdiri saja, Kak? Ayo, cepat!" sentak Alisa, sambil membunyikan klaksonnya kembali.
Ludra mengelah napas, sekarang kepalanya mulai terasa sakit. Ingin sekali dia mengumpat, tetapi jika dipikir-pikir yang ada ini akan membuang waktunya saja. Berdebat dengan Alisa, sama saja berbicara dengan batu yang tidak akan menemukan jawabannya.
Ludra akhirnya masuk ke mobil, selanjutnya memasang sabuk pengaman. Sementara itu, Alisa terus memandangi kakaknya, yang bagaikan Pangeran di negeri dongeng tersebut.
"Kamu ini kenapa lagi? Sejak tadi, suka sekali memandang diriku. Tolong, jangan tatap aku seperti itu, sungguh membuatku tidak nyaman," gerutu Ludra, sambil mengeluarkan Gawai dari saku celananya.
Alisa terdiam sejenak, sambil menerus memberikan tatapan tajam, yang membuat Ludra menjadi tidak nyaman, sebelum akhirnya dia tertawa.
"Hahaha, apa kata Kakak? Aku terus menatap Kakak? Jangan terlalu percaya diri, deh. Aku bukan sedang memadang Kakak, tetapi aku melihat toko yang ada di sana."
Alisa menunjuk ke luar jendela, Ludra buru-buru melihat ke arah yang dimaksud adiknya itu.
Alisa memasang wajah penuh makna. Ada rasa puas yang menggelitik hatinya. "Kakakku ini memang payah," batinnya sambil menutup mulut dengan satu tangan.
Ludra mencari-cari toko yang dimaksud adiknya itu. Namun, sejauh matanya memandang, dia tidak menemukan toko di sepanjang jalan ini.
Ludra memalingkan pandangannya ke arah Alisa, yang tampak sedang menikmati kemenangannya. Biarpun Alisa diam, tetapi Ludra tahu kalau saat ini adiknya itu sedang mengerjai dirinya.
"Alisa!"