Pagi itu, seorang dayang senior datang menemuiku. Dayang wanita itu memperkenalkan diri sebagai dayang yang akan mendampingi dan melayaniku, tepatnya ia akan menjadi dayang terdekatku. Dayang senior itu bernama Dayang Choi.
Dayang Choi, wanita tua yang merawat seorang gadis rapuh sepertiku agar bisa bertahan di istana yang menyedihkan ini.
Di saat perkenalan tersebut, istana masih diselimuti suasana duka. Istana tampak sibuk mempersiapkan acara pemakaman dari mendiang Raja Gwanghyo. Di tengah persiapan itu, aku mendengar kabar dari Dayang Choi bahwa calon suamiku, Putra Mahkota Uiyang, dalam kondisi terguncang. Mendengar kabar tersebut, secara tak sadar aku merasa iba pada Putra Mahkota Uiyang. Aku seperti mengerti kesedihan yang dialami calon suamiku karena kehilangan ayah tanpa terduga.
Entah apa yang mendorongku saat itu, aku berniat menemui Putra Mahkota Uiyang dan bermaksud menghiburnya. Entah sejak kapan, rasa ingin menghibur pemuda yang belum pernah sekalipun kutemui itu muncul. Ibuku pernah mengatakan bahwa seorang pendamping harus bisa memahami perasaan pasangannya, sekalipun di dalam pernikahan tersebut tak pernah ada cinta. Secara tak langsung, perasaan kita telah disatukan oleh ikatan pernikahan, sekalipun tanpa cinta di dalamnya. Itulah bakti seorang istri.
Mungkin karena ajaran itulah yang mendorongku ingin menghibur Putra Mahkota Uiyang. Keinginanku untuk memahami calon suami yang kelak harus kulayani sekalipun aku tak ingin menjadi pendampingnya. Sekalipun aku ketakutan dengan takhta yang kelak akan kududuki. Setidaknya, aku ingin menjadi seorang istri yang berbakti pada suaminya.
Dengan keberanian yang kupunya, sore itu aku pergi menemui Putra Mahkota Uiyang di kediamannya, istana timur. Aku berusaha memberikan senyum terbaikku pada calon suamiku. Tapi, yang kudapatkan bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Putra Mahkota Uiyang mengatakan bahwa ia tak ingin melihatku di dalam hidupnya. Ia begitu berharap bahwa dengan adanya penundaan pernikahan ini, ia bisa memilih kembali calon pendampingnya. Hatiku sakit.
Aku tak tahu cobaan apa yang ingin diberikan Surga padaku. Aku berusaha menguatkan diri saat mendengar untaian kata menyakitkan darinya. Harga diriku sebagai seorang calon putri mahkota telah hancur. Tak sanggup mendengar rangkaian kata yang mungkin akan melukai hatiku, aku memilih pamit dan pergi dari hadapan Putra Mahkota Uiyang.
Dayang Choi yang merasa bersalah karena menyarankan pergi menemui Putra Mahkota Uiyang, memohon ampunan padaku. Pesannya yang selalu kuingat sampai saat ini adalah; jangan tunjukkan airmata anda di istana. Airmata adalah tanda kelemahan, sekali anda menunjukkan airmata anda di istana, semakin banyak musuh yang akan mengincar anda.
Aku tak pernah tahu jika takhta yang akan kududuki akan seperti itu. Dimataku saat itu, istana adalah tempat yang indah. Tapi, tidak ada yang tahu betapa sunyinya istana yang sebenarnya. Aku, gadis naif berusia muda, yang harus menduduki takhta berbahaya sendirian.
~TQS~
"Sejabin Mama, hamba Dayang Choi meminta untuk bertemu anda."
Jung Eun yang sedang melamun di ruangannya tersentak kaget saat mendengar sebuah suara di depan ruangannya. Jung Eun mengangkat wajahnya dan membenahi posisi duduknya sebelum memberikan jawaban. Gadis muda itu berdeham sejenak sebelum akhirnya bersuara.
"Ah ye. Silakan masuk."
Seorang dayang wanita mengenakan dangui hijau giok melangkah masuk begitu pintu ruangan terbuka. dayang wanita itu melangkah anggun dengan kepala tertunduk. Begitu sampai di hadapan Jung Eun, dayang tersebut membungkuk memberi hormat. Jung Eun mengangguk singkat untuk membalas salam yang diberikan dayang tersebut.
