"Mulut memang digunakan untuk berbicara. Tetapi, ada beberapa hal yang sebaiknya tidak dikatakan untuk kebaikan diri sendiri dan juga orang lain."
- Vikram Andreyson
***
"LAURA! APA YANG LO LAKUKAN KALI INI?!!
Vikram menatap murka Laura yang menatapnya seolah tak terjadi apapun. "Loh, kok lo ke sini sih?! Padahal, 'kan gue enggak menyuruh Susan buat manggil lo."
"Maksud lo apa?"
Laura berjalan menghampiri Vikram. "Gue nyuruh dia buat cari lo supaya dia enggak balik ke sini lagi dan enggak melihat pemandangan seperti ini. Tapi, yah udah terlanjur sih mau bagaimana lagi."
Laura hendak keluar dari toilet, namun tangannya dicekal oleh Vikram. "Jelaskan sama gue, apa yang sebenarnya terjadi?!"
Laura menoleh ke arah Vikram, seringai terbit di wajahnya. "Mereka... terlalu lemah sih ketika mendengar kenyataan yang gue sebutkan. Di depan mereka saling memuji dan mendukung satu sama lain. Namun, di belakang mereka saling menghina dan membenci satu sama lain."
Laura melepaskan cekalan tangan Vikram. "Gue cuma membantu menyampaikan sesuatu yang tidak bisa mereka katakan di depan satu sama lain. Berbicara manis di depan dan berbicara pahit di belakang. Sampah kayak mereka perlu didaur ulang. Tapi, pada dasarnya mental mereka lemah disaat mereka sendiri yang membuat mental seseorang terguncang. Benar, 'kan, Susan?"
Tubuh Susan masih gemetaran melihat Nabila dan Mawar yang tadinya masih baik-baik saja saat membullynya. Kini, mereka dalam keadaan memprihatinkan. Wajah mereka penuh lebam, tubuh mereka meringkuk dan gemetaran. Susan bertanya-tanya, apakah ini semua perbuatan Laura?
Tetapi, Susan tak melihat memar di punggung tangan Laura jika benar Laura yang memukul mereka. Jadi, apakah kemungkinan Nabila dan Mawar memukul satu sama lain? Lalu, apa yang membuat mereka gemetar ketakutan?
"Hah, dia berulah lagi, ya. Sepertinya gue kurang memperhatikannya akhir-akhir ini." Vikram menghela napas berat. Jika sudah begini maka Vikram lah yang harus mengurus sisanya. Termasuk...
"Susan, mulai sekarang lo jadi sahabat Laura."
Kejadian dulu terulang lagi. Mau tidak mau Susan juga harus terlibat di dalamnya sama halnya dengan Vikram.
***
Dulu, waktu Vikram masih menduduki bangku Sekolah Dasar, Vikram tak sengaja melihat kejadian yang tak bisa dia lupakan. Kejadian yang membuatnya terikat dengan Laura oleh rantai-rantai yang tak kasat mata. Vikram melihat semuanya dari balik tembok yang ada di belakang sekolah. Dia melihat bagaimana Laura menyakiti teman-teman satu kelasnya yang menyakitinya. Caranya membalas serangan dari teman-temannya bahkan cara yang tidak mungkin bisa dipikirkan oleh anak kecil.
"Miskin, jelek, parasit, dan juga anak pungut!" Laura mengatakan cacian itu pada teman perempuannya yang tadi mendorongnya sampai terjatuh di tanah dan membuat lengan dan lututnya terluka.
"Heh, barang sisa! Kamu enggak usah mencaci Tina kalau kamu sendiri enggak lebih dari barang sisa dibandingkan kembaranmu yang pintar itu." Teman perempuan Tina membelanya, tangannya menjambak rambut Laura dan kakinya menendang-nendang tubuh Laura dengan keras. Bukannya merasa kesakitan, Laura justru tersenyum.
Saat itu Vikram merasa takut. Bukan, Vikram bukan takut kalau Tina dan Jessy akan menyakiti Laura. Senyum itu membuat tubuh Vikram bergetar hebat. Mengerikan.
"Jessy, ya?" Laura memiringkan kepalanya, senyumnya semakin lebar. "Bukan aku yang mengatakan semua cacian itu. Kamu sendiri yang mengatakannya saat di kantin bersama teman-temanmu yang lain."
"Apa maksud kamu, Laura?" Tina bertanya dengan wajah yang tertekan.
"Hm, Jessy mengatakan cacian itu di belakangmu saat kamu di kelas untuk makan bekal makan siangmu. Jessy tertawa bersama teman-temannya sambil membicarakan hal buruk tentangmu, Tina. Aku hanya mengatakan sesuatu yang tidak bisa Jessy katakan di depanmu secara langsung."
