Setelah dinobatkan menjadi Ratu, hidupku benar – benar berubah. Setiap hari, ada etika istana yang harus kujalankan, yaitu menyampaikan salam pagi dan sore pada tetua istana. Tidak hanya itu, pekerjaanku juga beragam. Diantara semua tugas yang kukerjakan, tugas yang tersulit adalah melayani pasanganku, Raja Uiyang.
Setelah hari pernikahan, aku hanya bisa bertemu dengan suamiku saat menyampaikan salam pagi dan sore pada tetua istana. Hanya dua kali pertemuan setiap harinya, itupun jika aku beruntung untuk bertemu dengannya. Tidak pernah sekalipun ia berniat mengunjungiku. Aku benar – benar kesepian. Suamiku, Raja Uiyang tidak pernah mengunjungiku.
Aku tak bisa menemuinya begitu saja. Raja Uiyang menerapkan sebuah aturan. Aku hanya bisa bertemu dengannya, jika aku mengirimkan pesan lebih dulu padanya lewat salah satu dayangku. Itupun, jika ia mau menemuiku. Berulang kali mengirim pesan untuk menemuinya lewat dayangku, tapi tak satupun aku mendapat izin untuk bertemu dengannya.
Sudah pupus harapanku untuk mendapatkan hati Jeonha. Terlebih jika mengingat pertemuan pertama kami yang tak berlangsung dengan baik. Peringatan agar aku tak berharap banyak untuk mendapatkan hatinya, selalu bergaung di kepalaku setiap harinya. Semakin hari, harapanku semakin musnah untuk bisa menjadi pendamping terbaik untuknya. Meski aku bertakhta sebagai ratu, aku bahkan tak berani bermimpi untuk bisa melahirkan pewaris takhta meskipun itu memang tugasku.
Tapi, langit sepertinya mendengar jeritan hatiku. Langit tak menutup telinga untuk mendengarkan hatiku yang menjerit kesepian.
Hari itu, tanpa terduga—kasim yang melayani suamiku—datang menghadapku. Tanpa banyak bicara, Kasim Han, menyampaikan pesan suamiku padaku. Pesan yang sudah lama kutunggu.
Jeonha meminta Anda segera menemuinya di taman bunga istana.
Aku yakin, saat mendengar itu aku tak bisa menyembunyikan senyumanku. Ratu dingin itu telah tersenyum, pasti itu yang ada di pikiran para pelayanku saat melihatku tersenyum karena pesan yang di sampaikan Kasim Han padaku.
Kasim Han tak lantas pergi setelah menyampaikan pesan Raja Uiyang padaku. Kasim itu dengan setia menungguku bersiap dan ikut mengantarkanku menemui suamiku. Hari itu, untuk pertama kalinya aku percaya, kekuatan kesabaran seorang perempuan sangatlah besar. Hari itu aku merasa seluruh semesta seakan ikut tersenyum dan merayakan kebahagiaanku. Aku tak akan pernah melupakan hari itu.
Hari dimana suamiku—Raja Uiyang—berjanji akan menjadi pelindungku. Meskipun aku tak bisa menggapai hatinya, ia berjanji untuk melindungiku dan memberikanku kesempatan agar aku bisa melaksanakan tugasku sebagai ratu sebaik mungkin. Ia berjanji akan merelakanku untuk duduk di takhta meskipun aku bukan perempuan yang ia harapkan. Meskipun ucapannya terdengar dingin, setidaknya ucapan dan janjinya memperlihatkan sikapnya yang hangat padaku. Bagiku semua itu sudah cukup. Aku tak ingin menjadi ratu yang kesepian.
~MoQS~
Waktu tanpa terasa berjalan dengan begitu cepat. Gadis muda yang dinobatkan menjadi Ratu, kini telah tumbuh menjadi Ratu Muda yang sangat cantik. Tidak ada seorangpun di istana yang meragukan kecantikan Ratu Heo.
Tidak hanya kecantikannya yang diakui oleh seluruh negeri, sang ratu muda menjalankan tugasnya di istana dengan sangat baik. Berkat kemampuannya memimpin keputren istana dengan sangat baik, Ratu Heo mendapatkan pujian dari tetua istana, yaitu Ibu Suri Agung Park dan mertuanya, Ibu Suri Min. Tapi, di balik semua itu, Ratu Heo terkenal sebagai wanita istana berhati dingin.
