"Sirene? Sirene bangun! Sirene!" panggil nenek dari balik pintu.
Aku sudah mendengarnya, tapi aku masih diam. "Sirene udah pagi!" ucap nenek lagi.
"Iya!" jawabku singkat.
Mataku masih terpejam ketika nenek memanggilku berulang kali, bahkan saat menjawab pun mata besarku masih terkunci. Aku mendengar keriuhan di luar sana, seperti pagi biasanya. Om Nanang di teriaki istrinya karena belum juga bangun padahal harus ke ladang, dan Bi Titin sibuk mengurus putrinya yang kecil. Kebisingan yang setiap hari mengangguku, menggangu waktu ternyaman untuk diam dan menikmati matahari muncul.
"Tan! Cepat mandi!" teriak Bi Titin sembari mengikat rambut sebahu Bunga.
Aku melirik kegiatan mereka ketika bangun dan meloloskan kepala dari balik pintu, untuk mengintip jarum jam di atas televisi yang sudah menyala. Intan dengan cekatan meraih handuk dari gantungan kamarnya, kamarnya yang langsung berhadapan dengan kamarku. Aku rasa ia langsung ke kamar mandi sebelum di teriaki Ibunya lagi, sedangkan aku menutup rapat kembali pintu kamar dan duduk di ranjang.
Aku mengamati diriku, masih tidak berpakaian sedikitpun. Menoleh menatap seprai, dan noda merah itu masih terlihat jelas di sana. Aku mengusap kedua mataku, mataku yang lelah karena semalaman menangis. Aku memejamkan mata berulang kali, rasanya sangat berat. Kemudian, aku merapikan tempat tidurku menutup noda itu dengan selimut yang sudah rapi ku lipat.
Semua pakaian yang di tanggal Dion semalam langsung aku letakkan ke ranjang pakaian kotor yang sengaja ku letakkan di pojok kamar, dekat lemari kayu. Aku menarik handuk yang tergantung dekat pintu, membungkus tubuhku dengan kain berwarna biru itu. Masih terus terbayang kejadian semalam, dan aku masih saja mengunci mulutku seperti biasa bahkan ketika semua orang tengah gaduh dengan urusan mereka.
"Mas, bangun! Udah mau jam 7 ini siap-siap antar anak-anak ke sekolah! Aku mau masak." Bi Titin terus membangunkan Om Nanang yang sejak tadi tidak berkutik.
"Nang, Nang bangun gitu! Setiap pagi ribut masalah bangun, apa nggak malu sama tetangga?" nenek duduk di depan pintu kamarnya, dengan meracik rokok di tangan pun seperti biasa.
"Bangun, Pak! Nanti telat lagi kaya kemaren!" Bunga ikut meneriaki Om Nanang yang pemalas.
"Hem!" jawab Om Nanang setelah sekian lama.
Aku menuju kamar mandi dan berpapasan dengan Intan di pintu belakang, Intan dan aku hanya saling tersenyum. "Airnya ada, Mbak?" tanyaku sembari berlalu.
"Ada." kata Intan.
Aku hendak masuk ke kamar mandi, kamar mandi yang letaknya di luar itu. Kemudian, Om Nanang masih dengan sempoyongan masuk lebih dahulu, sepertinya ia buru-buru. Setelah sekian waktu Om Nanang keluar, wajahnya telah basah dengan air, rupanya ia hanya membasuh wajah dan langsung ke toilet. Letak kamar mandi dan toilet memang terpisah, kami tidak menggunakan toilet siram karena nenek tidak bisa, oleh karena itu toilet masih sangat kuno di bawah pohon songke belakang kamar mandi.
Kemudian, aku masuk. Dan mulai mandi. Menggosok gigi sembari melamun, membasuh muka lalu melamun, menyiram tubuh dan kembali melamun, pikiranku masih tentang semalam. Aku masih sangat remaja untuk mengalami hal seperti ini, bahkan aku masih terlalu muda untuk melakukannya.
"Sirene! Cepetan! Kak Dion sudah datang!" teriak nenek dari rumah.
"Kak Dion! Kenapa dia ke sini?" gumamku.
Aku cepat-cepat menyelesaikan mandi, dan langsung kembali ke rumah. Aku melihat Dion sudah duduk di lantai, sudah siap dengan seragamnya. Aku hanya melirik sekilas, dan langsung masuk kamar begitu saja.
"Motornya 'kan mau di bawa Bi Titin ke pasar, jadi hari ini berangkat sama Kak Dion aja." kata Nenek yang sudah di ruang tamu.
"Nem! Obat nyamuknya mana?" tanya Kakek dari kamarnya.
"Obat nyamuk apa to, Pak? Orang udah nggak punya obat nyamuk lagi."
"La terus mau ke ladang kalau nggak pakai obat nyamuk gimana?"