Wajah Tina memerah dan terlihat sangat tertekan setelah Laura mengatakan kebenaranya. Tangannya terkepal, matanya beralih menatap tajam Jessy yang bergetar ketakutan.
"Apa itu benar, Jes?"
"B-bukan begitu, Na. A-aku-- aku..." Wajah Jessy terlihat panik dan itu sudah membuktikan bahwa perkataan Laura memanglah benar.
"Dasar! Aku benci Jessy!!" Tina menerjang Jessy lalu memukulnya dengan membabi buta. Awalnya Jessy terlihat kewalahan, tapi dia balas memukul Tina. Perkelahian mereka disaksikan oleh Laura yang menjadi perantara perkelahian mereka.
Laura bangkit berdiri lalu membersihkan roknya yang terlihat kotor. Matanya menatap tertarik dua orang di depannya. "Hm, mudah sekali untuk mempermainkan emosi mereka hanya dengan beberapa kata makian. Senang sekali bisa menyaksikannya secara langsung. Benar, 'kan, Vikram?"
Vikram tersentak sampai terjungkal ke belakang. Tubuhnya bergetar hebat melihat Laura tersenyum ke arahnya. Gawat. Vikram berusaha bangkit dan berlari hendak melapor pada guru mengenai kejadian yang dia lihat. Namun, tubuhnya tidak bisa diajak kompromi.
"Vikram,... mulai sekarang lo jadi sahabat gue."
***
"VIKRAM!"
Vikram tersentak dari lamunannya mengenai kejadian dulu. Matanya mengerjap pelan, lalu kepalanya menoleh ke arah Laura yang duduk di sampingnya. Mereka sekarang berada di kantin karena kelas dibebaskan akibat kejadian tadi pagi.
"Kenapa bengong? Lagi mikirin gue ya? Cie, akhirnya lo udah suka sama gue nih." Laura tersenyum menggoda, tangannya mencubit pipi Vikram membuat Vikram berdecak. Sifat Laura yang satu ini bisa membuat orang-orang yang melihat mereka salah paham mengenai hubungan mereka. Tapi, hal seperti itu pun malah akan membuat Laura senang dan memperparah perilakunya pada Vikram seolah membuat kesalahpahaman semakin menjadi-jadi.
Laura itu... cewek yang aneh.
Bertahun-tahun Vikram bersama Laura membuat Vikram tahu sifat Laura. Bahkan sifat licik dan penuh tipu dayanya yang sangat parah, Vikram sudah tahu semuanya.
"Enak aja! Gue enggak mau berpaling ke cewek lain selain jodoh gue nanti."
"Oh, ayolah! Lo kan bisa menjalin hubungan sama gue dulu sebelum sama jodoh lo. Lagian jodoh lo enggak mungkin tahu lo ada hubungan sama gue, ya, 'kan?" Laura mengapit lengan Vikram membuat Vikram membelalakkan matanya. Dia berusaha menyingkirkan tangan Laura dengan mata yang menatap tak enak Susan yang duduk di depannya.
"Ra, jangan bikin orang tambah salah paham dong!" Vikram berdiri dan berpindah duduk di samping Susan yang berarti di depan Laura.
"Loh, malah bagus kan orang-orang salah paham terus lo akan dijauhkan dari jodoh lo yang masih samar-samar keberadaannya di dunia ini." Laura tertawa meledek membuat Vikram berdecak kesal.
Vikram mengalihkan atensinya pada Susan yang sedari tadi diam menyaksikan interaksi mereka. "Susan, lo harus hati-hati sama cewek sinting di depan lo."
Bugh!
Vikram menutup mulutnya yang hampir berteriak kesakitan karena tulang keringnya ditendang oleh Laura dengan keras. "Heh, ngatain gue cewek sinting lagi, gue bunuh lo!"
"Ampunilah gue, bos Laura."
"Oke, gue itu orangnya baik jadi gue maafin lo." Laura mengibaskan tangannya membuat Vikram memutar bola matanya. Baik apanya? Kebaikan macam apa yang bisa membuat orang lain trauma.
"Eh, katanya ada yang berantem ya? Siapa sih?"
"Itu loh, Nabila dan Mawar yang sering bully Susan."
"Kenapa mereka berantem?"
"Enggak tahu sih, waktu mereka ditanya alasan mereka berantem bukannya dijawab malah diam aja dengan wajah ketakutan."
"Wah, kayaknya parah ya sampai dua-duanya ketakutan begitu. Tapi, aneh deh, kenapa mereka sampai ketakutan cuma gara-gara ketahuan berantem padahal mereka juga udah sering ketahuan membully Susan."
"Entahlah. Ngapain mikirin hal gak guna kayak gitu. Mendingan mikirin diri sendiri aja."
Mereka tak tahu ada seseorang yang menyeringai lebar mendengar percakapan mereka.
"Dasar, mental lemah!"