Chereads / HiperseksSindroM / Chapter 8 - Di Peluk Arcken!

Chapter 8 - Di Peluk Arcken!

Bukan Arcken kalau dia mendengarkan aku. Buktinya dia tetap berjalan tanpa rasa canggung sedikit pun meski aku berteriak berulang kali memanggil namanya.

"Kok lewat sini, sih?" Gumam ku. Entah apa yang Arcken lakukan dengan lewat belakang kelas dan harus memutari kelasku lebih dahulu untuk ke kelasnya. Arcken memang laki-laki yang aneh.

Dengan tiba-tiba Arcken berhenti dan membalikkan badannya, aku yang sejak tadi berusaha mengejarnya pun terkejut dan reflek ikut menghentikan langkah. Dengan terengah-engah aku berdiri di hadapan kulkas berjalan ini. Tatapan Arcken tetap saja datar.

"Kenapa, sih?" Apa maksudnya kenapa? Jelas-jelas aku mengejarnya karena ucapannya yang menohok tadi. "Lo malu gue tau lo abis nangis di toilet?" Sialan! Dia bahkan tahu apa maksudku dengan secepat ini.

Aku menggeleng, menepisnya tentu saja. "Nggak! Siapa yang nangis? Orang gue baik-baik aja kok." Aku memalingkan wajah. Menatap gerbang membentang di samping kami.

Hening. Arcken meninggalkan aku begitu saja tanpa sepatah kata pun. Tidak tahu, terbuat dari apa Arcken itu? Apa benar-benar dari segumpal darah yang di beri nyawa? Aku rasa dia dari darah yang sudah membeku. Manusia terbuat dari tanah bukan? Mungkin Arcken adalah manusia yang terbuat dari tanah kutub utara dan kutub Selatan.

Kenapa aku jadi memikirkan soal penciptaan Arcken? Arcken yang sudah menghilang bayang punggungnya itu. Lebih baik aku memperbaiki diri, sebelum yang lain melihat keadaanku dan menyadarinya seperti Arcken. Aku segera masuk kelas.

* * *

"Sirene, mau ke kantin nggak?" tanya Astoria mengemasi bukunya.

"Enggak deh, gue ada perlu sama Kak Gilang."

"Oh, ya udah kalau gitu kita duluan, ya?" Siria sudah menggandeng Ega. Astoria, Yulia dan yang lain juga bergegas ke kantin. Tidak tertinggal kelompok Arda juga mengisi perutnya. Kecuali Elda yang masih tinggal dengan kekasihnya -Tio. Seperti biasa.

"Eh, film one place keren banget tau yang episode terbaru. Gue semalem nonton gila pecah banget." Dana mulai menunjukkan taringnya.

"Seriusan? Oiya, gue lupa lagi buat nonton. Ada notifikasi sebenernya soalnya gue punya aplikasi khusus anime dan kartun gitu, tapi waktu nongol notifikasi gue udah ngantuk parah jadi gue belum sempet nonton deh." Sahut Widi yang satu frekuensi.

"Terus gimana ceritanya? Si Zoro gimana?" Dwi juga bergabung.

Mereka bertiga asik membicarakan kesukaan mereka. Edo, dan Arif hanya menyimak. Hanya tinggal kami, sisanya pergi ke tempat di mana mie ayam, bakso, soto, mpek-mpek, model, tekwan dan jajanan lain itu berada. Mereka memuaskan diri dengan bersantap ria. Sedangkan aku masih di tempatku dengan memainkan ponsel.

"Sirene?" panggil Kak Gilang mendekat.

Pastilah nampak mencolok. Kerumunan Dana melihat kedatangan Kak Gilang, dan aku rasa mereka tidak nyaman jika harus bercerita tentang pendapat mereka mengenai film dengan kekanak-kanakan di depan Kak Gilang. Buktinya, mereka langsung hengkang. Dengan alasan, ke kantin.

"Loh, kok pada pergi?"

"Iya, Kak. Kita mau ke kantin." Jawab Edo mewakili rekan-rekannya.

"Udah ngomongin Lutfi sama Zoro nya?" Hehe, mereka pasti hanya membalas dengan itu. Aku tahu. "Padahal gue baru aja mau gabung." Gabung? Hah! Mana mungkin Kak Gilang betah dengan obrolan mereka yang membosankan itu? Bahkan mereka bisa seharian menghabiskan waktu dengan membahas mengenai kesukaan mereka.

Kak Gilang duduk di tempat Siria, "Mana catatannya?" dia langsung mengulurkan tangannya ke atas meja.

Aku meraih buku besar dari laci dan segera menyerahkan kepada ketua OSIS di hadapanku ini. "Ini kalkulasi uang kas kita, Kak. Dari tiga bulan lalu tidak ada pengeluaran sedikit pun dan ini semua adalah rincian masukan kita. Selain dari uang pungutan hari jumat, kita juga dapat dari beberapa event yang di ikuti di luar sekolah kemarin." Aku menjelaskan semuanya dengan jelas.

"Jadi jumlahnya ada 6 juta ini, ya?" Aku mengangguk. "Semuanya kamu yang pegang?"

"Oh, enggak Kak. Untuk uang sebenarnya keseluruhan aku titipkan ke Bu Shinta selaku bendahara sekolah. Di aku cuma ada 200 ribu untuk jaga-jaga kegiatan dadakan."

"Oh gitu. Itu langkah bagus sih, biar kamu juga nggak takut ada apa-apa sama uang itu."