Ratu Heo tak pernah tersenyum di hadapan para dayang istana. Ratu muda itu selalu memasang ekspresi wajah dingin tanpa senyuman. Selain dingin, Ratu Heo juga terkenal tegas dalam menindak setiap pelanggaran yang terjadi diantara dayang istana. Itu sebabnya, keputren istana berada dalam suasana tenang dan tertib di bawah kepemimpinan Ratu Heo.
Pagi ini, seperti biasanya, Ratu Heo harus menyampaikan salam pagi pada tetua istana. Ratu Heo menuju area istana Ibu Suri Agung Park di temani rombongan pelayannya. Mengenakan dangui berwarna merah dipadukan dengan daran chima berwarna abu muda, Ratu Heo terlihat sangat anggun pagi ini.
Begitu tiba di kediaman Ibu Suri Agung Park, Ratu Heo tak langsung meminta diumumkan kedatangannya. Ratu Heo menoleh pada dayang muda yang bertugas di kediaman Ibu Suri Agung Park. Sebuah tindakan yang selalu dilakukannya setiap kali akan menyampaikan salam pagi.
"Apa Jeonha sudah menyampaikan salam pagi?"
Dayang muda itu menundukkan kepalanya di hadapan Sang Ratu. Kepalanya mengangguk pelan. "Ye, Mama. Jusang Jeonha baru saja selesai menyampaikan salam pagi pada Daewang Daebi Mama dan Daebi mama."
Rasa kecewa menyelimuti hati Ratu Heo saat mendengar jawaban yang diberikan dayang muda tersebut. Ratu Heo menyadari ia datang terlambat. Suaminya sudah menyampaikan salam pagi lebih dulu dari dirinya. Ratu Heo menghela napas panjang. Wajahnya tetap terlihat datar. Tanpa menoleh lagi, Sang Ratu memberikan perintah pada dayang muda tersebut.
"Segera umumkan kedatanganku."
Dayang muda tersebut mengangguk. "Daewang Daebi Mama, Jungjeon Mama datang untuk menemui anda."
Jawaban dari Ibu Suri Agung Park membuat para dayang yang bertugas di depan pintu segera membukakan pintu. Tanpa menunggu lama, Ratu Heo melangkah masuk ke dalam ruangan untuk menyampaikan salam paginya pada kedua Ibu Suri.
~TQS~
"Apa kau yakin sudah melakukannya dengan baik?"
Ratu Heo bertanya dengan nada suara yang dingin. Tidak hanya bertanya dengan nada suara dingin, sang ratu pun memberikan tatapan tajamnya pada seorang dayang muda istana.
Setelah melaksanakan salam pagi, Ratu Heo pasti akan berkeliling istana. Sang Ratu tidak hanya sekedar berkeliling istana tapi juga memeriksa pekerjaan seluruh dayang istana. Meskipun usianya masih sangat muda, Ratu Heo sangat teliti dan memperhatikan segala sesuatu mengenai pekerjaannya sebagai pemimpin rumah tangga kerajaan.
Dayang muda istana yang berdiri di hadapan Ratu Heo hanya bisa menundukkan kepalanya. Tidak hanya menundukkan kepalanya, tubuh dayang muda itu terlihat gemetar. Dayang muda itu ketakutan.
"M-mohon maafkan hamba, Mama. H-hamba sudah melakukan yang terbaik. T-tapi..." Dayang muda itu kehilangan kata – kata dan suaranya.
Manik hitam Ratu Heo mendelik tajam. Sudut – sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman sinis. Ratu Heo paling benci jika ada seseorang yang tidak mau mengakui kesalahannya.
"Sudah jelas kau melakukan kesalahan. Tapi kau masih berani menghindar," Ratu Heo bergerak dari tempatnya berdiri. Mata Sang Ratu menatap semakin tajam pada dayang muda tersebut. kilat kemarahan terlihat begitu jelas di manik hitam Sang Ratu.
"Aku cukup kagum dengan keberanianmu untuk terus menghindar dari kesalahan yang sudah kau buat. Berani sekali dayang muda sepertimu mencoba menghina martabatku sebagai seorang ratu." Lanjut Ratu Heo.
Tubuh dayang muda itu semakin bergetar dihadapan sang ratu. Kata – kata dingin yang diucapkan Ratu Heo membuat siapapun yang mendengarnya akan menggigil karena ketakutan. Meskipun tak memperlihatkan ekspresi kemarahan di wajahnya, Ratu Heo justru memperlihatkan kemarahannya melalui kata – kata yang dipilihnya.
