Haykal menghela napas. Berusaha melepaskan pelukannya, tapi tetap saja Amanda enggan melepas pelukannya. Haykal menjadi bingung dengan tingkah laku istrinya yang sedikit berbeda dari sebelumnya malam itu.
Tak sempat menjenguk di rumah sakit, Nia berpikiran untuk menjenguk setelah Amanda dibawa pulang. Dia sudah membawakan beberapa batang coklat untuk saudara kembarnya itu.
Setelah pulang dari rumah sakit, Amanda menjadi sedikit manja dengan Haykal. Sering kali kalau sedang makan maupun minum, selalu minta di suapi. Meski hal yang seperti itu pertama bagi Haykal, tetap saja Haykal senang karena merasa Amanda menganggapnya sebagai orang yang penting di hidupnya.
"Ustadz, pengen makan coklat," pinta Amanda lagi dengan raut wajah seperti anak kecil yang memelas minta jajan.
"Baiklah, tapi setelah minum obat ini, ya. Harus habis, kemudian kita langsung ke supermarket beli coklat sebanyak yang kamu mau," jawab Haykal.
"Serius? Ustadz traktir aku?" tanya Amanda.
"Traktir? Tidak ada kata traktir dalam kamus suami istri. Uangku adalah uangmu juga. Jadi, apapun yang kamu mau, pasti akan aku berikan kalau aku bisa, hm?" jawab Haykal dengan senyumannya.
Dari sanalah Amanda merasa ada yang berbeda dari pasangan matanya. Amanda mulai menunjukkan bahwa dirinya menyukai Haykal. Memang cinta itu akan datang sendirinya seiring berjalannya waktu. Segera Amanda meminum obatnya dan memakan sedikit bubur supaya obatnya bisa turun.
Setelah makan, Haykal menepati janjinya mengajak Amanda ke supermarket. Kali itu, Haykal akan mengajak Amanda bukan hanya ke supermarket, melainkan jalan-jalan juga. Meski itu adalah pertama kalinya Haykal berinisiatif mengajak seorang perempuan jalan-jalan, tetap saja membuatnya tidak gugup.
"Kenapa aku harus pakai baju seperti ini? Kan hanya ke supermarket dan ustadz yang turun. Mengapa aku harus mengganti pakaiannya? Where are we going?" tanya Amanda heran.
"After buying chocolate, we'll take a walk around town for a while, how about that?" jawab Haykal.
"Really?" Tanya Amanda lagi.
Haykal mengangguk.
"Yeay! Let's go!" Amanda bersemangat.
Sudah siap berangkat, malah Nia, Devan dan juga Endin datang berkunjung. Tentunya mereka menjenguk Amanda karena tidak sempat menjenguk ke rumah sakit.
"Lihatlah, apa aku pantas mengenakan jilbab ini?" tanya Amanda.
"Kamu cantik sekali," puji Haykal. "Terlihat lebih anggun saat mengenakan jilbab yang modelnya seperti ini," lanjut Haykal terpana memandang kecantikan istrinya.
"Terima kasih," jawab Amanda tersenyum lepas.
Tok … Tok … Tok.
Suara pintu diketuk. Haykal dan Amanda membuka pintu berdua. Melihat Nia, Devan dan Endin datang, membuat Amanda sedikit kecewa karena jalan-jalannya harus di tunda sebentar.
"Asssalamu'alaikum, kalian … mau kemana berpakaian rapi seperti ini?" tanya Devan.
"Um, masuklah dulu. Kita mengobrol di dalam," Haykal mempersilahkan ketiganya masuk.
Nia langsung menghampiri Amanda. Kemudian memberikan bingkisan yang ia bawakan untuk saudari kembarnya itu. Nia begitu khawatir kepada Amanda karena tiba-tiba saja masuk ke rumah sakit.
"Tenang saja, aku hanya demam biasa. Ustadz Haykal saja yang terlalu khawatir, sampai harus ke rumah sakit," ujar Amanda.
"Alhamdulillah, syukurlah jika kamu baik-baik saja, Manda. Aku tidak tahu jika kamu masuk ke rumah sakit. Malah tahunya dari beberapa ibu-ibu di mushola yang bilang jika kamu masuk ke rumah sakit," sahut Nia masih menggenggam erat tangan Amanda.
"Kamu hamil, ya?" imbuh Endin, menyerobot begitu saja.