"Gilang!" Kak Ayong menemukan kami lagi. Dan, menghampiri.

"Gimana? Udah?"

"Kenapa, sih lo slalu aja gangguin gue sama Sirene."

"Siapa yang gangguin lo coba? Gue cuma mau ajak lo ke UKS doang kok."

"Lah, Kak Ayong sakit?"

"Enggak, Sirene! Gue cuma sedikit sakit gigi aja nih tiba-tiba, tapi kan malu kalo harus ke UKS sendirian."

"Kenapa harus malu, Kak? Malu di liatin guru?"

"Ngomong aja lo nggak bisa jauh-jauh dari gue kan? Lo maunya berduaan sama gue terus gitu?" Kak Gilang beranjak.

"Ya, iyalah." Kata Kak Ayong genit. Mereka memang senang bercanda demikian.

"Ya udah oke gue anterin lo ke UKS, tapi nggak usah ganggu-ganggu kita berdua lagi besok-besok." Kita? Persetujuan macam apa ini Kak Gilang? Bahkan dia memutuskan soal kita satu pihak dengan lancang. Seperti biasa.

"Jadi ini gimana Kak Gilang? Mengenai keuangan udah aman?"

"Iya, ini udah aman semua. Aku rasa 200 ribu itu juga udah cukup untuk acara kita besok, jadi nggak usah ngambil uang di Bu Shinta." Huft... Baiklah, setidaknya aku tidak akan bertemu dengan kantor guru untuk beberapa saat. Menyeramkan nya beberapa guru memang seharusnya aku hindari sebelum akhirnya terbiasa dengan lingkungan baru ini.

"Kalau gitu aku ke UKS dulu, ya." Pamit Kak Gilang meninggalkan senyuman manis. Aku tentu saja mencoba membalasnya meskipun aku tahu ini akan tertangkap begitu konyol.

Kini, tinggal kami bertiga. Ya, benar, kami bertiga. Aku dan sepasang kekasih yang aneh di pojok kanan kelas sana. Elda dan Tio, mereka yang memiliki dunianya sendiri. Entah apa yang mereka kerjakan sejak tadi? Masih saja hening tidak ada obrolan, hanya saja semua orang tahu mereka melewati batas saat berpacaran. Pernah beberapa kali, Teman-teman yang lain juga menangkap bagaimana tangan Tio masuk ke dalam rok abu panjang Elda tanpa penolakan. Dan, Elda nampak menikmatinya begitu saja. Seperti sudah terbiasa.

[Lagi apa, Dan?] Aku mengirimkan pesan untuk sahabatku yang ada di luar kota. Teman masa SMP.

Tidak lama kemudian aku mendapatkan balasan dari Dandi, [Sekolah dong, aku kan rajin.]

Aku asik berbalas pesan dengan Dandi, membicarakan banyak hal bahkan meski kami tahu semua ini tidak penting. Sudah hampir 4 tahun kami bersahabat, dan saat aku pindah untuk melanjutkan pendidikan aku di Sumatera seperti saat ini pun kami terpisah. Meskipun begitu, kami tetap berteman baik. Dan, ya, hampir setiap hari kami tetap bertukar kabar. Jarak tidak memberikan arti lebih untuk persahabatan kami, kami ingin membuktikan bahwa kebersamaan kami selama ini tidak akan terlupakan begitu saja karena jarak ini.

Saat sangat asik itu lah, Tiba-tiba saja teriakan Elda membuat aku reflek menatapnya. Betapa tercengangnya aku melihat apa yang Tio dan Elda lakukan di hadapanku saat ini "Aaaaaaaaaag... Tio berhenti!" Elda terus memohon tetapi Tio tetap acuh dan membenturkan kepala kekasihnya itu dengan keras ke tembok.

Tentu saja aku simpatik. Aku tidak bisa melihat semua kejadian ini dengan diam saja. Meskipun, aku tidak mengenal baik mereka berdua, bukan berarti aku tidak bisa ikut campur. Memang sangat sering Tio berlaku buruk kepada Elda, bahkan ketika semua murid sedang di dalam kelas. Tio selalu melakukan kekerasan ketika Elda menolak keinginannya. Mungkin begitu, pikirku.

"Tio! Jangan gila lo itu anak orang!" Aku masih di tempatku meletakkan ponsel ke dalam saku bajuku dan berdiri mengarah Tio dan Elda.

"Sirene... Tolong... ." Rengek Elda sudah berlinang air mata.

"Tio!" Aku menghampiri mereka berdua. Dan, Tio tidak menggubris tetap menghujam kepada kekasihnya itu ke tembok.

Aku mencoba meraih tangan Tio untuk menghentikan kelakuannya itu, tetapi emosi Tio menggebu-gebu menepis aku dengan kuat sampai tubuhku terpelanting jauh dan hampir saja tersungkur keras ke lantai, tetapi sebelum tubuhku menyentuh lantai seseorang menangkapnya dengan sigap. Kejadiannya sangat cepat, aku tidak tahu bagaimana Arcken tiba-tiba memeluk tubuhku dengan erat.

Aku masih terkejut dengan perlakuan Tio yang kasar barusan, mataku terbelalak melihat bagaimana Arcken masih menumpu tubuhku. "Lo jangan kurang ajar, ya, Tio!" Seseorang juga teriak dengan bahasanya sendiri dengan lantang kepada Tio.

Aku melirik pria tersebut, 'Angga.' batinku melihat badan kelar itu kini berdiri di sekitar aku. [ ]