"Hamba pantas mati, Jungjeon Mama. Hamba sudah melakukan kesalahan besar."
Dayang muda itu akhirnya memilih bersimpuh di hadapan Ratu Heo. Gadis muda itu bahkan tak bisa lagi menahan airmatanya. Dayang tersebut tak menyangka Ratu Heo akan semarah ini dengan kesalahannya.
Ratu Heo tak bergeming sedikitpun. Wanita berdangui merah itu kini menoleh pada Dayang Choi yang berada di belakangnya. Seakan mengerti dengan tatapan yang diberikan Ratu Heo, Dayang Choi hanya menganggukkan kepalanya.
Begitu melihat Dayang Choi sudah mengangguk, Ratu Heo melangkah pergi meninggalkan bagian jahit istana. Melihat sang ratu bergegas pergi dari tempat tersebut, rombongan dayangnya dengan sigap langsung mengikuti kemanapun sang ratu pergi. Sementara itu, dayang pribadi Ratu Heo, Dayang Choi, tidak mengikuti Sang Ratu. Sebaliknya, dayang senior istana tersebut tetap berada di bagian jahit istana.
Dayang Choi tidak mengikuti sang ratu karena ia harus memastikan hukuman pada dayang muda tersebut. mata tajam Dayang Choi kini memperlihatkan kemarahan pada dayang muda yang sudah berani membuat Ratu Heo mendapat keluhan dari Ibu Suri Agung Park mengenai salai satu chima nya yang terasa lebih sempit.
"Kupastikan kau mengingat hukuman ini. Berterima kasihlah karena Jungjeon Mama memperlihatkan sedikit kemurahan hatinya padamu. Ingatlah hukuman ini agar tidak lagi melakukan kesalahan dalam melakukan pekerjaan. Jangan mengubah ukuran pakaian keluarga kerajaan! Pekerjaan sebagai dayang muda bukanlah pekerjaan yang bisa dipermainkan!"
Segera saja Dayang Choi menghadiahkan beberapa kali pukulan di betis dayang muda tersebut. Beberapa dayang muda yang melihat hukuman tersebut hanya bisa meringis seakan – akan ikut merasakan rasa perih yang mendera betis salah satu temannya.
"Untuk para dayang lain, ingatlah hukuman ini sebagai contoh agar tidak melakukan kesalahan dalam membuat pakaian keluarga kerajaan!"
~MoQS~
Waktu tanpa terasa terus bergulir. Matahari kini telah kembali ke peraduannya. Di langit bulan telah menjadi penguasa malam. Beberapa dayang dan kasim yang bertugas di bagian penerangan istana telah melaksanakan tugas mereka untuk menyalakan obor dan lampion di setiap sudut istana.
Di tengah kesibukan para dayang dan kasim yang sedang menyalakan lampion di sudut – sudut istana, Ratu Heo melangkah keluar dari Daebijeon di temani Dayang Choi. Ratu Heo baru saja selesai menyampaikan salam sorenya pada kedua ibu suri. Sang ratu berjalan perlahan sambil menikmati suasana malam di istana.
Ratu Heo menengadah menatap bulan di langit yang bersinar begitu indah. Seulas senyum tersungging di wajah cantik sang ratu saat menatap bulan tersebut. suara – suara binatang malam sayup – sayup terdengar di telinga sang ratu. Entah kenapa suara binatang malam itu seakan meneriakkan perasaan sepi yang ada di dalam hati Ratu Heo.
Salah satu kebiasaan Ratu Heo setelah menyelesaikan semua tugasnya adalah berjalan – jalan di malam hari. Ratu Heo sangat suka berjalan – jalan sebelum akhirnya ia kembali untuk beristirahat di kediamannya. Kali ini, Ratu Heo memilih mengambil jalan yang berbeda menuju istana tengah. Hingga tanpa sadar, langkah Sang Ratu sudah menuntunnya mendekati paviliun kediaman Raja.
"Jungjeon Mama, apa anda berniat menemui Jusang Jeonha?"
Pertanyaan dari Dayang Choi membuat Ratu Heo tersentak dari lamunannya. Wanita itu mengangkat wajahnya dan sedikit terkejut ketika ia sudah berdiri tepat di depan pintu masuk menuju paviliun utama.
