"Huftt... ." Aku menghela nafas selepas kepergian ketiganya itu.
Setidaknya, untuk beberapa saat aku bebas dari cengkraman Kak Gilang. Ya, setidaknya. Karena, entah mengapa selalu saja ada alasan Kak Gilang mendekatiku saat di sekolah. Setiap hari.
Aku melihat mereka pergi, jalan ke arah Kantin. Dan, Kak Gilang sesekali masih menoleh ke arah aku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Terpaksa. Tidak enak seperti ini, rasanya sangat aneh. Canggung bila Kak Laita menangkap kami sedang bersama. Aku merasa sangat bersalah.
Untuk beberapa waktu aku melupakan kesedihanku. Walaupun, dengan kegersangan baru. Masih berdiri di depan mushola sekolah, suasana sekolah sangat bising di jam istirahat.
"Sirene, ayo ke kantin!" teriak Astoria dari depan kelas kami.
Aku menyelenggarakan kepala perlahan untuk menolak, "Enggak deh. Kalian duluan aja, gue masih mau ke toilet bentar."
"Oh, yaudah kita duluan, ya." sergap Yulia. Dan aku mengangguk.
Sebenarnya, aku tidak akan ke perpustakaan seperti yang aku katakan kepada Kak Gilang tadi. Aku hanya menghindarinya. Tidak ada tugas rumah, dan walaupun ada aku tidak akan pusing mengerjakannya. Semua pekerjaan rumah teratasi oleh jalur pintar dan ahli ponsel. Setidaknya, saat ini Kak Gilang pasti sedang asik menyantap sesuatu bersama Kak Laita di kantin. Tanpa ada aku di antara mereka. Dan, ya, pasti Kak Ayong akan sibuk dengan kekasihnya -Kak Laras, melupakan mereka berdua sejenak atau sengaja melupakan untuk memberikan waktu berdua.
Aku memutar tubuh, berbalik badan. Tersentak dan... "Arcken!" Spontanitas saja berteriak karena terkejut.
"Bisa biasa aja nggak? Nggak usah teriak-teriak." ketuanya.
"Ya, bisa kalo lo nggak ngagetin gue."
"Siapa yang ngagetin, lo aja yang kagetan."
"Kok, gue lagi, sih! Gue nggak akan kaget kalo lo nggak tiba-tiba muncul di belakang gue kaya tadi!"
"Makanya jangan berdiri di tengah jalan." Sembari melangkah tanpa rasa bersalah.
"Dasar kulkas!" Umpat ku kepada laki-laki yang tidak menggubris itu.
Arcken masuk kelasnya, tepat sebelah mushola ini. Dengan wajah yang masih saja tidak bertekstur. Tidak lama kemudian, Marisa keluar dari kelas mereka, lalu tersenyum kepadaku. Dengan ramah.
"Kenapa, Sirene?" Semua orang memang mengenalku. Tidak heran, aku bendahara OSIS. Keluar masuk kelas orang lain sangat bisa.
Aku masih memperlihatkan wajah kesal. Semua pasti terwakili saat ini. Marisa kembali menoleh ke dalam kelasnya, menangkap gestur seseorang di sana. Aku menebaknya, Arcken yang baru masuk. Dia tersenyum lebar. Mengejekku? Sudahlah tidak terlalu penting.
"Berantem lagi sama Arcken?" Dia seperti seorang peramal ahli.
Aku mengangguk, tidak menyangkalnya sama sekali. Sudah sangat biasa, Arcken sangat cetus. Dan aku, aku tidak pernah terima perlakuannya itu. Walaupun, mungkin itu adalah kepribadiannya, tetapi aku juga punya kepribadian. Walaupun aku menyukainya, aku tidak akan menyetujui sikapnya itu. Tidak untuk aku, atau orang lain.
"Sabar." Marisa menenangkan aku. Tidak lupa dengan senyuman lebarnya.
"Iya, gue udah paham banget sama tu anak. Udah mulai terbiasa." Mengentengkan keadaan. "Ya, udah gue ke toilet bentar, ya, Sa." Kemudian bergegas ke toilet.
Sesampainya di toilet, aku bertemu dengan Vita. Kakak kelasku, sekaligus sahabat sejak Sekolah Dasar. Kami selalu bersama sejak itu, rumah kami juga tidak begitu jauh. Hanya, terhalang oleh 10 rumah lain. Kami berpisah saat SMP, sebab aku sekolah di luar kota. Di tempat nenekku, yang satunya.
"Munyok!" Sapa aku.
Gadis cantik itu juga menatapku dengan sumringah, "Simok!" Tegurannya pula.
"Lo ngapain di sini?"
"Ke toilet ya buang air lah, mau ngapain lagi?"
"Ya, ngapain kek. Nonton YouTube, tiduran, dengerin musik atau teleponan sama pacar kan bisa."
