Jam 5 sore ...
Di dalam dapur yang bernuansa putih kekuningan dengan pencahayaan lampu berwarna putih dan dilengkapi dengan berbagai macam peralatan memasak ataupun membuat segala jenis makanan yang mewah, Nathan sedang membuat sebuah kue dengan bantuan seorang maid. Lalu di mana Clara? Apa mungkin masih di kamar atau masih di rumah orangtuanya?
"Sayang, maaf aku pulang lebih dulu tanpa memberitahu kamu," ucap Nathan yang sedang berbicara dengan Clara melalui sambungan telepon.
"Memangnya kenapa kamu segera pulang? Apa ada masalah lagi?" tanya Clara dari telepon.
"Eh ... Iya tapi ini masalah pekerjaan. Ini bukan hal yang mengkhawatirkan," jawab Nathan dengan tersenyum. 'Masalahnya aku sedang mempersiapkan sesuatu yang indah untuk kita malam ini,' batinnya.
"Baiklah kalau begitu, aku akan meminta Leonardo untuk mengantar pulang nanti. Mungkin aku akan pulang agak, malam sekitar jam delapan," ucap Clara terdengar santai.
"Tidak, Sayang."
"Maksudmu?"
"Karena aku sangat sibuk maka aku akan meminta bodiguard dan supir untuk menjemputmu," jelas Nathan mengingat keamanan Clara yang selalu terancam.
"Baiklah kalau begitu ... Aku matikan dulu telponnya," sahut Clara.
"Aku mencintai ..."
"Aku juga mencintaimu ..."
Sambungan telepon terputus. Nathan menghela napas gusar dengan perasaan yang aneh, bahkan senyumnya memudar. 'Biasanya dia akan sangat marah ketika aku pergi tanpa pamit. Tapi sekarang dia bersikap biasa saja ..."
"Tuan ... Anda ingin menu apa lagi selain cake cokelat?" tanya maid yang berdiri di samping Nathan. Dia adalah seorang wanita paruh baya yang mengenakan rok sebatas betis berwarna hitam dipadu dengan atasan kemeja putih dan memakai celemek merah.
Nathan kembali tersadar dari lamunannya. Dia kembali fokus pada rencananya untuk membuat beberapa menu makanan untuk nanti malam.
"Kita buat cake, steak dan pie apel saja. Itu adalah menu kesukaan Clara," ucapnya kemudian beralih fokus memukul daging yang akan dipanggang.
"Baiklah kalau begitu, saya akan siapkan bahan untuk membuat pie apel," sahut maid lalu berjalan menuju lemari tempat penyimpanan bahan-bahan makanan.
Tak ingin terus menerus memikirkan sikap Clara yang berbeda, Nathan kembali fokus memasak dengan dibantu oleh maid. Pria yang mengenakan celana dasar hitam dipadu dengan kemeja putih dan memakai celemek merah itu terlihat sangat lihai dalam membuat cake ataupun memanggang steak, seolah dia memang biasa memasak.
Drettt ... drettt ...
Nathan menghembuskan napas kasar saat mendengar ponselnya yang tersimpan di saku celemek-nya berdering. Dia mengambil tisu untuk mengelap tangannya, kemudian meraih benda canggih itu dan melihat panggilan masuk dari ibunya.
"Hallo, Ma."
"Nathan, Frederica ingin ke sana. Apa kamu mengijinkan?" tanya Diana dari telepon.
"Tidak!" jawab Nathan dengan ketus.
"Nathan ... jangan terlalu ketus seperti itu. Walau bagaimanapun dia adalah putrimu," seru Diana dengan suara yang terdengar sabar.
"Ya ... aku tau itu. Bahkan berkali-kali tes DNA hasilnya dia tetap putriku," sahut Nathan dengan kesal. "Tapi jangan sampai dia ke sini malam ini karena malam ini aku tidak ingin kebersamaan ku dengan Clara terganggu!" lanjutnya tegas.
"Baiklah ... mungkin besok atau kapanpun mama akan antar dia ke sana."
"Jangan biarkan Patricia mengikutinya, atau aku tidak akan mengijinkan dia ke sini samasekali!" seru Nathan dengan tegas kemudian memutuskan sambungan telpon itu. Pria itu terlihat sangat kesal, bahkan mood-nya rusak hanya karena kabar tentang putri kecilnya itu. Hmm ... Kenapa dia sangat membenci putrinya sendiri?