"Ah apa aku melamun selama berjalan tadi ? Aku... tidak berniat untuk menemui Jeonha. Kita harus bergegas pergi, Dayang Choi."
Sedikit terburu – buru, Ratu Heo membalikkan tubuhnya. Dengan langkah lebar yang ia bisa lakukan, Ratu Heo bergegas pergi menjauhi pintu masuk paviliun utama. Di dalam hatinya, Ratu Heo tak menyangka jika langkahnya bisa begitu saja menuntunnya menuju kediaman seseorang yang ingin ia temui.
Dayang Choi menatap punggung Ratu Heo dengan tatapan sedih. Meskipun Ratu Heo tak pernah memperlihatkannya, Dayang Choi tahu, sang ratu pasti sangat kesepian. Sejak resmi bertakhta sebagai Ratu, Ratu Heo belum pernah sekalipun mendapatkan kunjungan dari Raja Uiyang.
Baru saja Dayang Choi hendak mengikuti langkah Ratu Heo, tiba – tiba saja Ratu Heo kembali menghentikan langkahnya. Tidak berhenti sampai di situ, Ratu Heo pun membalikkan tubuhnya dan melangkah cepat mendekati kembali pintu masuk paviliun utama.
"Mama, anda akan pergi kemana?" Dayang Choi dengan cepat mengejar kembali Sang Ratu.
Ratu Heo menatap kembali pintu masuk paviliun utama. Manik hitam wanita istana itu menatap nanar pintu yang menghalangi pandangannya tersebut. perasaan marah entah kenapa merayap naik ke permukaan hatinya. Sambil mencengkram kuat daran chima yang ia kenakan, Ratu Heo berniat untuk melewati pintu masuk tersebut. ia tak tahan untuk terus merasakan kesepian sekalipun ia sudah bertakhta menjadi Ratu.
Dayang Choi terkejut melihat tindakan yang akan dilakukan oleh Ratu Heo. dengan cepat, Dayang Choi mendekati Ratu Heo. Tangan dayang tersebut dengan tepat menghentikan gerakan tangan Sang Ratu yang hendak membuka pintu masuk paviliun utama.
"Jungjeon Mama, hamba mohon jangan lakukan hal itu."
Peringatan dari Dayang Choi membuat Ratu Heo mendelikkan wajahnya dan memberika tatapan tajam. Ratu Heo tak menyembunyikan ekspresi kesal akibat peringatan dari Dayang Choi.
"Aku tak tahan lagi, Dayang Choi. Aku tak memiliki satupun kesalahan, tapi kenapa Jeonha memperlakukanku seperti ini? Hanya karena kejadian dimana aku berusaha untuk menghiburnya, ia terus bersikap dingin padaku ? Ini tidak masuk akal!"
Dayang Choi merasa hatinya ikut teriris mendengar ucapan Ratu Heo. Dayang Choi memahami Ratu Heo yang selama ini hanya diam meskipun terus mendapatkan sikap dingin dari suaminya.
"Hamba mengerti perasaan anda, Mama. Tapi, jika anda bersikap seperti ini, menerobos masuk begitu saja kediaman raja, martabat anda sebagai seorang ratu akan jatuh, Mama. Mohon tabahkan hati anda, Jungjeon Mama."
Dayang Choi bahkan tak bisa menahan airmatanya melihat sikap Ratu Heo yang begitu frustasi untuk mendapatkan perhatian Raja Uiyang. Dayang Choi merasa sedih melihat Ratu Heo yang berniat menerobos kediaman Raja Uiyang hanya untuk menemuinya.
"Mohon anda tabahkan hati anda, Jungjeon Mama. Hamba tahu semua ini terasa sulit bagi anda. Bersabarlah, Mama. Seorang ratu tidak akan bersikap seperti ini. Percayalah, suatu hari nanti langit akan membayar kesabaran anda. Mohon teguhkan hati anda sampai tiba waktunya."
Setetes airmata jatuh turun dari sudut mata Heo Jung Eun mendengar ucapan Dayang Choi. Hatinya kembali terasa sakit. Ini sudah lebih dari tujuh bulan ia terus dianggap patung oleh suaminya sendiri. Belum pernah sekalipun Jung Eun mendapatkan kunjungan dari suaminya. suaminya itu seperti sesuatu yang berada di luar jangkauan Jung Eun. Rasa sesak kembali memenuhi hatinya.