"Sejabin Mama, izinkan hamba memperkenalkan diri di hadapan Anda. Hamba adalah Dayang Choi. Hamba diperintahkan oleh Daebi Mama—Yang Mulia Ibu Suri— untuk melayani dan menjaga Anda. Mohon Anda terima salam hormat dan kesetiaan hamba, Mama."
Dayang Choi kembali bangkit dari duduknya dan memberikan salam secara formal pada Jung Eun. Sementara itu, Jung Eun merasa risih mendapatkan penghormatan begitu formal dari seseorang yang usianya lebih tua dari dirinya. Tapi, gadis itu tak bisa melarang Dayang Choi untuk berhenti. Karena secara status, posisi Jung Eun jauh lebih mulia dibandingkan Dayang Choi. Jung Eun hanya tersenyum risih pada Dayang Choi.
Dayang Choi tersenyum tulus saat melihat ekspresi risih di wajah gadis kecil yang kelak akan menjadi seorang ratu. Di dalam hati, Dayang Choi merasa iba pada gadis kecil yang terlihat polos harus masuk istana di usia yang masih sangat belia. Gadis manis itu harus masuk ke istana yang sarat dengan intrik kejam yang sewaktu – waktu bisa melukai gadis tersebut. Tanpa sadar, naluri ingin melindungi muncul di permukaan Dayang Choi.
"Mama, jika ada sesuatu yang Anda inginkan, silakan beritahu hamba. Hamba akan menyediakannya sebaik mungkin. Anda tak perlu sungkan untuk memberi perintah pada hamba, karena hamba memang diperintahkan untuk melayani Anda sebaik mungkin."
Jung Eun kembali menyunggingkan senyuman canggung di wajah cantiknya. "Ah Y-ye. Terima kasih karena Anda mau menjadi dayang pribadiku, Dayang Choi." Balas Jung Eun.
Dayang Choi kembali tersenyum memaklumi sikap canggung Jung Eun. "Anda tak perlu menggunakan bahasa seformal itu pada hamba, Mama."
Jung Eun tersipu malu mendengar balasan dari Dayang Choi. Gadis itu menundukkan kepalanya karena malu. Tingkah Jung Eun memancing tawa kecil dari Dayang Choi. Tapi, karena tak ingin dianggap sebagai dayang yang tak sopan, Dayang Choi menyembunyikan tawa kecilnya dengan berdeham.
"Mama, karena saat ini pernikahan kerajaan di tunda, maka seluruh pelatihan Anda pun akan di tunda. Apa Anda sudah mendapat perintah penundaan tersebut, Mama ?"
Dayang Choi ingin memastikan status dari gadis kecil di depannya. Setidaknya, Dayang Choi harus menjaga kedudukan resmi dari gadis kecil di depannya. Sebagai seseorang yang sudah tinggal cukup lama di istana, di masa berkabung seperti ini, intrik politik jahat biasanya sering bermunculan. Apalagi posisi putri penerus takhta yang dimiliki gadis ini rentan sekali untuk terkena intrik jahat istana.
Gadis kecil ini mengingatkan Dayang Choi pada mendiang Putri Myeonghwa—adik tiri Putra Mahkota Uiyang dari Selir Kang So Ui—yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Putri kecil tak berdosa yang terpaksa menjadi korban intrik istana yang begitu kejam. Dayang Choi ingin melindungi gadis polos di depannya ini.
"Y-ye, Dayang Choi. A-aku sudah mendapatkan perintah penundaan tersebut sore kemarin. Apa ada sesuatu yang salah?" Dahi Jung Eun kini bertaut heran mendengar pertanyaan yang diajukan Dayang Choi.
"Animnida, Mama." Dayang Choi tersenyum seraya menggelengkan kepalanya singkat. "Hamba ingin memastikan bahwa Anda dalam keadaan baik – baik saja selama dalam masa berkabung ini, Mama."
Jung Eun semakin penasaran setelah mendengar jawaban yang diberikan Dayang Choi padanya. Gadis itu menggeser duduknya hingga tubuh bagian depan menghimpit meja takhta yang berada tepat di depannya. Mata Jung Eun memancarkan rasa penasaran yang begitu besar.