'Bocah sialan itu selalu membuat aku seolah selalu terikat dengan Patricia ... aku bahkan tidak pernah yakin bahwa dia anakku ... Aku tidak percaya dengan tes-tes DNA yang sudah dilakukan!' batin Nathan kesal. Dia kembali menatap daging yang harus dipanggang, kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. 'Lebih baik aku fokus pada Clara, karena dia lebih penting dari apapun. Aku akan membuatnya sangat bahagia malam ini.'
___
Michael baru saja keluar dari gedung perusahaan miliknya. Dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di tempat khusus yang tersedia.
"Michael!"
Michael menghentikan langkahnya saat melihat seseorang datang menghampirinya dari arah gerbang. Dia mengerutkan keningnya saat melihat seseorang itu adalah Mia yang tersenyum padanya.
"Mia ..."
"Apa setelah ini kamu akan ke rumah sakit?" tanya Mia saat sudah berhadapan dengan Michael.
"Tidak," singkat Michael.
Mia menghembuskan napas kasar. "Aku kira kamu akan ke sana untuk menjaga Casey, itu sebabnya aku ke sini dan aku pikir aku bisa bersamamu untuk ke sana. Tapi ternyata kamu tidak ingin pergi ke sana."
"Mungkin aku akan ke sana nanti malam ... Aku akan menginap karena aku ingin terus menemaninya sepanjang malam," ucap Michael dengan gusar. "Saat siang aku sangat sibuk dengan urusan pekerjaanku ... Itu sebabnya aku ingin meluangkan waktu bersamanya saat malam."
"Bagaimana jika aku menemanimu?" tanya Mia agak gugup.
Bukannya menjawab, Michael malah balik bertanya, "kenapa kamu mendadak ingin menemaninya saat malam? Bukankah lebih nyaman tidur di rumah?"
"Sebenarnya aku tidak pernah tidur nyenyak di rumah karena aku terus memikirkan Casey ... Aku khawatir terjadi sesuatu atau dia mendadak sadar tanpa ada orang di sekitarnya .... Aku tidak mungkin bisa tidur nyenyak sedangkan dia sangat rentan," ucap Mia dengan menunjukkan semburat kesedihan di wajah.
"Baiklah kalau begitu ... Nanti jam 7 malam aku akan datang ke rumahmu untuk menjemputmu, dan kita akan menjaga Casey bersama-sama," ucap Michael dengan tatapan datarnya.
Mia pun mengangguk.
Michael hendak kembali masuk mobil lalu kembali menatap Mia yang masih berdiri ditempat. "Apa kamu ingin pulang bersamaku?" tanyanya.
"Jika kamu tidak keberatan," jawab Mia.
"Kalau begitu cepatlah naik," seru Michael kemudian segera memasuki ruang kemudi.
Mia menghembuskan nafas kasar, menatap Michael yang kali ini terlihat agak kurang menyenangkan padanya. Dia pun segera berjalan menuju pintu samping kemudi, harus segera masuk duduk di samping Michael.
Michael segera mengemudikan mobilnya menuju keluar dari area perusahaannya.
___
"Bagaimana dengan keadaan perusahaan tanpa Casey, apa semuanya tetap baik-baik saja ... Apa semuanya tetap stabil?" tanya Michael sambil fokus mengemudi.
"Semuanya baik-baik saja karena Oskar sangat bisa diandalkan untuk menggantikan posisi Casey sedangkan aku menggantikan posisinya," jawab Mia dengan santai. "Hanya saja ... Agak repot ketika harus membuat keputusan," lanjutnya.
"Repot bagaimana maksudmu?" tanya Michael.
"Kami harus meminta tandatangan papa karena hanya papa yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan selain Casey," jelas Mia, sesekali melirik Michael yang tetap terlihat tampan meski sudah tidak terlalu fresh seperti tadi pagi. 'Kuharap Casey tidak pernah terbangun sehingga aku bisa membuatmu jadi milikku,' batinnya.
"Repot atau tidak jika memang itu yang harus terjadi, maka kamu dan Oskar harus tetap mengikuti aturan. Setidaknya tunggu sampai Casey sadar," seru Michael.
Mia hanya mengangguk dengan senyumnya yang pudar. Dia mulai kesal karena Michael selalu mengutamakan Casey tanpa meliriknya sedikitpun. Hmm, dasar gadis tak tau diri. Jangan-jangan dia juga sebab kecelakaan Casey? Atau mungkin Oskar? Atau mungkin mereka kerjasama?
___