Keinginan Jung Eun sederhana, ia hanya ingin menjadi pendamping yang baik untuk Raja Uiyang. Jung Eun ingin menjadi seorang pendamping yang setara dan dapat diandalkan oleh suaminya sendiri. Tapi, harapan tersebut semakin hari semakin mengabur. Tugas terberat yang tak bisa Jung Eun kerjakan adalah menggapai hati suaminya sendiri. Hal itu menjadi fakta yang sangat menyakitkan untuknya.
Heo Jung Eun jatuh terduduk. Wajahnya bersembunyi di balik kedua telapak tangannya. Heo Jung Eun merasa gagal menjadi seorang ratu.
"Aku sudah gagal, Dayang Choi. Aku bukan wanita istana panutan. Sekalipun aku mendapat puja-puji atas keberhasilanku memimpin keputren istana. Pada kenyataannya aku gagal memenuhi tugas utamaku sebagai seorang ratu. Aku gagal memenuhi tugasku sebagai pendamping yang baik untuk suamiku sendiri."
"Jungjeon Mama, anda tidak gagal. Anda sama sekali tak gagal, Mama. Ini hanya masalah waktu. Hamba mohon bersabarlah, Mama."
Dayang Choi kembali meneteskan airmatanya melihat sang ratu begitu terpukul mendapatkan perlakuan dingin dari suaminya. Dayang Choi ikut berlutut di sebelah Ratu Heo. Dayang wanita tua itu memberanikan diri untuk menggenggam lengan Sang Ratu. Dayang Choi berharap ia bisa menyalurkan kekuatan untuk sang ratu muda.
"Anda harus kuat, Jungjeon Mama. Seperti yang pernah hamba katakan sebelumnya, jangan perlihatkan airmata di istana. Sesulit apapun anda harus bertahan dan tak boleh menunjukkan kesedihan pada siapapun. Tolong anda ingat pesan hamba ini, Jungjeon Mama."
Heo Jung Eun mengangkat wajahnya. Jejak airmata masih terlihat di wajah cantiknya. Dayang Choi dengan lembut memberikan sapu tangannya agar Jung Eun bisa menghapus jejak airmatanya.
"Hari semakin larut, udara pun semakin dingin. Sebaiknya anda segera kembali ke istana, Mama." Ucap Dayang Choi sambil membantu Ratu Heo berdiri.
~TQS~
Beberapa bulan setelah kejadian Ratu Heo hendak memaksa bertemu suaminya, istana dalam menjadi semakin tertib dan damai di bawah kepemimpin Ratu Heo. Berkat kedisiplinan yang diterapkan Ratu Heo pada seluruh dayang istana, kesalahan – kesalahan kecil di setiap departemen istana, perlahan semakin berkurang. Seluruh dayang istana bekerja giat dan berusaha untuk tidak membuat kesalahan dalam pekerjaan yang mereka lakukan.
Pagi ini, Ratu Heo tengah menikmati udara pagi di taman paviliun kediamannya. Sang Ratu tampak berdiri di tengah jembatan yang berada diatas kolam ikan. Ratu Heo menundukkan kepalanya untuk memperhatikan ikan yang berenang di dalam air.
Gerak dari ikan membuat bayangan wajah Ratu Heo yang terpantul di permukaan air terlihat tak sempurna. Melihat bayangannya terlihat tak sempurna, Heo Jung Eun menyadari bahwa dirinya pun sama seperti bayangannya yang terpantul di permukaan air. Terkadang orang bisa melihatnya seperti sosok ratu yang begitu agung dan sempurna. Tapi, jauh di dalam hatinya Jung Eun menyadari dirinya bukanlah sosok ratu yang sempurna.
Hembusan angin sesekali membelai wajah putih Heo Jung Eun yang masih asyik memperhatikan pantulan wajahnya di air. Suara gemericik air yang terdengar membuat Jung Eun betah berlama – lama berada di taman tersebut.
"Jungjeon Mama, rupanya anda berada di sini. Hamba sejak tadi mencari anda, Mama."
Sebuah suara halus membuat perhatian Ratu Heo teralihkan. Wanita yang hari ini tampak anggun dalam balutan dangui berwarna hijau cerah dipadukan dengan daran chima berwarna merah darah, menoleh ke arah sumber suara. Manik hitam sang ratu menemukan Dayang Choi tersenyum tak jauh dari tempat ia berdiri saat ini.