"Ya beli dulu sana! Orang kalau pagi-pagi baru ribut cari ini itu, kemarin sore santai-santai aja!" seru nenek bangkit dan meraba tembok, karena terdengar menuju kamarnya.
"Aku heran sama laki-laki, nggak bisa cekatan dikit gitu! Mana tadi Mas Nanang!" timpa Bi Titin usai mendandani Bunga.
"Apa loh, Tin! Berisik aja dari tadi!" Rupanya Om Nanang sudah kembali dari toilet.
"Dari mana aja to Mas? Anaknya udah nunggu dari tadi!"
"Orang dari toilet bentar gitu udah heboh pagi-pagi!"
"Makanya, Nang kalau pagi-pagi nggak mau ribut itu mbok ya langsung bangun. Kalau tau pagi ke toilet, langsung ke toilet anterin anak-anak terus ke ladang. Orang setiap pagi kok cuma berisik masalah bangun terus!"
"Alah, Mbok! Diem gitu nggak usah ikut-ikutan! Masih pagi udah pada bikin kesel!" bentak Om Nanang. "Ayo Tan, Bung cepetan berangkat!" ajak Om Nanang kepada dua putrinya.
Kebisingan yang biasa ku dengar, setiap hari dan setiap saat. Aku tidak menyukainya, tapi aku hanya bisa diam. Om Nanang dan kedua putrinya telah raib, sudah pergi ke sekolah yang tidak jauh dari rumah. Kebisingan sedikit berkurang, meskipun tidak juga mengubah segalanya. Kakek masih saja meributkan tentang obat nyamuk bersama nenek, kakek yang tuli terkadang membuat nenek yang buta kesal.
"Udah siang ini loh, Nem!" ucap kakek lantang.
"Terus gimana? Ya ini uangnya beli obat nyamuk dulu di warung." kata nenek.
"Kelamaan harus ke warung dulu!"
"Alah, Pak ke warung ada berapa jam sih? Nanti tak beliin, toh berangkatnya juga tak antar." kata Bi Titin.
"Iyalah, Bapakmu ini emang kok! Sudah sana di antar Titin nanti beli obat nyamuk di warung Eko."
"Ayo!" ajak Bi Titin, kemudian menyalakan sepeda motor bututnya.
Bi Titin dan Kakek juga sudah berlalu, dan suasana rumah akhirnya menjadi sunyi. Aku masih saja di kamar, masih bersiap ke sekolah seperti biasa, dan Dion juga masih di ruang tengah. Nenek rupanya kembali ke ruang tengah, pasti duduk di samping pintuku sebelah kiri dan mendengarkan televisi yang menyala sejak tadi. Sebenarnya, aku sudah selesai memakai baju, sudah mengenakan hijab dan sepatu. Aku belum kunjung keluar dari kamar, sebab masih trauma menatap Dion karena kejadian semalam.
"Sirene? Sudah belum dari tadi kok belum keluar kamar? Sudah siang nanti Kak Dion telat loh sekolahnya jauh!" ucap nenek.
Meskipun nenek buta, ia bisa tahu gerak gerik semua orang di rumah. Hafal setiap sudut rumah, dan wangi penghuninya. Jadi tidak heran, kalau nenek tahu aku sedang di mana dan sedang apa. Aku pun keluar kamar, dan langsung menatap mata Dion yang juga melihat ke arahku. Dengan seragam pramuka di hari sabtu, kami terlihat seperti satu sekolah.
"Berangkat dulu, Mbok!" kata Dion.
"Iya, ati-ati." kata nenek.
"Ini!" Nenek memberiku uang saku, dan aku menerimanya lantas keluar rumah.
Setiap hari nenek memberikan uang saku, uang yang di peroleh dari ladang Ibu yang di pekerjaan. Dari uang itulah aku sekolah, membayar semua kebutuhan dari buku, seragam, dan uang bulanan. Jika ada kebutuhan yang besar, aku baru meminta kepada orang tuaku yang jauh. Aku keluar, sepeda motor Ninja merah sudah terparkir di halaman sejak tadi. Dion menaikinya, dan aku membonceng di belakang.
Laju sepeda motor santai, bahkan cenderung lebih pelan. Sepanjang jalan aku hanya duduk diam, bahkan kedua tanganku tidak menyentuh Dion sama sekali. Dion juga diam, membisu dan fokus mengemudi. Sampai akhirnya, kami sampai di sekolahku. Aku turun, tanpa menoleh Dion lagi langsung masuk gerbang, begitupun dengan Dion yang langsung tancap gas menuju sekolahnya.
"Itu siapa?" tanya teman satu kelasku yang melihat kedatangan kami.
"Kakakku." jawabku singkat dan langsung berlalu ke kelas. [ ]