"Ho, memang apa yang akan terjadi di masa berkabung seperti ini, Dayang Choi? Apa... akan ada sesuatu yang terjadi padaku?"
Suara Jung Eun terdengar seperti bisikan. Tanpa perlu bertanya lebih jauh, Dayang Choi dapat merasakan perasaan takut yang dimiliki Jung Eun. Perasaan iba kembali merayapi hati Dayang Choi saat menyadari gadis kecil itu ketakutan dengan takhta yang didudukinya. Tekad Dayang Choi untuk melindungi gadis kecil ini semakin kuat.
"Mama, mohon Anda ingat pesan yang hamba berikan pada Anda. Pesan ini semata – mata untuk mengingatkan Anda betapa berbahayanya istana ini. Dalam kondisi berkabung seperti saat ini, istana menjadi tempat yang sangat berbahaya. Rentan terhadap pemberontakan dan perebutan kekuasaan."
Jung Eun tanpa sadar menggeser tubuhnya ke belakang. Ekspresi ketakutan tergambar semakin jelas di wajah manisnya. "Lalu, bagaimana dengan sekarang, Dayang Choi? Apakah hal mengerikan itu akan terjadi juga?"
"Animnida, Mama. Anda tak perlu khawatir lagi. Meskipun suasana berkabung masih begitu kental menyelimuti istana, tapi hamba bisa pastikan semua dalam keadaan baik – baik saja. Tampuk pemerintahan sementara di pegang oleh Daewang Daebi Mama—Yang Mulia Ibu Suri Agung— dan Daebi Mama sampai Seja Jeoha siap melaksanakan tugasnya. Sebenarnya, Seja Jeoha bisa saja langsung mengambil alih pemerintahan meski harus di dampingi tetua istana. tapi, saat ini Jeoha sedang dalam kondisi kurang baik. Jeoha...."
"Apa Jeoha dalam kondisi tidak baik?"
Jung Eun kembali di buat terkejut dengan informasi yang disampaikan Dayang Choi padanya. Gadis itu memotong penjelasan Dayang Choi.
Dayang Choi terdiam sejenak setelah mendengar Jung Eun memotong penjelasannya. Dayang Choi memperhatikan sejenak ekspresi yang tergambar di wajah Jung Eun. Dayang Choi cukup terkejut melihat ada ekspresi peduli yang terpancar begitu jelas di wajah Jung Eun.
"Ye, Mama. Saat ini Jeoha dalam kondisi tidak baik. Seja Jeoha memiliki hubungan yang sangat baik dengan Seondaewang—Mendiang Raja. Hubungan ini berbalik jika dibandingkan dengan hubungan antara Jeoha dan ibunya, Daebi Mama. Itu sebabnya, Jeoha pasti sangat terpukul dengan kepergian Seondaewang."
Jung Eun terdiam mendengar cerita dari Dayang Choi mengenai hubungan calon suaminya dengan kedua orangtuanya. Rasa iba dan sedih tanpa bisa Jung Eun cegah merayapi permukaan hatinya. Jung Eun seperti bisa memahami perasaan sedih dan terluka yang saat ini pasti dirasakan Putra Mahkota Uiyang.
"Jeoha... dia pasti sangat sedih karena kehilangan ayahnya. Akupun pasti akan sangat terpukul jika berada di posisinya. Kehilangan salah satu orangtua yang berharga pasti akan terasa berat untuknya." Ucap Jung Eun dengan suara yang sangat lirih. Gadis itu termenung memikirkan bagaimana hancurnya perasaan Putra Mahkota Uiyang saat ini.
"Terlebih kini Jeoha hanya memiliki seorang ibu yang hubungannya tak begitu baik. pasti akan sangat sulit menerima kenyataan pahit seperti itu." lanjut Jung Eun.
Dayang Choi terperangah mendengar ucapan perhatian Jung Eun pada calon suaminya. Dayang Choi tak pernah menyangka jika Jung Eun bisa merasakan rasa sedih yang kini sedang dialami Putra Mahkota Uiyang. Seluruh dayang istana ini tahu bagaimana buruknya hubungan Putra Mahkota Uiyang dengan Sang Ibu, Ibu Suri Min.