"Itu mah kerjaannya lo, Sirene! Kali gue ke toilet ya emang ada urusan alam aja."
"Ih, lo nggak ngerti sih nikmatnya tiduran di toilet sekolah. Lo harus cobain, gue jamin deh lo bakal ketagihan."
"Dih, amit-amit. Mendingan gue tidur di kelas, nyaman bersih. Nggak angker lagi."
"Di kelas rame, banyak yang gangguin. Coba kalo di toilet sebelah sini," Aku menunjuk salah santu pintu toilet yang selalu tertutup itu. Di sakral bagi semua warga sekolah, karena selalu ada yang mengalami kesurupan saat memasukinya. Kecuali, aku dan ya, akhirnya beberapa teman yang aku paksa untuk memastikan bahwa tidak ada apa-apa di dalam sana.
"Si gila! Nggak ah! Mendingan gue ke kantin aja sekarang. Lapar gue."
"Yasudah sana! Gue mau telepon pacar dulu."
"Pacaran mulu!"
Munyok -Vita pergi ke kantin, dan aku masuk ke toilet sakral tadi dengan amat santai. Menutupnya kembali. Toilet ini selalu bersih, dan wangi. Tidak ada yang masuk ke mari, tapi selalu di bersihkan sehingga tetap terjaga. Tidak tunggu lama-lama, aku langsung duduk di lantai yang cemerlang. Meraih ponselku, dan menghubungi kekasih virtual.
"Halo? Adrian?"
"Iya, Halo, Sayang?"
"Kamu lagi di mana? Sibuk?"
"Aku lagi di sekolah ini, gimana? Ada apa?"
"Oh, enggak. Nggak ada apa-apa kok. Cuma... ."
"Cuma kangen?"
"Iya."
Aku terus mengobrol dengan Adrian. Pria yang aku temui di media sosial. Beberapa kali kami saling bertukar gambar diri. Membicarakan ini itu sampai akhirnya merasa cocok. Untuk beberapa kasus ini akan sia-sia. Jarak Sumatra Selatan dengan Balikpapan sangat jauh, tetapi aku sangat menyukai kepribadian Adrian. Walaupun, aku juga tertarik dengan Arcken.
"Kamu semalem tidur jam berapa? Awal banget, ya? Kok, nggak aktif Facebook kamu."
Aku meraba hariku semalam, lantas semuanya membuatku terdiam bisu. Dan, meneteskan air mata sejenak sebelum bulir putih itu segera aku tanggalkan dengan jari-jemari aku. Aku tidak ingin mataku memerah, atau sampai tambah lebam. Bekas dari semalam saja baru mulai membaik, tidak bisa di lanjutkan disini.
Aku juga tidak ingin Adrian menanyakan banyak hal, kala mendengar isak tangis aku. "Em... Iya, semalem aku ketiduran. Maaf, nggak ngabarin kamu."
"Oh, iya nggak papa kok. Kamu pasti capek banget."
"Iya." Aku tau ini sangat tidak adil untuk Adrian terutama. Harusnya aku jujur tentang apa yang terjadi semalam. Ini haknya, tetapi tidak ada cukup keberanian untuk mengatakan semuanya terus terang. Bahkan, diriku sendiri masih belum mampu menerimanya. Apalagi, Adrian yang sama sekali tidak pernah menyentuhku ini.
"Ya, udah, ya. Aku mau masuk kelas lagi. Udah bel soalnya."
Aku berbohong lagi. Tidak benar-benar masuk kelas, aku butuh menenangkan diri. Setidaknya, meluruhkan sedikit rasa bersalah kepada Adrian. Tentang tidak kejujuran aku. Tentang tidak terbukanya aku. Dan, yang pati tentang aku yang gagal menjaga diriku sendiri. Untuk aku, dan untuk masa depan kita.
Aku takut, ketika aku bercerita kepada Adrian dia akan sangat kecewa. Itu pasti. Dan, meninggalkan aku. Aku sendiri tidak siap untuk menceritakan ini kepada siapapun. Lalu, janji semalam yang aku buat dadakan. Janji, mengenai menyimpan ini sendiri seumur hidupku. Aku akan menepatinya.
Bel berbunyi, aku merapikan diriku. Dari sisa lesu siang ini dengan pura-pura semangat baru. Keluar dari toilet sakral. Melihat seseorang di depan sana, sepertinya Arcken juga baru keluar dari toiletnya. Entah sejak kapan dia berada di sini, aku harap dia tidak mendengar aku menangis sejenak setelah mematikan panggilan tadi.
Arcken menatapku penuh arti. Entah apa yang akan dia katakan dengan bahannya yang ketus itu. "Cuci muka saja. Mata lo masih merah." Sial! Dia mendengar tangisanku.
"Arcken?" Terus mengejarnya dengan menghentikan. Meskipun sama sekali tidak Arcken gubris. [ ]