"Apa ada, Dayang Choi?" tanya sang ratu sambil kembali memperhatikan permukaan air kolam.
"Mama, ada seseorang yang ingin menyampaikan sebuah pesan penting untuk anda." Balas Dayang Choi sambil menyunggingkan seulas senyum di wajahnya.
"Kenapa tidak kau saja yang mendengarkan pesan yang akan disampaikan seseorang tersebut?"
Dayang Choi tak bisa menyembunyikan senyuman lebar di wajahnya. Entah kenapa Dayang Choi ingin sekali bersikap misterius seperti sekarang.
"Ada baiknya anda sendiri yang mendengar pesan tersebut, Jungjeon Mama."
Heo Jung Eun menghela napas kesal. Wanita istana itu sedikit kesal jika Dayang Choi mulai bersikap misterius seperti sekarang. Di dalam hatinya, Ratu Heo berpikir untuk sesekali memberikan tindakan tegas agar dayang pribadinya ini tak berani bersikap seperti ini padanya.
Sedikit kesal, Ratu Heo melangkah menjauhi jembatan tempat ia memperhatikan pantulan dirinya. Heo Jung Eun bahkan berhenti sejenak di depan Dayang Choi. Manik hitam wanita muda itu memperlihatkan sorot berbahaya pada Dayang Choi. Sorot tersebut seakan memberikan peringatan agar Dayang Choi tidak bersikap seperti itu lagi padanya.
Tapi, semua rasa kesalnya pada Dayang Choi seakan menguap begitu saja saat manik hitam Ratu Heo mengalihkan perhatiannya. Berdiri di dekat pintu masuk paviliunnya, berdiri seorang lelaki dengan jubah berwarna giok tengah menunggu kehadirannya. Lelaki dengan jubah berwarna giok tua itu membungkuk hormat dan segera mendekati dirinya. Ratu Heo begitu terkejut saat menyadari lelaki tersebut berada di kediamannya.
"Kasim Han...." ucap sang ratu menyebut lelaki dengan jubah berwarna giok tersebut.
Kasim Han tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Jungjeon Mama, mohon maaf hamba mengganggu waktu pagi anda. Tapi, Jeonha meminta anda untuk segera menemuinya di taman bunga istana."
~MoQS~
Ratu Heo tak bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya saat melangkah menuju taman bunga istana. senyum di wajah Sang Ratu semakin cerah saat melihat suaminya, Raja Uiyang berdiri di gazebo taman tersebut. Ratu Heo pun semakin mempercepat langkahnya agar bisa segera sampai.
Begitu jaraknya dengan gazebo tersebut sudah semakin dekat, Ratu Heo berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Wanita itu tak ingin terlihat begitu bersemangat dan terburu – buru di hadapan suaminya. Ratu Heo bahkan mengganti pakaiannya hanya untuk bertemu suaminya.
"Jeonha, apa anda sudah menunggu lama?"
Raja Uiyang yang sejak tadi sedang memperhatikan pegunungan yang terlihat dari gazebo menoleh ke arah sumber suara. Lelaki berjubah merah itu membalikkan tubuhnya dan menemukan istrinya, Ratu Heo tengah berdiri tak jauh dari dirinya dengan sebuah senyuman tipis di wajahnya.
"Lama tak berjumpa, Jungjeon. Bagaimana kabarmu?"
Ratu Heo memberi salam hormat sebelum menjawab sapaan dari Sang Raja. "Karena perhatian anda yang begitu tulus, saya dalam keadaan baik, Jeonha. Mohon maafkan saya yang masih memiliki banyak kekurangan sebagai pendamping anda."
Raja Uiyang terkekeh mendengar balasan dari sang ratu. Wanita istana itu malah meminta maaf di hadapannya. "Aigoo Jungjeon, kenapa kau meminta maaf padahal kau tak melakukan satu kesalahanpun?"
"Saya meminta maaf karena menyadari kekurangan saya yang belum bisa melayani dan mendampingi Anda, Jeonha." Balas Ratu Heo dengan kepala tertunduk.
Raja Uiyang kini tertawa. Pria berjubah merah itu perlahan melangkah mendekati istrinya. Sebuah senyuman tersungging di wajah Raja Uiyang saat menatap wajah cantik istrinya. Tangan Sang Raja kemudian meraih lembut tangan Ratu Heo yang tersembunyi di balik dangui merah muda yang dikenakannya.
