Aku meraih sedikit lebih tinggi di rak dan menurunkan wiski pilihannya, memastikan untuk tidak menuangkan yang ini terlalu banyak.
"Satu dua puluh lima," kataku padanya sebelum meletakkan minumannya di depannya. Kami sudah terlalu banyak orang masuk, memesan barang-barang mahal, dan melesat keluar pintu. Aku menggesernya melintasi bar saat dia memberikanku kartu kredit. "Mau aku buka tab?"
"Hanya satu," desisnya, gelasnya sudah setengah jalan ke bibirnya.
Geraman itu tidak hilang dari wajahnya, dan meskipun aku sedang tidak ingin berurusan dengan bajingan pemarah yang ingin membuat orang lain sengsara, aku tersenyum ramah padanya ketika aku mengembalikan kartu kreditnya dan menyelipkan tanda tangan.
"Ada yang lain?" Aku bertanya, ketika yang benar-benar ingin aku lakukan adalah menjauh dari si brengsek itu.
Bahkan pria yang membuang tali pikap bodoh di ujung lain bar adalah teman yang lebih baik daripada pria yang pahit ini.