Seulas senyum tersungging di wajah Dayang Choi. Dayang wanita itu berharap Sang Putri Mahkota ini bisa menjadi pendamping yang baik untuk Putra Mahkota Uiyang. Sebuah ide tiba – tiba melintas di kepala Dayang Choi. Dayang tersebut berpikir mungkin ide tersebut bisa membuat Jung Eun terlihat sebagai pendamping baik untuk Putra Mahkota Uiyang.
"Mama, jika Anda tak keberatan. Bolehkah hamba memberi saran untuk Anda?"
Jung Eun yang melamun memikirkan perasaan Putra Mahkota Uiyang saat ini tersentak kaget. Gadis itu mengangkat wajahnya dan mengarahkan perhatiannya pada Dayang Choi.
"Ye? Apa ada yang kulewatkan?"
"Animnida, Mama. Hanya saja, bolehkah hamba memberi saran pada Anda?" Dayang Choi mengulangi permohonannya pada Jung Eun.
Alis Jung Eun terangkat tinggi mendengar permohonan Dayang Choi. "Ah katakan saja, Dayang Choi. Aku akan senang mendengar saran yang kau berikan."
"Jika Anda begitu mengkhawatirkan Jeoha, kenapa Anda tak menjenguknya saja, Mama? Bukankah itu akan bagus jika Anda memperlihatkan sedikit perhatian dan ketulusan hati Anda pada Jeoha? Dengan begitu, Jeoha akan menilai Anda adalah pendamping yang sangat baik untuknya."
"Akupun berpikir seperti itu, Dayang Choi. Sejak tadi aku teringat dengan ucapan ibuku. Seorang perempuan harus memahami perasaaan pasangan, karena perasaan akan disatukan dalam ikatan pernikahan. Meskipun aku tak pernah menginginkan menjadi pendamping dari seja jeoha, tapi aku ingin menjadi seorang istri yang berbakti pada suamiku. Tapi, aku ragu, Dayang Choi."
"Apa yang Anda ragukan, Mama? Pesan ibu Anda memang benar. Perasaan akan disatukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Meskipun Anda belum melakukan upacara pernikahan, tapi Anda bisa memahami perasaan dari Seja Jeoha. Bukankah itu hal yang sangat baik ? Itu membuktikan bahwa Anda memiliki hati yang sangat tulus pada Jeoha, Mama."
"Aku ragu karena tindakanku ini akan mendapat sorotan dari tetua istana dan penghuni istana lainnya. Aku dan Jeoha belum melangsungkan upacara pernikahan, tapi aku begitu lancang meminta bertemu dengannya. Tidakkah itu tindakan yang terlihat sembrono, Dayang Choi?" Perhatian Jung Eun terfokus pada Dayang Choi. Gadis itu berusaha mendapatkan alasan yang menguatkan dari Dayang Choi.
Dayang Choi menggelengkan kepalanya. "Animnida, Mama. Bagi hamba tindakan Anda bukanlah tindakan sembrono. Sebaliknya, tindakan Anda adalah sikap untuk memperlihatkan ketulisan hati Anda pada Jeoha. Sama sekali tidak terkesan sembrono di mata hamba, Mama."
Senyum mengembang di wajah Jung Eun setelah mendengar jawaban dari Dayang Choi. Gadis itu merasa lega karena tindakannya di anggap tepat oleh Dayang Choi. Dengan penuh keberanian,Jung Eun pun mengangguk dan membulatkan tekadnya untuk menemui Putra Mahkota Uiyang sore nanti. Jung Eun berharap ia bisa mengurangi rasa sedih yang dirasakan Putra Mahkota Uiyang. Setidaknya Jung Eun menjadi seseorang yang berguna di tengah kesedihan yang melanda istana saat ini.
~TQS~
Sore itu angin bertiup lembut di taman istana timur. Tepat di tengah taman tersebut, Putra Mahkot Uiyang sedang menyendiri. Pemuda itu melarang para pelayan untuk mengikutinya. Putra Mahkota Uiyang sesekali memejamkan matanya untuk merasakan ketenangan yang ia dapatkan di sore hari seperti sekarang.