Ratu Heo terkejut dan menatap heran dengan tingkah suaminya. "J- jeonha...."
Perasaan bersalah langsung menghantam hati Uiyang saat menatap wajah istrinya yang tak pernah sekalipun ia temui setelah pesta pernikahan mereka selesai. Uiyang benar – benar merasa menyesal sudah memperlakukan perempuan dihadapannya dengan begitu buruk.
Heo Jung Eun, perempuan yang sempat ia benci karena kehadirannya membuat seseorang yang ia simpan di dalam hatinya tak bisa menduduki posisi ratu. Heo Jung Eun, perempuan yang selama beberapa bulan terakhir ini selalu mendapat puja-puji dari seluruh penghuni istana karena kecakapannya dalam memimpin keputren istana.
Heo Jung Eun, perempuan dengan kekuatan dukungan penuh dari pemerintahan, yang dipilihkan ibunya untuk menjadi perempuan paling ideal sebagai pendamping dirinya. Heo Jung Eun, perempuan yang secara tak langsung berhasil meredakan kegelisahan para menteri karena usianya yang masih muda untuk memimpin keputren istana, yang dibuktikan lewat kedamaian dan ketertiban di keputren istana.
"Maafkan aku Jungjeon. Maafkan aku karna selama ini aku selalu mengabaikanmu. Maaf karna aku sudah bersikap begitu dingin padamu. Entah bagaimana aku harus menebus semua rasa kesepianmu selama ini di istana."
Ratu Heo tertegun mendengar permohonan maaf yang dikatakan Raja Uiyang. Perasaan hangat langsung mengaliri hati sang ratu. Apa yang dikatakan Dayang Choi benar. Kesabarannya kini telah berbuah manis di waktu yang tepat. Senyum kembali terpasang di wajah Ratu Heo.
"Anda tak perlu meminta maaf seperti itu, Jeonha. Anda sama sekali tak melakukan kesalahan. Sebaliknya, semua ini menjadi salah saya karena tak bisa menggapai hati Anda."
"Kau memang tak akan bisa menggapai hatiku, Jungjeon. Maaf hatiku sudah dimiliki seseorang sepenuhnya. Meskipun begitu, aku bersyukur kau menjadi pendampingku. Halma Mama dan Eomma Mama memilihkan seorang pendamping yang luar biasa. Aku benar – benar minta maaf karena sudah berbuat buruk padamu."
Ratu Heo sedikit tertohok saat Raja Uiyang membenarkan kalimat jika ia tak akan pernah bisa menggapai hati Sang Raja. Sedikit rasa kecewa perlahan menyusup diantara rasa bahagia yang Ratu Heo rasakan. Ratu Heo tak berkata apapun lagi. Wanita itu hanya bisa menanggapi ucapan Raja Uiyang lewat senyuman.
"Mulai saat ini, aku berjanji akan menjadi pelindungmu. Aku merelakanmu sepenuhnya untuk duduk di takhta Wangbi. Aku akan melindungimu dan memastikan kau menjalankan tugasmu sebagai seorang ratu sebaik mungkin. Kau akan melahirkan pewaris takhta untuk negeri ini. kupastikan kau akan menjadi ratu yang paling terhormat. Terlebih dari semua itu, aku tidak akan membiarkanmu kesepian lagi, Jungjeon."
Lagi – lagi, Ratu Heo kehilangan kata – kata setelah mendengar janji yang baru saja diucapkan Raja Uiyang padanya. Rasa hangat kembali menyusupi hati Ratu Heo. meskipun Ratu Heo sudah tahu ia tak bisa menggapai hati Raja Uiyang, tapi Sang Raja memberikan pilihan yang sangat ia inginkan. pilihan dimana ia tidak akan kesepian selama menjalani hidup di istana dan memastikan dirinya melaksanakan tugas ratu sebaik mungkin.
"Anugrah anda sungguh tak terkira, Jeonha."
Ratu Heo tak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya. Setidaknya, keinginan Heo Jung Eun untuk menjadi pendamping terbaik bagi Raja Uiyang bisa tercapai. Senyuman Ratu Heo semakin lebar saat Raja Uiyang menariknya ke dalam pelukannya. Sang Raja membiarkan dirinya untuk memeluk Sang Ratu.
~TQS~