Haykal sampai tersedak air minum saat mendengar Endin bertanya tentang hamil kepada Amanda. "Kamu ini bisa bertanya seperti itu, dapat kabar darimana, Endin?" tanya Haykal.
"Lah, iya. Kamu dapat kabar itu darimana? Aku juga terkejut tadi ustadz, si Endin mengatakan hal mengejutkan itu," sahut Devan.
Endin menceritakan dirinya dan juga Nia mendengar kabar kehamilan Amanda dari ibu-ibu yang berada di mushola kemarin malam. Amanda menjelaskan bahwa tidak ada yang hamil dan dirinya hanya sekedar dan membiasa. Namun, tetap tidak mengatakan jika dirinya dan juga Haykal belum melakukan hubungan suami istri karena itu memang rahasia mereka berdua.
"Jadi kamu tidak hamil?" tanya Endin.
Amanda menggeleng.
"Syukurlah, jadi Nia masih ada kesempatan," gumam Endin lirih.
"Apa yang kamu katakan? Aku tidak mendengarnya, Endin?" tanya Amanda ingin tahu.
"Ah, jangan di dengar. Endin memang suka bicara ngawur," Nia langsung menepisnya. Dia tidak mau jika Haykal atau Amanda akan berpikir bahwa dirinya tidak rela jika pernikahan yang seharusnya untuknya, sudah tergantikan oleh Amanda.
Mereka juga tidak lama bertamu. Mengingat Amanda dan Haykal ingin keluar, Nia pun mengajak Devan dan Endin untuk pulang. Awalnya, Endin masih berusaha supaya mereka tetap di rumah Haykal. Tapi karena Nia memaksa, Endin pun mengalah.
Sampai detik itu, Endin masih belum terima jika Amanda lah yang menikahi Haykal. Endin lebih setuju jika sahabatnya, Nia, yang menikah dengan Haykal. Apalagi, baginya itu memang sudah seharunya Nia yang menikah dengan pria yang banyak diidolakan itu.
"Kamu ini apa-apaan, sih? Kenapa kamu masih membahas tentang perjodohan aku dan ustadz Haykal?" terus Nia kepada Endin ketika mereka sudah keluar.
"Ya bagaimana lagi? Memang harusnya kamu yang menikah dengan Ustadz Haykal. Amanda juga kan sebatas pengganti, kenapa dia malah menikmati perannya?" ketus Endin.
"Tapi mereka sudah suami istri, Endin. Nia butuh masa depan dan berhak menentukan siapa pasangannya nanti. Kenapa kamu malah jadi kompor bleduk seperti ini, ih!" Devan yang memiliki perasaan kepada Nia pun tidak terima jika Endin terus saja mempengaruhi Nia.
"Kak Devan benar, Nia. Aku yang memutuskan perjodohan itu. Aku yang tidak mau menikah dengan Ustadz Haykal. Seharusnya juga aku berterima kasih kepada Amanda karena telah rela menggantikan posisiku untuk menikah," ujar Nia.
"Kamu bisa bayangkan bagaimana menjadi Amanda. Niatnya balik ke sini karena ingin lebih dekat dengan ayah dan juga aku. Tapi malah dia harus menikah dengan orang yang belum pernah dia jumpai," lanjut Nia.
"Benar sekali, Nia. Kamu seharunya menjauh dari Endin. Dia pengaruh buruk!" ketus Devan.
Endin memanyunkan bibirnya. Memang niatnya baik karena care dengan sahabatnya. Tapi, dia terlanjut membenci Amanda yang seolah-olah di matanya Amanda merebut kebahagiaan sahabatnya, Nia.
Mendengar kehidupan Amanda jauh lebih baik dari Nia, juga membuat Endin kesal. Pasalnya, Nia lah yang seharusnya di adopsi dan hidup bahagia, bukan Amanda. Padahal Endin tidak tahu jika saja Amanda yang tinggal bersama dengan Pak Maliki, hidupnya pasti tidak akan lama di dunia.
Meski Nia terus saja membela Amanda, tetap saja dirinya mulai merasa tidak nyaman dengan perkataan Endin dan mulai memikirkan. Memang jika saja dirinya yang di rawat oleh Nyonya Tamara dan di bawa ke Belanda, pastinya akan berbeda cerita lagi. Nia mulai berpikir mengapa Amanda yang selalu beruntung, padahal dirinya yang selalu berjuang.