Di tengah ketenangan yang didapatkan Uiyang, hati pemuda itu merasa sepi. Istana entah kenapa terasa sepi semenjak kepergian ayahnya. Tidak hanya terasa sepi, Uiyang merasa istana menjadi tempat yang menyesakkan hatinya. Ayahnya—pelindung baik hatinya— telah pergi meninggalkan dirinya. Kini, Uiyang harus bersiap menghadapi hari – hari berat untuk mengurus negara.
Uiyang menghirup napas dalam untuk meredakan rasa sakit yang kini menyiksa dadanya. Pemuda itu tahu betul, cepat atau lambat ia harus naik takhta menggantikan ayahnya. Memang tugasnya sebagai seorang penerus takhta untuk kembali melanjutkan pemerintahan setelah ayahnya meninggal. Tapi, Uiyang belum sanggup untuk menjalankan tugas tersebut saat ini. sejujurnya, alasan yang membuat Uiyang sampai saat ini belum mau menerima takhta adalah ibunya.
Sejak malam kematian ayahnya, ibunya—yang kini telah menjadi Ibu Suri—mendesak dirinya untuk segera mengambil alih pemerintahan. Sebenarnya, tanpa perlu di desak seperti itu, Uiyang memang akan mengambil alih pemerintahan meskipun ia tahu betul usianya masih terlalu muda untuk memerintah sendirian. Tapi, melihat ibunya yang terus mendesak membuat Uiyang muak. Di tengah kesedihan yang ia rasakan, ibunya semakin terlihat berambisi untuk membuat dirinya segera duduk di takhta Raja Joseon. Tanpa sadar, hati kecil Uiyang mencurigai kematian mendadak ayahnya memiliki keterkaitan dengan sikap ambisius abunya.
Apa yang harus kulakukan sekarang, Abba Mama?
Hati Uiyang menjerit meminta jawaban pada sang ayah. Berharap pertanyaan di dalam hatinya itu akan terdengar oleh arwah ayahnya. Setetes airmata meluncur turun dari sudut mata Uiyang. Hatinya kembali sesak.
Tanpa Uiyang sadari, sejak tadi gerak – geriknya tengah diperhatikan oleh seorang gadis. Seorang gadis yang mengawasi gerak – gerik Uiyang dengan tatapan sendu. Tatapan yang seakan mengerti perasaan sedih yang sedang dirasakan Putra Mahkota Uiyang saat ini.
~TQS~
Jung Eun menatap sendu punggung Putra Mahkota Uiyang. Entah bagaimana, Jung Eun seperti bisa merasakan kesedihan yang sedang dirasakan Putra Mahkota Uiyang. Perasaan sedih seperti menguar begitu kuat dari Putra Mahkota Uiyang. Tak tahan melihat kesedihan yang mengelilingi Uiyang, Jung Eun memberanikan diri melangkah mendekati calon suaminya.
Tanpa di dampingi para pelayannya, Jung Eun melangkah mendekati Uiyang seorang diri. Gadis itu tidak ingin mengusik kesendirian Putra Mahkota Uiyang dengan membawa rombongan pelayannya. Ia menyuruh para pelayannya untuk meninggalkannya berdua saja dengan Putra Mahkota Uiyang.
Seakan menyadari keberadaan orang lain didekatnya, Uiyang membalikkan tubuhnya. Pemuda itu terkejut saat menyadari ada seorang gadis berada dibelakangnya. Matanya menyipit penuh waspada saat menyadari gadis itu semakin mendekati dirinya.
"Siapa kau?"
Jung Eun berhenti melangkah saat mendengar Uiyang bertanya pada dirinya. Gadis itu tersenyum tipis lalu membungkuk memberi hormat.
"Mohon maafkan saya yang mengganggu anda, Jeoha. Saya Heo Jung Eun memberanikan diri untuk bertemu anda."
Uiyang mengernyitkan dahi saat mendengar nama gadis di depannya. Matanya kembali menelusuri gadis di depannya. Gadis itu mengenakan dangui berwarna mint. Kepalanya tidak mengenakan hiasan apapun. Sebuah seringai mengejek kini tersungging di wajah Uiyang saat menyadari gadis di depannya adalah calon istrinya. Sang Putri Mahkota terpilih—Heo Jung Eun.
"Untuk apa kau datang menemuiku?" tanya Uiyang dengan nada suara dingin.
