"Aku muak dengan semua ini. Aku tahu kau pasti bisa melakukannya. Cepat bunuh aku sekarang juga!" Aku menepuk dadaku tanpa peduli dengan darah yang masih mengucur dari telapak tangan. Mengotori baju putih mewah berserta jasnya yang sedang kupakai.
"Tuan Muda..." Hiro menatapku dengan tatapan terbelalaknya. Begitu pula dengan yang lain, mereka semua menatapku dengan tatapan khawatir campur aneh.
Hector tidak menjawab, tapi aku dapat menyadari kalau tatapannya saat ini sangat gelap hingga aku sendiri tidak bisa menebak apa yang akan dia lakukan.
"Kau bilang kau ingin mati?" tanya Hector dengan nada sinis yang bisa mengintimidasi siapa pun yang mendengarnya.
"Ya," jawabku mantap tanpa ada keraguan sedikit pun.
"Da-damiaan." Seorang perempuan paruh baya berambut coklat muda terlihat mendekati Hector dengan badan yang bergetar. Dia pasti Eleonore Lagarde sang ibu dari Damian.
"Kalau begitu lakukan sendiri." Hector melempar sebilah pisau ke lantai, tepat beberapa hasta dariku.
"A-apa yang kau lakukan?" Eleonore menarik-narik lengan baju Hector. "Kau tidak serius kan? Kau tidak benar-benar menyuruhnya mati kan?"
Aku terdiam. Nada suara Eleonore terdengar sangat khawatir seakan-akan dia mau menangis. Atau bahkan dia sudah menangis saat ini? Entahlah, kedua mataku terpaku pada pisau yang telah dilemparkan oleh Hector.
"Bukankah kau ingin mati? Kenapa kau diam saja?" tanya Hector dingin. Eleonore semakin histeris karenanya. Hatiku pun terasa beku.
Aku berlutut mengambil pisau di lantai. Kilau cahayanya seolah memperjelas kalau pisau ini sangat tajam meski tipis.
"Damiaan, ibu mohon jangan lakukan itu." Eleonore terisak.
"Kakaak." Kedua anak kembar berusia 8 tahun ikut terisak. Kalau aku benar-benar mati di hadapan mereka, hal ini pasti akan menjadi trauma mendalam bagi mereka berdua.
Tanganku terhenti tepat saat mata pisau mengenai kulit pergelangan tanganku. Bayangan kedua adik kembar itu terpantul di dalam kilaunya pisau. Entah mengapa perasaanku jadi campur aduk.
Aku memang ingin mati, tapi aku sendiri tidak ingin mati di hadapan kedua anak kembar itu. Aku tidak ingin mereka mengalami trauma yang sama sepertiku selama ini.
"Kenapa kau hanya diam?" Hector mulai melangkah mendekatiku.
"Cukup sayang! Hentikan!" Eleonore membujuk, tapi itu percuma saja. Hector adalah laki-laki berdarah dingin yang tidak segan berbuat apa pun meski pada anaknya sendiri.
"Kau diam saja." Hector menepis tangan Eleonore dengan kasar hingga terjatuh ke lantai. Kedua anak kembar pun langsung menghampiri dan memeluk Eleonore.
Darah mulai menetes dari pergelangan tanganku, tapi pisau itu jatuh seiring dengan tanganku yang semakin bergetar.
Aku tidak bisa melakukannya. Aku benar-benar tidak bisa.
"Dasar kurang ajar." Hector menendang kepalaku sangat kuat hingga aku terpental ke lantai dan menabrak tiang ruangan.
"Uhuk." Aku terbatuk hingga mengeluarkan cairan merah yang cukup banyak.
"Kau ingin mati, tapi kau sendiri bahkan takut kematian." Hector kembali menendangku berkali-kali. Aku dapat merasakan rasa sakit yang teramat sangat di setiap tendangannya.
Aku bukannya takut mati, aku hanya…
"Huaaaaa." Si kembar Anita dan Jean Lagarde semakin terisak di pelukan Eleonore. Di usia mereka yang masih belia, mereka harus melihat kebengisan ayahnya sendiri.
Semua itu salahku. Ya, salahku. Kalau saja aku tidak berulah, kalau saja aku mau berdiam diri…
Aku yang salah, tapi aku pun benar-benar tidak ingin hidup di sini. Aku tidak ingin hidup menjadi Damian Lagarde dan aku tidak ingin hidup bila masih bisa mengingat kehidupan masa laluku.
CTAAK
Aku kembali memuntahkan darah saat Hector memecutku dengan tongkat sihir berduri yang entah sejak kapan dia mengeluarkannya.
Tongkat itu diliputi oleh warna keemasan yang bisa aku duga sebagai 'mana' sihir. Meski terlihat tegak, tapi tongkat itu selentur karet dan sangat perih sekali saat mengenai tubuhku.
Semakin lama, Hector semakin menjadi. Isak tangis si kembar dan Eleonore juga semakin melengking, para pelayan pun hanya bisa diam ketakutan di tempatnya berdiri.
Pandanganku mulai samar, tapi aku masih bisa mengerahkan kekuatanku untuk menggapai pergelangan kaki Hector dan balas menatapnya dengan sinis.
"Aku memang ingin mati, tapi bukan berarti aku mau disiksa sekehendakmu," ujarku tegas.
Hector menghempaskan kakinya dari tanganku. "Jadi kau ingin mati tanpa merasakan rasa sakit?"