"Jeoha, kedatangan saya ke Donggungjeon ini untuk bertemu anda. Jika Anda tidak keberatan, saya ingin menghibur Jeoha. Saya merasa saat ini Anda sangat terpukul dengan kepergian Seondaewang. Karena itu saya ingin menemani Jeoha, agar Jeoha tidak lagi merasa sedih."
Uiyang kembali menyunggingkan seringai mengejek setelah mendengar alasan gadis ini untuk menemui dirinya. Uiyang akui, sebenarnya ia cukup tersentuh setelah mendengar alasan gadis ini untuk bertemu dirinya. Tapi, saat mengingat fakta bahwa gadis di depannya ini adalah gadis pilihan ibunya, rasa marah memuncak di dalam hatinya. Lagi – lagi, segala sesuatu di sekelilingnya sepeti sudah di atur oleh Sang Ibu.
"Kuakui kau cukup berani untuk datang menemuiku. Tapi, tahukah kau? Kedatanganmu kemari bukanlah menghiburku, justru semakin membuatku sakit."
Jung Eun terperangah. Gadis itu merasa perih saat mendengar balasan Uiyang untuknya. "Jeoha, saya bermaksud untuk menghibur anda. Saya sama sekali tak...."
"Pergi! Kau bukan seseorang yang kuharapkan menjadi pendamping hidupku. Kau, hanyalah boneka yang diberikan ibuku untuk menghasilkan pewaris takhta. Tak tahukah kau jika mulai saat ini dirimu sedang dimanfaatkan? Ibuku memilihmu sebagai pendamping agar aku mendapatkan dukungan di pemerintahan. Kau hanya dibutuhkan untuk menduduki takhta tapi tak akan kuanggap sebagai seorang manusia. Kau hanyalah boneka, yang dimanfaatkan untuk kepentingan semata."
Sesak langsung memenuhi rongga dada Jung Eun mendengar setiap untaian kata yang keluar dari bibir Putra Mahkota Uiyang. Jung Eun berusaha kuat untuk menahan airmatanya agar tak meluncur turun dari sudut matanya. Jung Eun menggigit bibirnya. Gadis itu memaksakan seulas senyum menghias wajahnya meskipun hatinya berdenyut sakit.
"J-jeoha, saya tak tahu jika selama ini Anda menganggap saya seperti itu. Tapi, apa yang anda katakan itu salah. Selama ini, saya tidak merasa sedang dimanfaatkan ataupun sedang menjadi boneka milik Daebi Mama. Kalau kehadiran saya membuat anda terganggu, sebaiknya saya kembali saja. Maaf karena sudah mengganggu waktu anda."
Jung Eun membungkuk hormat sebelum akhirnya berbalik pergi meninggalkan Uiyang seorang diri. Tangan Jung Eun yang tersembunyi di balik dangui mengepal kuat. Jung Eun menguatkan hatinya dan menahan tangisnya sampai Uiyang tak lagi melihat dirinya. Jung Eun tak mau memperlihatkan airmatanya di depan Uiyang.
Begitu Jung Eun sudah berada di depan Dayang Choi, airmata tak mampu lagi di bendung gadis itu. pertahanan Jung Eun luruh begitu berada di depan Dayang Choi. Gadis itu jatuh terduduk karena tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya. Kakinya terasa lemah karena gadis itu merasakan sakit tepat di hatinya.
"Sejabin Mama!"
Dayang Choi tak bisa menahan rasa kagetnya saat melihat Heo Jung Eun jatuh terduduk di depannya. Tidak hanya itu, Dayang Choi kembali dibuat kaget saat melihat bahu Jung Eun bergetar. Gadis kecil itu tengah menangis. Hati Dayang Choi ikut merasa sakit melihat gadis kecil itu terluka. Bisa dipastikan, gadis itu pasti mendapat ucapan menyakitkan dari Putra Mahkota Uiyang.
Perlahan, Dayang Choi membantu Jung Eun untuk berdiri. Dayang wanita itu memapah Jung Eun untuk kembali ke kediamannya. Dayang Choi berusaha sebisa mungkin memberikan kekuatan pada gadis kecil tersebut.
"Hamba akan mengantar anda kembali ke paviliun anda, Mama. Selama di perjalanan hamba mohon agar anda berhenti menangis, Mama." Ucap Dayang Choi sambil memapah lembut gadis kecil itu ke paviliun tempat tinggalnya.
~MoQS~
"Hamba memohon ampunan anda karena sudah menyarankan pergi menemui Jeoha. Hamba tidak tahu jika Seja Jeoha akan melukai anda seperti ini. Hamba pantas mendapat hukuman dari anda, Sejabin Mama."
Dayang Choi bersimpuh memohon ampun pada Jung Eun. Mereka kini sudah berada di ruangan pribadi Jung Eun di paviliun Byeolgung. Jung Eun sendiri sudah berhasil menghentikan tangisannya. Meskipun sudah berhenti menangis, rasa sakit masih terasa di hatinya.
"Animnida, Dayang Choi. Kau sama sekali tak bersalah. Akulah yang salah. Kau tidak perlu lagi memohon maaf seperti ini. Kau tidak bersalah. Sebaliknya, aku berterima kasih karena kau sudah membawaku pergi secepatnya dari Donggungjeon." Balas Jung Eun dengan seulas senyum tipis.
Dayang Choi mengangkat wajahnya dan bersyukur karena Jung Eun menerima permohonan maafnya. Dayang wanita itu merasa sangat bersalah setelah melihat Jung Eun kembali menemuinya dengan ekspresi wajah menahan tangis. Rasa ingin melindungi Jung Eun dari orang – orang berbahaya di istana menguar semakin kuat di hatinya. Gadis kecil di hadapannya begitu polos dan berhati bersih. Dayang Choi tak ingin melihat ada anggota istana yang kembali menjadi korban intrik istana yang begitu kejam. Dayang wanita itu harus mempersiapkan gadis kecil di depannya agar kuat menghadapi gejolak istana saat menduduk takhta nanti.
"Hamba berterima kasih atas ampunan yang anda berikan pada hamba, Sejabin Mama. Sebagai rasa terima kasih, hamba ingin memberi pesan pada anda agar kuat hidup di dalam istana. Bersediakah anda menerima saran dari orang rendahan seperti hamba ini, Sejabin Mama?"
"Katakan saja, Dayang Choi. Aku akan menerimanya."
"Apa yang hamba katakan ini hanyalah sebuah pesan yang bisa membuat anda bertahan di tengah kerasnya hidup di dalam istana. Hamba telah mengabdi pada istana sejak berusia enam tahun. Beragam macam peristiwa baik menyenangkan bahkan mengerikan di dalam istana sudah hamba saksikan." Dayang Choi menghela napas sejenak sambil memperhatikan raut wajah Jung Eun.
"Mulai saat ini, hamba ingin menyarankan pada Sejabin Mama untuk tidak menunjukkan airmata di istana. Di istana, airmata adalah tanda kelemahan. Sekali anda menunjukkan airmata di istana, maka para musuh akan semakin mengincar anda. Di tempat seperti ini, anda tak boleh menunjukkan kelemahan pada siapapun. Istana adalah medan pertempuran bagi keluarga kerajaan. Saudara membunuh saudara untuk mendapat takhta. Antar saudari saling menjatuhkan demi mendapat kekuasaan yang lebih besar. Sesulit apapun anda harus bertahan dan tak boleh menunjukkan kesedihan pada siapapun. Terdengar mengerikan, tapi memang seperti itulah takdir yang hendak anda jalani, Mama."
Jung Eun merasa hatinya semakin sesak seakan baru saja diberi beban seberat ratusan ton. ia akan menjalani takdir yang mengerikan. Jung Eun menyunggingkan senyum tipis.
"Terima kasih untuk perhatian yang kau berikan padaku, Dayang Choi. Aku sangat menghargainya." Balas Jung Eun dengan tulus.
Meskipun ia akan menjalani takdir yang mengerikan, Jung Eun setidaknya mendapat sedikit kekuatan dari pelayan pribadinya. Meskipun, mulai saat ini Jung Eun tahu bahwa ia harus berhati – hati. Heo Jung Eun seperti berjalan di atas lapisan es yang tipis. Setiap langkah dan gerak – geriknya kelak sebagai Ratu Muda akan diperhatikan seluruh orang di istana.
~TQS~