"Tentu," jawabku sambil menyunggingkan senyum meski perih menjalar di seluruh wajah dan tubuhku.
"Dasar tidak tahu malu." Hector kembali menyerang secara membabibuta. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu mati meski harus memotong lidahmu sekali pun."
Aku tersentak. Bagaimana mungkin Hector bisa berkata seperti itu? Dia ingin menjadikanku boneka? Seorang boneka manusia yang bisa dia gunakan sesukanya?
Sama seperti diriku di masa lalu. Sebuah boneka yang hanya melakukan apa pun yang diinginkan oleh orang tuaku. Entah itu berpenampilan sempurna di media masa hingga melakukan bisnis kotor para mafia.
Apa yang diinginkan Hector? Selama diriku ada di badan Damian, dia pasti hanya akan menggunakanku untuk mencari muka para penguasa dan melakukan pekerjaan ilegal nan tidak manusiawi selayaknya karakter jahat mereka yang aku baca di dalam novel.
Tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa membiarkan kehidupanku berputar di lingkaran setan yang sama. Aku harus pergi, aku harus pergi sejauh mungkin darinya.
"Kau masih bisa bangun rupanya? Menarik." Hector tertawa merendahkan.
Napasku tersenggal. Aku bahkan dapat melihat bajuku yang sobek di sana-sini karena pecutannya. Dasar kejam.
Tongkat sihir Hector tiba-tiba berubah menjadi sebilah pedang panjang yang tipis dan mengkilap merah. Apa dia sekarang ingin membunuhku? Ah, tidak. Dia sudah berkata tidak akan membunuhku. Jadi, kemungkinan besar dia ingin menyiksaku dengan lebih sadis lagi.
Apa yang harus aku lakukan? Dunia di dalam novel ini adalah fantasi. Hal-hal seperti sihir bukanlah hal yang aneh. Hanya saja, aku sama sekali tidak tahu caranya melakukan sihir. Damian di dalam novel bahkan hanya digambarkan sebagai penguasa yang mati di singgasananya sendiri setelah mengorbankan semua pasukannya.
Aku tidak tahu apa kekuatannya. Aku rasa tidak ada yang spesial karena Damian bukanlah sang penjahat utama. Masih ada orang yang jauh lebih jahat lagi. Lebih pscyo dari keluarga Lagarde ini.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Hector tepat di telingaku. Seketika saja aku terhenyak. Pergerakannya sangat cepat. Entah sejak kapan dia melangkah, tapi pedang di tangannya sudah menembus badanku dengan sempurna.
Pandanganku kabur, rasa perih dan ngilu menjalar begitu kuat hingga membuatku kehilangan pengelihatanku. Hanya kegelapan yang kini aku lihat.
Apakah aku mati? Mengapa semuanya terlihat gelap? Aku bahkan tidak bisa mendengar dan merasakan apa pun.
Seandainya aku mati, aku harap aku bisa menjalani kehidupan baru tanpa memiliki ingatan tentang kehidupanku sebelumnya. Seandainya saja.
"Uhuk." Aku terbatuk. Sama-samar pengelihatanku pun kembali. Cahaya dari obor yang ada di dinding bata itu sedikit membuatku silau.
Tunggu sebentar, di mana ini? Aku membuka mataku lebar dan melihat ke sekeliling. Dinding batu dan jeruji besi di sampingku sudah bisa menjelaskan kalau saat ini aku tengah dikurung.
"Ugh." Aku bangkit duduk dan melihat diriku sendiri yang hanya memakai celana panjang hitam dengan badan atas dibalut perban.
Sudah kuduga, setelah menyiksaku seperti itu, Hector tetap mengobatiku. Dia benar-benar seorang psycopat. Dia tidak jauh berbeda dengan ayahku di kehidupan sebelumnya.
"Lucu sekali." Aku tertawa miris saat melihat sebuah nampan di pojok sel. Ada semangkuk sup dan segelas air berserta buah-buahan.
Ini bukanlah kali pertamaku berada di balik jeruji besi. Dulu ayahku sengaja membiarkanku kelaparan di penjara setelah membuat publik percaya kalau aku terlibat bisnis ilegal padahal tidak. Aku hanya dijadikan batu loncatan untuknya melarikan diri dari hukum.
"Kau sudah bangun rupanya." Terdengar sebuah suara dari sebrang jeruji besi. Sebuah suara yang dimiliki oleh Hector Lagarde.
"..." Aku diam tidak menjawab. Aku pun tidak memandangnya sama sekali.
"Kalau kau ingin balas dendam padaku, lakukanlah. Hanya saja kau harus tahu kalau aku juga tidak akan diam saja," ujar Hector dingin. Perkataannya ini membuatku merasa bagaikan disengat listrik.
Coba lihat Hector Lagarde ini. Bisa-bisanya dia tetap datang padaku dan mengatakan hal-hal omong kosong. Menggelikan.
"Aku bukan anakmu."
"Selama kau berada di tubuh itu, kau adalah anakku," ujar Hector yang seketika saja membuatku terbelalak.
"Ketimbang meminta mati konyol, lebih baik kau gunakan kekuatan mentalmu itu untuk menguasai kekaisaran," tandas Hector tanpa ada senyum sedikit pun.
Setelah mengatakan hal itu, dia pun pergi begitu saja. Tentu saja itu bukanlah saran, tapi perintah.
BERSAMBUNG